20. PERANG

Dua tahun silam, di sebuah tanah lapang yang luas. Kota Santiloka baru saja membuka matanya, namun sang pagi masih terpejam buta. Sekumpulan pria mengenakan seragam kebesaran mereka masing-masing. Jumlah mereka tak terhitung, mungkin sekitar ribuan lebih. 

Mereka masing-masing menggendong ransel besar di punggungnya dan menenteng senapan laras panjang. Di lengan kanan mereka terikat sebuah kain putih. Mereka berbaris dengan rapi, sambil mendengarkan pemimpin mereka memberikan instruksi.

"Saudara-saudara seperjuanganku sekalian. Tiba saatnya kita menunjukkan rasa nasionalisme dan bakti terhadap negara. Jangan biarkan pihak lain menghancurkan kita, kita hidup hanya sekali, kita pasti ingin diri kita sangat berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Angkatlah senjata kalian bersamaku. Kita akan memulai pertempuran kita. Jadikan Mayjen Gita sebagai martir, jangan sampai pengorbanan beliau sia-sia!" Suara sang perwira tinggi pemimpin pasukan angkatan darat terdengar lirih melalui pengeras suara, bagai tergema ke seluruh negeri, hinggap ke semua hati kemudian melecut semangat juang yang tinggi. Semua yang mendengar pidatonya pasti seketika tergugah.

"Sudah hampir lima puluh tahun negara ini berdiri". Sang perwira tinggi melanjutkan pidatonya. 

"Kita sudah disegani di seluruh dunia. Menjadi contoh negara yang paling damai dan sejahtera. Namun kini muncul ancaman dari orang-orang kita sendiri, anak, saudara, kerabat, teman yang telah memilih pandangan yang berbeda dari tradisi kita. Maka dari itu saudara-saudara. Jangan pernah merasa gentar atau ragu, mereka tidak menganggap kita sebagai saudara lagi, mereka ingin melenyapkan kita dan membangun negara sendiri. Apa kita akan membiarkan itu terjadi? Apa kita lebih memilih menyerah? Tidak! Kita akan melawan dengan segenap jiwa dan raga, segala kemampuan dan semua yang kita memiliki. Mari bersamaku bertempur berdampingan. Bertempurlah dengan gagah namun tetap berusahalah melindungi rekan kita. Berusahalah untuk tidak meninggalkan rekan di belakang, semuanya harus pulang membawa kemenangan. Maka dari itu marilah saudara-saudara. Kita berangkat ke medan perang dengan kepala tegak, senjata di tangan dan jadikan doa sebagai perisai. Demi tanah air kita, demi kepercayaan yang kita yakini. Hidup Yogaphala! Hyang Widhi memberkati!" Pidato sang perwira tinggi disambut semangat yang membara dari semua elemen prajuritnya.

Mereka mengacungkan senjata dan berteriak-teriak mengelu-elukan nama negara mereka. Beberapa bendera Yogaphala—berwarna strip merah, putih dan hitam— dikibarkan penuh semangat.

"Saya akan membagi pasukan menjadi dua tim." Sang perwira tinggi melanjutkan lagi.

"Tim Cakra akan berada di garis depan bersamaku, dan Tim Bajra tetap berada di sini menjaga kota," tutupnya.

Tanpa perintah lagi. Semua yang menjadi anggota Tim Cakra menaiki truk-truk besar berwarna hijau tua, berlalu mengikuti mobil pemimpin mereka yang terlebih dahulu pergi menuju perbatasan kota. Beberapa Tank pun diberangkatkan ke perbatasan, sebagian lagi tetap berada di kota. Sedangkan Tim Bajra langsung berpatroli menyebar ke seluruh pelosok kota.

Para penduduk tidak diijinkan keluar rumah. Yang nekad berdemonstrasi akan ditangkap dan dipenjarakan serta dianggap makar. Para penduduk hanya bisa diam dan berharap cemas, sambil memantau perkembangannya melalui televisi mereka.

Berita tentang penculikan serta pembunuhan para perwira tinggi berhasil meredam arus demonstrasi, nampaknya sebagian besar penduduk mulai sadar bahwa memang benar ada kekuatan yang ingin menggulingkan pemerintah, mereka menolak untuk dibodohi dan dijadikan alat lagi.

Beberapa helikopter berseliweran, baik dari militer maupun pers yang ingin memantau dan memberitakan. Pesawat-pesawat tempur pun terlihat bersiaga di landasan militer. Kapal-kapal perang dan kapal selam pemerintah nampak bersiaga juga di bagian selatan perbatasan menunggu perintah.

Tiba-tiba dua pesawat tempur terbang tanpa adanya perintah, seketika membuat kacau suasana. Orang-orang di landasan saling menduga-duga bahwa mungkin saja pilot-pilot tersebut terlalu bersemangat untuk maju berperang. Namun mereka semakin curiga karena dua pilot tersebut tidak menjawab panggilan radio.

Bayu dan Abimanyu tergabung dalam Tim Cakra. Mereka terlihat begitu tegang diam di dalam truk yang mereka tumpangi. Tak begitu lama mereka tiba di perbatasan kota karena truk mereka melaju begitu cepat laksana roket. Mereka pun bergegas turun. Langit terlihat mendung menghitam, semakin mendeterminasi denyut nadi dan mendramatisasi keadaan sekitar mereka.

"Waspadalah kalian, musuh bisa ada di mana-mana, pastikan mata kalian tetap terbuka sampai kita pulang," perintah sang komandan kepada pasukannya.

Mereka memasuki padang rumput yang sangat luas di depan mereka dengan sangat hati-hati, sambil terus mengawasi sekitar. Tiba-tiba sesuatu meledak terinjak salah satu prajurit yang langsung tewas. Pasukan pemberontak yang dari tadi hanya bersembunyi di balik rerumputan tinggi, keluar satu per satu seraya menembakkan senjatanya.

Komandan Tim Cakra tak menduga musuh berada begitu dekat dengan perbatasan kota, berbeda dengan informasi dari intelijen bahwa mereka ada di Bukit Indria. Sang komandan memerintahkan pasukannya untuk balas menembak sambil tiarap di bawah desingan peluru musuh. Perintahnya kemudian digemakan oleh semua pemimpin regu. Dalam sekejap Tim Cakra membalas tembakan dengan tak kalah dasyatnya.

Korban pun tak bisa terelakkan lagi, satu persatu prajurit jatuh tewas, baik dari pihak pemerintah maupun pemberontak. Pasukan pemberontak semakin terdesak. Tim Cakra terus menggempur mereka. Hingga tiba-tiba muncul dua buah pesawat tempur dari balik bukit Indria dan langsung menembak. Pelurunya deras berjatuhan bagai hujan kilat di padang rumput arena pertempuran. Beberapa mengenai tempat kosong dan beberapa lagi mengenai pasukan pemerintah. Giliran pasukan pemerintah sekarang yang tiarap sambil terus berusaha mempertahankan posisinya.

Suasana di medan perang sangat mencekam. Sering kali terdengar letusan, baik granat, mortir, tembakan tank maupun rudal pesawat. Tanah, debu dan rumput bercampur dengan darah, organ manusia dan jeritan berhamburan ketika ranjau terinjak dan meledak, meninggalkan sebuah lubang yang menganga dan prajurit yang meregang nyawa. Apalagi saat rudal pesawat menyentuh tanah, akan meninggalkan lubang yang lebih besar dan mayat yang lebih banyak. Tank-tank pemerintah pun tak sedikit yang rusak dihantam rudal. Keadaan sangat kacau, bagaikan sebuah mimpi yang paling buruk.

Di sela-sela kekacauan yang masih terus berlanjut, sang komandan meminta alat komunikasi untuk menghubungi markas.

"Bahaya, bahaya!" Sang komandan berseru pada alat komunikasi.

"Segera kirim bantuan, dua pesawat musuh sedang menyerang kami, ganti!" Permintaan sang komandan segera direspon oleh markas.

Dua pesawat tempur nampak melaju di landasan udara milik militer pemerintah−yang berlokasi di sebelah selatan negeri−mengikuti aba-aba petugas landasan. Kepala pesawat semakin terangkat dan akhirnya terbang melesat menuju medan pertempuran.

Di medan pertempuran, pasukan pemerintah terlihat semakin terdesak. Dengung pesawat terdengar semakin mendekat lagi.

"Datang lagi, berlindung!" Sang komandan berteriak sekuat tenaga.

Pasukan serentak tiarap, kengerian akan kematian seketika menyelimuti mereka. Pesawat tempur pemberontak melintas di atas mereka, semua menahan nafas dan bersiap akan serangan yang bakal terjadi.

Tapi tidak, pesawat tempur itu tidak menembakkan rudalnya. Ternyata pesawat tempur itu telah dikunci oleh pesawat pemerintah dan sekejap kemudian meledak di udara terkena tembakan. Disusul ledakan pesawat pemberontak yang kedua. Ledakan tersebut disambut teriakan gembira dari pasukan pemerintah.

Dua pesawat pemerintah bermanuver di atas Bukit Indra, berbalik kemudian menjatuhkan beberapa bom di daerah pemberontak. Bom-bom tersebut menewaskan banyak pemberontak. Kini pasukan pemberontak kembali terdesak. mereka berlarian masuk ke Hutan Satyawana dan menghilang dari pandangan. Tim Cakra terus mengejar mereka.

"Buru mereka semua!" teriak sang komandan memberi semangat pada pasukannya.

Sementara itu Abimanyu melihat Bayu diam-diam keluar dari pasukan. Bayu terlihat berlari masuk ke dalam Hutan Satyawana. Abimanyu terus mengawasi dan mengikutinya sampai masuk ke dalam Hutan juga. Mereka berdua masuk semakin dalam di kegelapan Hutan Satyawana tanpa ada seorang pun mengikutinya. Hujan membasah semakin deras menembus rimbun dedaunan pohon.

"Kau mau ke mana, Bayu? Dan kenapa kau melepas ikatan kain putih di lenganmu?" Abimanyu bertanya sambil menodongkan senapannya ke arah Bayu yang seketika menghentikan langkahnya dan tertawa keras.

"Kenapa kau tertawa?"

Bayu membalikkan badannya kemudian memandang lirih ke arah Abimanyu. Wajahnya terlihat samar karena ditutupi gelap bayang dedaunan. Abimanyu baru saja menyadari bahwa dia dan Bayu telah jauh berada di tengah hutan meninggalkan prajurit yang lain.

"Dengan sangat menyesal aku harus membunuhmu, Kak Abi. Aku adalah salah satu anggota Pasukan Khala." Pengakuan Bayu membuat Abimanyu tersentak tak percaya dan tanpa pikir panjang menembakkan senapannya.

Bayu tiba-tiba menghilang dari pandangan. Sekejap dia sudah berada di belakang Abimanyu. Menyeringai sadis, memegang sebuah golok mengilap diliputi aura kemerahan.

Abimanyu terkejut dan terjatuh. Bayu tanpa ampun menusukkan goloknya ke tubuh Abimanyu dan menebas batang lehernya sampai putus.

Pohon Mahoni yang tinggi besar menjadi saksi bisu kekejaman Bayu. Tebasan goloknya juga melukai akar yang menyembul dari pohon tersebut setelah memenggal kepala Abimanyu. Dalam sekejap pandang, Bayu menghilang dari tempat tersebut.

Pasukan lain yang tergabung dalam Tim Cakra datang terlambat. Mereka hanya bisa mengangkat jenasah Abimanyu beserta kepalanya yang terpisah tidak jauh dari jasadnya ditemukan.

"Dia anggota wajib militer, Komandan. Namanya Abimanyu!" Prajurit yang memeriksa identitas mayat melapor pada komandannya.

"Bawa jenazahnya pulang dan sampaikan kepada keluarganya rasa bela sungkawa yang mendalam dari korps. militer," perintah sang komandan.

Beberapa anggota tim medis mengangkat tandu berisikan mayat Abimanyu, dikawal beberapa pasukan bersenjata keluar dari hutan.

"Ayo kita lanjutkan penyisiran, jangan sampai ada tempat yang terlewatkan," perintah sang komandan lagi. Tim Cakra pun melanjutkan memeriksa setiap celah Hutan Satyawana dan setiap gua di Bukit Indria. Para pemberontak seperti menghilang secara misterius.

Di dalam Kota Santiloka, suasananya tak kalah genting dari arena pertempuran. Cuma agak berbeda, yang membuat suasana genting adalah serine ambulan yang terus meraung-raung membawa korban-korban yang terluka menuju rumah sakit. Rana dan Pertiwi juga terlihat ikut membantu merawat korban—bersama dengan mahasiswa kedokteran dan keperawatan lainnya—walau mereka belum resmi menjadi dokter dan perawat.

Sementara di rumah yang terpencil dekat dengan bendungan dan Sungai Sukmanadi, beberapa tentara terlihat sedang berkumpul. Jumlah mereka lumayan banyak hingga meluber ke atas bendungan dan sepanjang sungai. Mereka nampaknya sedang bersiaga sambil menunggu perintah.

"Perintah dari Pak Ismu sudah turun, pasukan pemerintah sudah memulai serangan ke arah Bukit Indria. Sebenarnya saat inilah kita diminta untuk bergerak." Suara seorang pria berseragam tentara memecah keheningan. Nampaknya pria tersebut adalah komandan pasukan.

"Lalu apa lagi yang kita tunggu, Komandan?" tanya seorang pria yang berdiri di sebelahnya.

"Pemerintah telah membagi pasukan mereka menjadi dua. Tim Bajra dan Tim Cakra. Tim Bajra yang akan jadi lawan kita di tengah kota ternyata jumlahnya di luar perkiraan kita, ini akan menjadi pertempuran yang sulit." Sang komandan nampak ragu-ragu.

"Sudah kepalang tanggung komandan, segera jatuhkan perintah!" sahut pria lain di ruangan tersebut. Sang komandan masih saja terlihat ragu. Nampaknya rencana mereka kurang matang. Hal tersebut memicu kericuhan antara lima pria yang hadir di ruangan tersebut.

Sementara dua orang pria lagi sedari tadi duduk santai sambil merokok di belakang memerhatikan mereka berdebat, sambil menjaga dua pria yang duduk terikat di pojok ruangan. Jadi total ada sembilan pria di ruangan tersebut. Salah satu pria berdiri dan berjalan maju. Seragam polisinya baru terlihat jelas diterpa sinar mentari yang masuk dari jendela satu-satunya di ruangan tersebut. Sejenak berdiri diam lalu mengajukan pertanyaan yang mengalihkan perhatian mereka yang sedari tadi terus berdebat.

"Bagaimana dengan dua orang sandera kita ini, Pak?"

Semua yang tadinya berdebat, seketika memalingkan pandang kepadanya.

"Bunuh saja!" sahut sang komandan dingin.

Mereka kemudian melanjutkan perdebatan mereka yang seolah-olah tak ada ujungnya, tanpa menghiraukan pria yang bertanya tadi. Mereka berdebat tentang dari mana memulai serangan, tempat mana duluan yang akan diduduki, siapa yang lebih cocok memimpin sampai hal remeh temeh seperti kapan makan siang dan di mana. Kesetaraan pangkat militer di antara mereka nampaknya meningkatkan ego masing-masing, sehingga terjadi saling menyangkal pendapat.

 Sepasukan tentara yang menunggu di luar sudah nampak gelisah menunggu para pemimpin mereka mengambil keputusan. Siang semakin meninggi sedang mereka belum lagi mendapat jatah makan.

Di antara riuh rendah perdebatan di ruangan tersebut, pria berseragam polisi yang bertanya tadi seketika mencabut pistol, kemudian menghampiri dua sandera di pojok ruangan yang masih diam terikat. Mereka yang berdebat acuh, di pikiran mereka hanya ada satu gambaran bahwa dua sandera itu akan menemui ajalnya saat itu juga, seolah-olah mereka telah terbiasa menyaksikan tindakan kekerasan. Mereka tak melihat ke arah pria tadi, tetap sibuk menyampaikan argumen masing-masing.

Pada saat itulah terdengar sebuah letusan, dilanjutkan dengan robohnya sang komandan. Yang lain sangat terkejut dan berusaha melindungi diri namun terlambat.

"Sekarang, Rama!" Pria berseragam polisi tadi berseru sambil dengan gesit mengarahkan tembakannya ke arah semua yang hadir di sana satupersatu. Pria yang tadi duduk di sebelahnya, tiba-tiba bangun juga, mencabut senjata dan ikut menembaki kumpulan perwira yang berdebat tadi. Suara tembakan beruntun dari dalam rumah mengagetkan para tentara yang ada di luar. Belum sempat mengetahui apa yang terjadi, beberapa penyelam muncul dari dalam air sungai kemudian menembaki mereka seperti puluhan katak menyembul kemudian menjulurkan lidahnya.

Dari pepohonan dan semak-semak sekitar mereka, bermunculan juga tentara dengan kain putih terikat di lengan yang serta merta menghujani peluru. Mereka mencoba melawan atau pun melarikan diri namun sia-sia, mereka telah terkepung dan bertumbangan satupersatu. Beberapa dari mereka menjatuhkan senjata dan mengangkat tangan.

Komandan Tim Bajra nampak bergegas menuju rumah sakit angkatan darat, sesaat setelah menerima laporan bahwa dua perwira tinggi berhasil diselamatkan.

Setibanya di rumah sakit, sang komandan nampak muram ketika mendengar bahwa satu perwira tinggi, yaitu Brigjen Nara tidak berhasil diselamatkan nyawanya. Beliau meninggal dalam perawatan akibat luka yang cukup parah. Hanya Jenderal Arya yang selamat namun masih memerlukan perawatan khusus. Para penculik nampaknya menyiksa mereka dengan sangat kejam. Kenyataan itu membuat sang komandan memukul meja. Setelah dokter menyatakan bahwa Jenderal Arya bisa ditemui, sang komandan beserta dua pengawalnya bergegas masuk ke kamar perawatannya.

Mereka bertiga memberi hormat, disambut anggukan dari seorang pria sambil berbaring. Kepala sampai kakinyanya dibalut perban, beberapa kulit yang tidak dibalut masih terlihat memar-memar kebiruan. Pria itu adalah Jenderal Arya.

"Bagaimana keadaan anda, Jenderal?" sapa sang komandan,

"Merasa lebih baik," jawab Jenderal Arya pelan agak bergetar.

"Binatang apa yang memperlakukan anda hingga sampai seperti ini?" tanya sang komandan siratkan mimik iba tapi tetap berusaha menahan rasa geramnya.

"Mereka... iblis... jangan biarkan mereka menang," desah Jenderal Arya agak memaksa.

"Beristirahatlah, Jenderal. Kami akan berusaha menyelamatkan negara ini. Jangan khawatir." Sang komandan coba menghibur.

Sambil menahan sakit, sang jenderal berusaha tersenyum dan mengangguk pelan.

Setelah keluar dari ruangan, sang komandan bertanya kepada pengawalnya,

"Ada kabar dari Iptu Wira? Setelah operasi pembebasan para perwira tinggi dia tak kunjung melapor."

"Maaf komandan, Iptu Wira menitipkan pesan bahwa dia langsung bergerak ke Bukit Indria. Katanya dia mendapat informasi lokasi pemimpin pemberontak."

"Semua anak buahnya ada di markas, apa dia bergerak seorang diri?"

"Betul, komandan."

"Apa yang ingin kau lakukan lagi, Wira? Kau itu... selalu bertingkah seperti Rambo." Sang komandan terlihat tertegun sesaat dan bergumam dalam hati. Kemudian melanjutkan langkahnya diikuti dua pengawalnya.

Setelah komandan Tim Bajra meninggalkan rumah sakit, seorang berpakaian dokter terlihat memasuki ruangan Jenderal Arya tanpa menemui kesulitan dari penjaga di luar ruangan. Jenderal Arya sedang tertidur akibat obat penenang ketika pria yang berpakaian dokter tersebut menyuntikkan suatu cairan ke dalam infus sang jenderal kemudian bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Tak lama berselang terdengar suara "Tit" panjang yang keras. Dokter dan suster jaga terlihat berlarian menuju kamar Jenderal Arya. Beberapa saat mereka mencoba menolong sang jenderal namun sia-sia saja.

Iptu Wira tergesa meninggalkan rumah pinggir Sungai Sukmanadi yang tadinya menjadi ajang pertempuran. Dia adalah pria berseragam polisi yang melakukan penembakan terhadap para pemimpin pemberontak. Iptu Wira bergegas pergi sendiri mengendarai mobilnya, setelah memerintahkan sebagian anak buahnya membawa sandera yang berhasil diselamatkan ke rumah sakit, sebagian lagi membawa para tawanan ke markas serta sisanya ditugaskan membersihkan tempat pertempuran dari mayat-mayat pemberontak maupun pasukan pemerintah yang menjadi korban.

Dia menyempatkan diri mampir ke sebuah taman tengah kota demi sekadar membasuh muka. Suasana kota begitu genting, banyak didengarnya suara serine tumpang tindih antara ambulan maupun mobil aparat. Beberapa regu tentara dan polisi juga sesekali nampak berpatroli menambah genting suasana. Mobil-mobil pers juga ikut mengambil alih pandangan ketika mondar-mandir demi mencari berita yang mereka inginkan.

Beberapa pencuri mengambil kesempatan dengan membuka paksa pintu-pintu supermarket yang tutup, sesaat mereka kemudian ditangkap oleh aparat. Beberapa gedung juga dibakar orang tak dikenal, termasuk gedung catatan sipil yang menjadi pusat data penduduk. Semuanya dapat dilihat jelas oleh Wira dari taman di mana dia berada kini. "Oh, betapa pentingnya sebuah ideologi, hingga kita diharuskan untuk terjun ke medan kekacauan." kesahnya.

Iptu Wira adalah pria dengan postur tubuh cukup tinggi, berkulit gelap, berambut cepak serta beralis tebal. Matanya bersorot tajam dengan bola mata hitam mengilap. Berhidung pesek menaungi bibir tebalnya. Dia menggunakan botol air mineral tanggung untuk menampung air dari keran kemudian menyiramkan airnya di atas rambut. Sekejap air membasahi kepala serta baju seragamnya. Setelah dirasanya sudah cukup segar, dia bergegas memacu mobilnya meninggalkan taman menuju perbatasan kota.

Selang kira-kira satu jam perjalanan—lebih lambat dari waktu biasanya untuk menuju ke sana, karena banyak blokade tentara yang harus dilewati terlebih dahulu—dia hampir sampai di perbatasan kota, dilihatnya di kejauhan beberapa tank teronggok rusak masih mengepulkan asap.

Beberapa tentara nampak berjaga-jaga, sedang beberapa yang lainnya membantu anggota paramedis menolong para prajurit yang terluka, maupun mengangkut jenazah prajurit yang meninggal.

Iptu Wira menghentikan mobilnya di pinggir jalan, agak jauh dari perbatasan kota tanpa seorang pun yang melihat. Kemudian segera mengganti seragam polisinya yang basah dan kurang nyaman dengan pakaian serba hitam dari baju, jaket sampai sepatu. Sepucuk pistol nampak terselip pada ikat pinggang depan sebelah kirinya. Mobil ditinggalkannya begitu saja di tempat berhenti tadi, dia terlihat langsung melompat ke arah padang rumput sebelah jalan, kemudian berlari menuju Hutan Satyawana. Langkah kakinya begitu gesit dan lincah.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top