21. KEKUATAN JAHAT
Hutan Satyawana dua tahun lalu. Hujan nampak mulai berhenti. Suasana semakin remang di dalam hutan ketika pasukan dari tim gabungan angkatan darat pemerintah terlihat terus berjalan.
Sebagian Tim Bajra menggabungkan diri dengan Tim Cakra karena kota dirasa telah aman dan terkendali, disamping dibutuhkan tambahan personil untuk menyisir luasnya Hutan Satyawana dan Bukit Indria.
Setelah menemukan tempat yang agak lapang di tengah hutan, mereka berhenti kemudian mendirikan perkemahan. Karena hutan habis diguyur hujan, mereka harus susah payah mencari ranting-ranting dan dedaunan yang cukup kering untuk perapian. Mereka terlihat kelelahan namun beberapa tetap berjaga sementara teman-teman mereka membangun tenda.
Sekelebat bayangan tak jauh dari mereka nampak bergerak seringan angin, hinggap dari dahan pohon satu ke dahan pohon berikutnya. Sepasang mata sebiru api menghiasi wajah gelapnya. Sejauh tiga kilometer dari perkemahan tentara gabungan, tiba-tiba langkahnya terhenti. di depannya terlihat sebuah gubuk. Gubuk tersebut terletak di daerah tengah hutan setelah melewati puncak Bukit Indria.
Dilihatnya semak-semak di sekeliling gubuk bergerak-gerak, kemudian muncul beberapa orang menodongkan senapan ke arahnya. Orang-orang tersebut memakai seragam tentara lengkap dengan kamuflase dedaunan, jadi sangat sulit ditemukan. Bayangan tersebut terlihat mengangkat kedua tangannya setelah mengetahui dia telah dikepung oleh banyak pria bersenjata.
"Turunkan senjata!" Tiba-tiba salah satu dari pria bersenjata memerintahkan.
"Selamat datang, Banas," sambutnya lagi sambil menghampiri sosok tadi.
Semua orang mengikuti perintahnya. Sosok yang dipanggil Banas kemudian diiringkan oleh pria yang memberi perintah tadi masuk ke gubuk.
Di dalam gubuk telah menunggu seorang pria tua yang tak lain adalah Ismu Baratha beserta dua pengikut kepercayaannya, yaitu Ireng dan Petak. Ireng adalah pria pendek kurus memakai kemeja hitam dan celana kain cokelat sedangkan Petak tinggi tambun memakai kaos putih dan celana pendek hitam berkantong banyak sebagai bawahan.
"Sepertinya semua berjalan tidak sesuai dengan yang kita rencanakan, Banas?" Ismu Baratha berbicara sambil menikmati minumannya.
"Kau ingin minum?" Dia menawari Banaspati.
"Sayang sekali ada yang berkhianat atau mata-mata di pihak kita, Pak. Tapi kita masih bisa memperbaiki semuanya." Banaspati menjawab tanpa menghiraukan tawaran minum untuknya. Matanya tajam mengawasi dua pengikut Ismu Baratha yang nampak mencurigakan seperti bersiap hendak menyerangnya.
"Tunggu dulu... apa Bapak mencurigaiku?" tanya Banas curiga.
"Bunuh dia!" Ismu Baratha memerintahkan Ireng dan Petak.
Tanpa pikir panjang Ireng mengeluarkan pistol kemudian menembak ke arah Banaspati, sedangkan Petak menghunus golok langsung menerjang dan menebas. Banaspati yang sedikit tak siap menerima serangan mengalami luka di telinga akibat serempetan peluru karena telat menghindar. Dia juga hampir saja terkena sabetan golok di perut seandainya terlambat bergerak mundur juga.
Tak lama setelah itu, Banaspati memperoleh kesiagaannya kembali. Mulutnya komat-kamit seperti merapalkan mantra. Dalam sekejap muncul sebentuk pedang bersinar biru menyala secara ajaib di tangan kanannya.
Dengan murka dia menerjang ke arah Ireng dengan menusukkan pedang saktinya. Ireng terkejut karena begitu cepatnya serangan, dia berusaha menghindar ke samping namun seketika tusukan pedang berubah menjadi sabetan yang melukai perutnya. Usus Ireng bergelendotan keluar, diikuti darah memuncrat membasahi lantai kayu gubuk dari perutnya yang menganga. Tubuhnya pun tak kuasa berdiri lagi, dia jatuh dalam posisi bersujud.
Petak melihat temannya tewas menjadi kalap, dengan membabi-buta dia menyerang Banaspati. Golok dan pedang mereka sesekali beradu menimbulkan bunyi bising. Petak terus menyerang serta mendesak Banaspati ke dinding dalam gubuk, dia memberi kesempatan untuk Ismu Baratha keluar dari gubuk.
Sesampainya di luar, Ismu Baratha disambut puluhan anak buahnya yang segera mengitari untuk melindunginya. Tiba-tiba suara tembakan terdengar lirih diikuti rebahnya salah satu pengikutnya. Satu tembakan lagi dari arah lain membuat satu pengikut lainnya meregang nyawa. Pengikutnya yang masih hidup seketika panik, mereka menembak ke segala arah sambil membawa ketua mereka ke tempat yang lebih aman. Beberapa tembakan terdengar lagi diikuti merebahnya satupersatu tentara pengikut Ismu Baratha, kamuflase dedaunan nampaknya tak mampu melindungi mereka.
Sekelebat bayangan hitam kemudian muncul dari balik pepohonan menyerang mereka yang masih selamat. Mereka berusaha menembaki bayangan tersebut, tetapi semua peluru hanya menerpa semak dan pepohonan kosong, tak satu pun berhasil mengenainya. Malahan bayangan hitam tersebut dengan leluasa menghabisi mereka hanya dengan bersenjatakan sebilah golok. Tebasan-tebasan goloknya menyeruak bagai desiran angin, ditambah dengan gesitnya gerak bayangan tersebut tak ayal membuat pengikut Ismu Baratha semakin berkurang dan akhirnya habis. Ismu Baratha yang melihat semua itu semakin mengisyaratkan kepanikan dari wajahnya, namun seketika tertegun diam ketika melihat sesosok bayangan berdiri di depannya. Bayangan tersebut memegang golok bercahaya kemerahan.
"Si... siapa kau?" Ismu Baratha bertanya dengan suara bergetar.
"Aku mimpi burukmu," jawab bayangan hitam tersebut yang tak lain adalah Iptu Wira.
"Jangan bercanda."
"Buat apa bercanda dengan orang yang akan menemui ajalnya?"
"Haha... Lucu sekali. Kau yang akan menemui ajalmu!"
Ucapan serta tawa dari Ismu Baratha sejenak menimbulkan keheranan di benak Wira. Sebelum dia sempat bertanya, Ismu Baratha sudah terlihat meronggoh sesuatu dari dalam jubahnya. Sebuah benda berbentuk batu berpendar kemerahan, dibelit kalung perak berbandul Swastika kini berada di genggamannya. Wira terpesona memandang benda tersebut. "Batu Khala Merah? Luar biasa ternyata memang benar ada." Hatinya sangat terpukau.
"Sekarang matilah kau!" pekik Ismu Baratha sambil melepaskan kalung perak berbandul Swastika dari batu merah tersebut.
Batu merah tersebut melayang, cahayanya berpendar memerahkan sekitar mereka. Wira yang terkesiap mendengar teriakan dari Ismu Baratha dengan refleks menyilangkan tangan di depan wajahnya, memasang kuda-kuda guna bersiap menghadapi apa yang akan terjadi. Namun tak terjadi apa-apa, membuat Ismu Baratha menganga keheranan.
"Ti... tidak mungkin," desahnya heran.
"A...apa kau keturunan sang kesatria darah?" tanyanya kemudian masih bernada keheranan.
Wira menurunkan tangannya kemudian tersenyum. Dia tak menjawab pertanyaan tersebut. Dengan sekali hentak dia berlari ke arah Ismu Baratha, meraih batu merah yang melayang tadi, kemudian memukul belakang kepala Ismu Baratha hingga pingsan. Wira dengan gesit membelitkan kalung perak berbandul Swastika itu kembali ke Batu Khala lalu menyimpannya di dalam jaket.
Sementara di dalam gubuk, pertarungan antara Banaspati dan Petak masih berlanjut, hingga akhirnya golok yang dipegang oleh Petak patah. Petak bergerak mundur, membuang gagang goloknya kemudian berusaha menggapai pisau yang terselip di pinggang belakangnya. Namun naas, Banaspati adalah lawan yang terlalu cepat dan kuat baginya. Dia diterjang sebuah tusukan pedang hingga terpelanting ke belakang menjebol dinding gubuk. Pedang yang menembus perut Petak masih dipegang oleh Banaspati, ujungnya sampai menancap di batang pohon jati. Banaspati kemudian mencabut pedang yang bersimbah darah tersebut hingga membuat tubuh Petak yang sudah tak bernyawa menggelenjot jatuh lunglai ke tanah.
Banaspati melihat ke sekeliling gubuk. Dilihatnya banyak mayat bergelimpangan. Dia berjalan berkeliling. Setiap mayat diperiksanya tapi tak ada mayat Ismu Baratha. Sampai suatu suara sedikit mengejutkannya.
"Kita bertemu lagi, Bayu. Atau kupanggil saja Banaspati, sang prajurit angin?" Suara itu keluar dari mulut pria yang dari tadi berdiri di sebelah pohon waru, agak jauh sebelah timur gubuk.
Dia mengenakan pakaian serba hitam, di lengannya terikat kain putih dan tangannya memegang sebuah golok berlumuran darah memancarkan sinar kemerahan. Beberapa mayat di sekitar gubuk termasuk mayat Ireng dan Petak mengeluarkan asap ungu, sejenak membentuk raut wajah menyeramkan kemudian membumbung tinggi menghilang di angkasa.
"Rupanya si penghianat, masih berani kau menampakkan batang hidungmu, Wira, atau Anggapati, sang kesatria darah!"
Bayu memandang nanar Wira sambil berdiri dari posisinya berjongkok tadi saat memeriksa satu mayat.
"Di mana Ismu Baratha yang berhasil kau hasut sehingga menjadi curiga padaku?" Bayu menetak.
"Dia berhasil lari."
"Bohong!"
Bayu menjadi marah, dengan brutal dia menerjang ke arah Wira sambil menebaskan pedangnya membabi buta. Wira dengan gesit menghindari semua serangan Bayu, sesekali golok dan pedang mereka beradu menimbulkan suara menggelegar bagai sambaran halilintar. Wira sedikit kewalahan menahan dahsyatnya serangan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Bayu.
"Kau takkan pernah bisa menandingi kekuatanku, hahaha!" teriakan dan tawa sombong Bayu membahana memecah kesunyian hutan.
Sabetan pedangnya semakin menggila. Beberapa berhasil melukai tangan dan kaki lawannya. Luka bekas sabetan pedang tersebut terlihat mengucurkan darah dan melepuh serta berasap. Golok Wira pun berhasil mengenai Bayu, menggores pipi kiri dan punggungnya menghasilkan luka yang hampir sama dengan sabetan pedangnya. Sungguh pertarungan yang sangat seimbang. Mereka terus melanjutkan pertarungan, hingga tubuh mereka masing-masing semakin penuh dengan luka.
卍
Di Kota Santiloka— tepatnya di Biro RSS—saat Ini. Rah dan semua anggota timnya sudah terlihat bersiap-siap menyongsong misi mereka. Nampak Agni berdiri di sebelah Tuan Baratha. Matanya tidak pernah terlepas dari Rah yang sedang sibuk memasukkan semua bawaannya ke dalam mobil. Mereka semua pun memasuki mobil masing-masing dan berangkat menuju kediaman Tuan Astika, klien mereka.
"Misi ini akan membawamu pulang ke kampungmu lagi, Rah. Enak ya, seperti berlibur di tengah misi." Rajas berucap sambil mengendarai mobil.
"Bisa saja kau ,Raj. Misi tetaplah misi," sahut Rah sambil tersenyum kecil.
Tak begitu lama mereka tiba di kediaman Tuan Astika. Halaman rumahnya telah dipenuhi peserta acara amal. Mereka terlihat mengenakan pakaian santai dilengkapi perlengkapan hiking dan camping. Benak Rah menilai acara tersebut adalah acara semi-formal. Dia meragukan bahwa acara itu adalah acara kampanye karena tak terlihat kehadiran wartawan. Mereka segera memarkir mobil di luas halaman rumah Tuan Astika yang megah bagai istana dan segera turun.
Beberapa pengawal pribadi Tuan Astika sedang berjaga-jaga. Rah langsung melakukan koordinasi dengan mereka sejenak dan kemudian melangkah menuju kerumunan peserta acara. Rah seketika menghentikan langkahnya karena dilihatnya seorang gadis yang sangat dikenalnya. Gadis itu mengenakan cardigan biru gelap, dipadukan dengan kaos putih bersih dan bawahan celana legging hitam, dilengkapi sepatu hiking.
"Kenapa Rana ikut dalam rombongan ini?" pikirnya sambil melanjutkan langkah lebih pelan dari sebelumnya. Rana terlihat mendampingi ayahnya, Tuan Adinatha yang ternyata ikut juga dalam rombongan. Rah tanpa pikir panjang lagi, langsung menghampiri Tuan Astika.
"Kami sudah siap untuk berangkat, Tuan," bisiknya dekat di telinga Tuan Astika.
"Baiklah. Saudara-saudara, mari kita berangkat!" Tuan Astika memberi tahu semua anggota rombongan.
Mereka kemudian menuju mobil masing-masing. Rana melihat sebentar ke arah Rah—yang sibuk mengawasi keadaan sekeliling—kemudian bergegas masuk ke mobil ayahnya. Rombongan pun berangkat menuju perbatasan kota, sebelum melanjutkan berjalan kaki melewati Hutan Satyawana dan Bukit Indria menuju Kampung tempat tinggal Ki Urip dan kampung lainnya. Mobil mereka dikawal mobil-mobil anggota Biro yang dipimpin oleh Rah. Akhirnya mereka tiba di tempat dekat tapal batas kota. Satu persatu mobil mereka berhenti dan penumpangnya turun dengan tertib.
"Tuan dan Nyonya, saya harapkan kerjasamanya. Jangan sampai keluar jauh dari rombongan. Tetaplah berjalan berkelompok!" Rah meminta kepada semua anggota rombongan Tuan Astika.
Mereka pun berjalan melewati padang rumput luas dan memasuki Hutan Satyawana. Setelah mencapai tengah hutan, mereka memutuskan untuk beristirahat. Rah duduk di bawah sebuah pohon jati, membuka ransel, megeluarkan bekal dan memakannya. Rana tanpa disadari Rah terus memerhatikannya. Nampaknya dia ingin menghampiri Rah, tapi mengurungkan niatnya karena takut Rah menolak kehadirannya di sana dengan alasan sedang bertugas.
Tiba-tiba mereka dikejutkan dengan adanya ledakan sebuah senjata. Satu anggota pengawal pribadi Tuan Astika roboh, darah seketika mengalir dari lubang bekas tembakan di kepalanya. Semua wanita dalam rombongan serentak berteriak histeris.
"Semuanya tenang dan segera tiarap!" perintah Rah seraya membuang makanannya, mencabut pistol dan beranjak dari tempatnya. Rajas menghampiri tempat Rah berlindung.
"Dari mana datangnya tembakan tadi, Rah?"
"Aku tak tahu pasti, nampaknya dari arah selatan." Rah sedikit ragu.
Satu tembakan terdengar lagi dan satu korban bertambah, kali ini dari anggota Biro RSS. Tembakan demi tembakan menghujani mereka dan satu persatu anggota Biro dan pengawal pribadi Tuan Astika tewas. Yang tertinggal hanya Rah dan Rajas yang masih menunduk di tempat persembunyiannya.
"Mereka ada di mana-mana, Rah. Cepat lindungi aku!"
Rajas berucap sambil melompat keluar berlari ke arah asal tembakan tadi.
"Jangan, Raj! Tunggu!"
Rah berteriak melarang Rajas untuk bertindak gegabah, tapi sudah terlambat. Seorang pria nampak menodongkan senjatanya ke arah kepala Rajas.
"Sebaiknya kau keluar, Rah!" pinta pria tadi sambil tetap menodongkan pistolnya.
Semua pengikut pria itu keluar satu persatu dari balik semak belukar bersenjatakan lengkap dengan senapan semi-otomatis. Alangkah terkejutnya Rah saat mengetahui identitas pria itu. Dia adalah Tuan Baratha didampingi wanita yang bernama Nila. Rah semakin terkejut kala melihat pria di sebelah kanan Tuan Baratha. Dia adalah dr. Wisnu, atasan Rana di klinik. Rana tak kalah terkejutnya, tapi dia tetap tiarap di atas tanah.
"Baratha apa kau tau apa yang sedang kau lakukan?" Tuan Astika tiba-tiba angkat bicara.
"Diam kau tua bangka! kau akan kubunuh saat aku mendapatkan apa yang kucari!" bentakan Tuan Baratha menciutkan nyali Tuan Astika yang perlahan tiarap ke tanah lagi.
"Apa yang sebenarnya kau inginkan, Baratha?" Rah tidak lagi memanggil dengan sebutan tuan, rasa hormatnya seketika hilang. Dia bergegas keluar dari tempat persembunyiannya kemudian berdiri tegap di depan Tuan Baratha.
"Hahaha... Wisnu, cepat tunjukkan keinginanku!" Tuan Baratha tertawa sambil memberi isyarat kepada dr. Wisnu. Dokter Wisnu melangkah di antara semua anggota rombongan yang gemetaran menahan takut, dia menarik berdiri tubuh Rana dan menyeretnya mendekat ke arah Tuan Baratha.
"Jangan!" Rah seketika berteriak.
"Wisnu, kau bajingan!" Rana berteriak sambil meronta.
"Diam!" bentak Dokter Wisnu.
"Lihatlah kekasihmu, Rah. Jika ingin dia selamat, sebaiknya segera keluarkan sesuatu yang bersemayam dalam tubuhmu!"
"Apa maksudmu?" tanya Rah yang tak mengerti apa yang dimaksudkan oleh Tuan Baratha.
"Lakukan seperti di hutan ketika kau pulang kampung!"
"Jadi kau yang menyuruh orang menyerangku saat itu? Baratha kau hampir membuat adikmu terbunuh, dasar Iblis!" maki Rah sambil berusaha menahan amarahnya.
Tuan Baratha hanya memasang mimik acuh mendengar makian Rah. Tiba-tiba Rah merasakan sebuah kekuatan bergerak mendesak di dadanya, seperti ingin segera keluar dari tubuhnya.
Kalung berbandul Swastika yang melingkar di lehernya perlahan mulai bergetar. Seketika suasana hutan berubah hitam gelap disertai suara guntur menggelegar. Angin menderu semakin kencang berputar di sekeliling Rah berdiri.
Tuan Baratha tersenyum senang melihat semua itu. "Ayah, tak lama lagi aku akan memperoleh kembali kekuatanmu yang hilang dua tahun silam. Dan aku akan segera membalaskan dendammu!" pekiknya antusias dalam hati.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top