2. PETUNJUK
Selang beberapa saat, Rah dan Ki Urip tiba di tempat kediaman mereka.
Bangunan kediaman Ki Urip berarsitektur Bali Kuno. Bali adalah sebuah pulau di seberang lautan. Terletak di negeri yang disebut Nusantara. Beberapa penduduknya berlayar kemudian sampai di negeri satu pulau ini. Mereka menetap serta ikut membangunnya bersama pribumi setempat. Negeri ini diberi nama Yogaphala.
Orang-orang Bali tersebut tidak hanya membawa gaya arsitekturnya saja, tapi agama dan kebudayaan mereka juga. Mereka merasa betah berada di Yogaphala, walau iklimnya agak lebih dingin dari Nusantara.
Beberapa keturunan mereka menikah dengan pribumi dan menghasilkan keturunan yang kini menjadi penduduk negeri ini. Orang-orang Bali termasuk golongan Ras Melayu yang cenderung pendek dan berkulit sawo matang (gelap). Sedangkan pribumi Yogaphala adalah golongan Ras Arya yang memiliki tubuh tinggi dan berkulit putih. Persilangan dari kedua ras tersebut menghasilkan keturunan yang beragam.
Areal kediaman Ki Urip terdiri atas empat bangunan yang kesemuanya berpondasikan tanah, bertiang kayu Nangka, dikelilingi gedek dan beratapkan jerami. Bangunan-bangunan itu adalah Bale Mundak, Meten, Dapur dan Lumbung.
Semua bangunan terlihat sangat sederhana termasuk ukirannya hanya berupa pola-pola dasar daun dan sulur. Bangunan Meten yang terbesar di antara semua bangunan. Terdiri dari teras tanah dilengkapi amben bambu dan dua kamar tidur. Posisinya ada di sebelah Utara menghadap ke Selatan. Bale Mundak ada di depan Meten menghadap ke Utara. Dapur di sebelah Barat Bale Mundak dan Lumbung ada di sebelah Barat Meten. Ada pula kolam lele di sebelah kanan Gapura yang tersusun dari bata merah yang telah meretak sana-sini. Kolam tersebut dilengkapi dengan sebuah pancuran.
Langit semakin menghitam tersesakkan mendung. Bulir-bulir air mulai menetes pelan.
"Wah, untung kita sampai di rumah tepat waktu. Tolong letakkan kayu bakarnya di dapur, Nak," pinta Ki Urip kepada Rah.
Tanpa pikir panjang, Rah membawa dua ikat kayu bakar yang dipikulnya sepanjang perjalanan tadi ke dalam Dapur. Kemudian membasuh mukanya di pancuran jernih dekat kolam Lele. Air pegunungan terasa sangat sejuk menerpa telapak tangan dan wajahnya, menyejukkan sampai ke dalam relung sukma. Sementara hujan semakin deras ketika mereka masuk ke dalam teras Meten.
"Ganti pakaianmu, Nak. Lalu kita makan," pinta Ki Urip.
Setelah Rah selesai mengganti pakaiannya yang basah akibat keringat, dia keluar dari kamar menuju amben bambu. Di sana Ki Urip sudah menunggunya. Di sebelah Ki Urip nampak sebuah bungkusan plastik gelap. Mata Rah langsung tertuju pada benda tersebut.
"Apa itu, Ki?" Rah bertanya sambil memasang mimik penasaran.
"Makan dulu, Nak. Nanti kutunjukkan padamu."
Rah mematuhi Ki Urip, kemudian mengambil tempat di depannya. Di atas amben bambu telah tersaji Ikan Lele panggang beralaskan daun pisang. Sambal Tomat dalam tempurung kelapa. Sayur Bayam dengan bumbu adonan kelapa parut, bawang merah, bawang putih, garam dan cabai berwadah piring seng dan sebakul nasi putih.
Melihat semua makanan yang menggugah selera itu, Rah menjadi kalap. Dia langsung menyambar piring dan mengisinya penuh dengan nasi. Ki Urip memandang pria di depannya dan tersenyum kecil. Ada rasa senang, tapi muncul pula rasa sedih di hatinya. Sebab dia begitu yakin bahwa Rah akan meninggalkannya setelah melihat isi di dalam tas hitam tersebut.
"Ayo, Ki. Makan. jangan bengong saja. Masakan Ki enak sekali."
Rah berucap sambil mulutnya penuh dengan makanan. Baru kali ini selama dua tahun dia terlihat menikmati makanannya.
"I... Iya." Ki Urip tersenyum lagi. Kumis putihnya agak terangkat. Ki Urip menyembunyikan perasaan yang sesungguhnya, bahwa dia tidak mau kehilangan Rah yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri.
Mereka asik menikmati makanan mereka. Sementara hujan masih saja belum puas mencumbui tanah dan seisi alam.
卍
Sesaat kita tinggalkan dulu kehidupan sederhana Rah dan Ki Urip. Kita menuju ke sebuah pagi bertempat di balik Bukit Indria. Berlawanan arah dengan tempat tinggal Rah dan Ki Urip. Suatu kota yang ramai, padat dengan aktivitas penduduknya yang sibuk dengan profesi masing-masing. Ada yang berdagang, bekerja di kantor, sopir, dokter dan sebagainya. Bangunan-bangunan dengan arsitektur tradisi Bali berbaur dengan gedung-gedung modern yang tinggi menghiasi wajahnya.
Seluruh jalanannya beraspal penuh dengan lalu-lalang mobil-mobil produksi Asia dan Eropa, sesekali Amerika juga. Motor-motor buatan Jepang merajai jalanan mengalahkan Harley yang bisa dihitung dengan jari. Beberapa polisi terlihat sibuk mengatur lalu-lintas kendaraan dan menolong pejalan kaki yang ingin menyeberang jalan. Kota ini bernama Santiloka.
Di tengah Kota Santiloka, berdiri sebuah klinik dengan tembok bercat putih, berpintu ganda. Di kanan dan kiri pintu masuk terdapat jendela dengan bingkai kayu jati. Tambah ke kiri terdapat jendela yang lebih besar dengan kaca yang bening. Pintu dan semua bingkai jendela bernuansa hijau muda.
Halaman klinik berpaving rapi. Dihiasi beberapa tanaman hias dalam pot berwarna putih, berjajar rapi dari kanan dan kiri pintu sampai di bawah jendela besar tadi. Beberapa motor parkir di halamannya. Ada pula satu mobil sedan mewah parkir di garasi sebelah kanan bangunan klinik. Mobil tersebut milik dr. Wisnu, dokter sekaligus pemilik klinik.
Di dalam klinik, terlihat seorang gadis muda berparas cantik. Rambut panjangnya hitam lurus terikat dilengkapi topi perawat. Dia terlihat sibuk melayani pasien yang datang berobat. Wajahnya putih bersih dan bersinar. Sesekali disekanya keringat di dahi. Kadang alisnya yang tipis bergerak naik turun. Matanya jernih dengan bola mata hitam mengilap dan bulu mata lentik sesekali melambai seraya matanya berkedip. Hidungnya bangir dan licin, entah berapa mata pria tergelincir di sana. Seragam putih perawat terlihat begitu serasi membesut semampai tubuhnya.
Sang gadis sedang duduk di kursinya sambil mengisi buku catatan kunjungan pasien, ketika dia mendengar erangan dari kursi tunggu. Bergegas dia mendekati sumber suara tadi yang adalah seorang Ibu tua yang terlihat kesakitan.
"Ibu kenapa? Ada yang bisa saya bantu?" sapa sang gadis ramah.
"Maaf suster, perut saya sakit sekali," desah Ibu tua itu. Suaranya terdengar pelan sedikit bergetar.
Sang gadis melirik di tangan ibu tersebut memegang nomor antrian 9, sedangkan pasien yang baru masuk memiliki antrian no. 2. Perlahan dia melirik beberapa pasien yang masih mengantre. Mereka memandang dan tersenyum sambil menunjukkan gestur tanda mempersilahkan. Sang gadis mengerti mereka sepakat untuk mengijinkan Ibu tua tersebut untuk diperiksa terlebih dahulu.
"Tunggu sebentar ya, Bu. Setelah pasien yang tadi keluar, nanti saya antar Ibu ke ruang perawatan," pinta sang gadis.
Ibu tua itu duduk semakin gelisah menahan sakit di ruang tunggu klinik, sementara sang gadis bergegas berjalan ke ruang pemeriksaan.
"Maaf mengganggu, Dok." Sang gadis mengucapkan kata permisi sebelum masuk ke sebuah ruangan serba putih dari lantai sampai dindingnya. Ruangan itu dilengkapi meja besar berisi telepon, laptop dan beberapa jurnal yang bertumpuk di atasnya. Di depan meja duduk seorang pasien pria yang spontan melihat ke arah sang suster. Di kiri meja ada sebuah ranjang dengan sprei dan bantal serba putih.
"Ada apa, Sus?" suara laki-laki yang sedari tadi berada di belakang meja sambil mengisi kartu pasien serta menulis resep. Lelaki itu adalah dr. Wisnu.
"Ada pasien yang segera membutuhkan penanganan dokter."
"Oke, suruh langsung masuk saja, saya sudah selesai dengan bapak ini."
Sang gadis bergegas keluar ruangan dan menemui wanita tua tadi. Wanita tua itu berdiri dibantu sang gadis dan berjalan pelan menuju ruang pemeriksaan. Setelah beberapa lama di dalam, ibu tua dan sang gadis terlihat keluar dari ruang pemeriksaan.
"Jangan lupa diminum obatnya ya, Bu," ucap sang gadis perawat.
"Terima kasih, Sus."
Satu per satu pasien datang dan dilayani oleh klinik tersebut. Pukul 12.00 pelayanan berhenti sebentar, dan mulai lagi Pukul 13.00. Selalu seperti itu setiap hari kerja.
Tak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00, dan saat itu terjadi pergantian shift suster dan dokter jaga di klinik yang buka 24 jam—kecuali hari minggu atau hari-hari besar Agama—tersebut.
"Saya pulang duluan, Dok." Sang gadis berpamitan kepada dr. Wisnu.
"Oke, mau saya antar?" Dokter Wisnu sedikit bernada menggoda.
"Tidak usah, Dok, terima kasih."
dr. Wisnu hanya bisa memandangi bayang sang gadis hilang di balik pintu.
Dokter Wisnu adalah dokter yang masih muda dengan perawakan yang gagah. Selalu tampil klimis dengan rambut lurus disisir rapi ke belakang. Wajahnya putih bersih serasi dengan pakaian dokternya. Alisnya tipis agak pirang menyembul dari atas kaca matanya. Hampir selalu matanya tertutup kaca mata, namun bisa terlihat bahwa matanya bulat dengan bola mata kecokelatan. Memiliki hidung bangir, berkumis tipis, berbibir tipis kemerahan.
Sementara itu, sang gadis berjalan sendiri menyusuri trotoar menuju rumahnya. Beberapa saat tibalah dia di sebuah rumah tingkat dua yang terlihat begitu mencolok daripada rumah di sekelilingnya. Temboknya terlihat kokoh berwarna putih dipadukan dengan warna krem. Atapnya menjulang tinggi dengan genting berwarna cokelat tua. Terdapat banyak jendela menandakan banyaknya ruangan dan kamar di dalamnya. Halamannya pun sangat luas dipenuhi rumput mutiara, serta tanaman hias dan beberapa jenis bunga. Lampu taman pun terpasang di halaman, tepatnya di sebelah kiri gapura.
Di arah Timur Laut berdiri kokoh sebuah bangunan suci keluarga yang bernama Merajan. Beberapa bagian halaman dipasangi paving, terutama yang menuju ke depan pintu rumah dan ke bangunan suci. Di depan rumah berdiri gapura yang berbentuk dua tiang besar dengan atap berbentuk limas persegi panjang. Serasi dengan tembok tinggi yang mengelilingi area rumah dan pintu gerbang yang besar dan berat. Rumah tersebut juga dilengkapi pos security.
Melihat ada yang datang, seorang security yang sedari tadi duduk terkantuk-kantuk di posnya bergegas membukakan pintu gerbang. Nampaknya dia sudah tahu siapa yang datang. Sang gadis membalas dengan senyum sapaan security rumahnya dan bergegas melangkahkan kaki memasuki halaman. melewati bangunan garasi panjang yang dalam keadaan tertutup di sebelah kanannya. Entah berapa mobil ada di dalamnya, yang jelas lebih dari satu.
"Ibu." sapa sang gadis kepada wanita tua yang duduk di kursi goyang—sambil membaca majalah—di teras depan rumahnya. Kira-kira wanita itu berumur empat puluh tahunan. Wanita itu memakai daster berwarna biru tua dengan motif bunga-bunga berwarna orange dan kuning di perawakannya yang agak kurus. Rambut lurus sebahu dan wajahnya agak keriput terutama di sekitar dahi. Matanya tersembunyi di balik kaca mata baca. Wanita itu seketika menoleh ketika mendengar suara tadi.
"Eh, Rana, ternyata sudah jam kamu pulang ya?" sambutnya kepada gadis yang tadi menyapanya. Gadis itu bernama Rana, anak kedua dari dua bersaudara. Kakak laki-lakinya telah meninggal saat terkena kebijakan wajib militer dan terjun ke medan perang dua tahun silam.
"Ibu sebaiknya jangan lama-lama diam di luar. Anginnya terlalu kencang," pinta Rana pada wanita tua tadi yang tak lain adalah ibunya. Dia kemudian membantu ibunya bangkit dari kursi goyang dan memapahnya ke dalam rumah.
"Ayah belum pulang, Bu?"
"Belum, Nak. Kata Ayahmu masih ada meeting dengan klien."
Rana cuma mengangguk tanda mengerti.
Ayah Rana adalah seorang presiden direktur di perusahaan yang diwariskan oleh mendiang Kakek Rana. Sebuah perusahaan minuman ringan yang terkenal di seluruh kota Santiloka, bahkan seluruh negeri Yogaphala.
Setelah mengantar Ibunya kembali ke kamar, Rana masuk ke kamar tidurnya. Satu persatu pakaian dan atribut perawatnya ia tanggalkan dan berganti mengenakan piyama putih, mengambil handuk dan menuju kamar mandi, membersihkan tubuh dari debu dan keringat sehabis bekerja seharian.
Selesai mandi Rana kembali ke kamarnya. Menyisir rambutnya yang basah terlihat berkilau diterpa sinar lampu kamarnya. Kecantikannya terbias di dalam cermin meja tempat dia biasa bersolek. Satu hal yang sering dilakukan Rana saat sendiri di dalam kamarnya adalah mengambil sebuah foto dari dalam laci meja riasnya. Memandanginya seraya matanya mulai mengembun berkaca-kaca. Keluarnya air mata semakin deras mengalir melewati pipi merah mudanya. Jelas terlihat bahwa yang tergambar dalam foto tersebut adalah seseorang yang sangat dia sayangi dan rindukan.
卍
Kembali lagi ke gubuk tua di mana Rah dan Ki Urip menghabiskan malam. Diterangi redup lampu tempel berbahan bakar minyak kelapa, mereka asik menikmati rokok tradisional dari tembakau yang dibungkus kulit jagung. Dari siang tadi sampai memasuki malam, Ki Urip tak kunjung juga mengijinkan Rah untuk membuka bungkusan plastik yang berisi petunjuk baginya. Entah karena lupa atau sengaja menunda-nunda, Rah pun tak berani mendahului walau dia sebenarnya gelisah, sudah tidak sabar untuk melihatnya, sampai akhirnya rasa gelisahnya terhapuskan.
"Sesuai janjiku, aku akan memberikan bungkusan ini kepadamu." Ki Urip membuka pembicaraan.
"Bukalah, Nak." Ki Urip menyerahkan bungkusan plastik berwarna gelap tersebut. Rah menerimanya, buru-buru membuka dan mengeluarkan isinya namun kemudian terdiam. Isi bungkusan tersebut adalah sebuah seragam polisi berwarna cokelat pudar yang penuh bercak darah mengering marun. Hampir semua bagian seragam robek. Di bagian dadanya terpampang sebuah nama, BAYU. Nama yang sama sekali tidak dikenalnya dan sedikit pun tidak diingatnya.
Rah kemudian memeriksa seragam itu, membuka lipatannya dan meronggoh saku-sakunya. Dia menemukan sebuah kartu bertuliskan NATHA CORP. beserta alamat di bawahnya. Rah sejenak memandangi kartu tersebut. Kartu yang terlalu bagus untuk hanya sekadar kartu nama. Pikirnya sambil terus memerhatikan kartu berbahan mirip plastik agak tebal tersebut.
"Ki tahu alamat ini di mana?"
"Kalau tidak salah alamat itu ada di Kota Santiloka, di balik Bukit Indria." Ki Urip sedikit ragu.
"Kau akan pergi, Nak?"
Rah terdiam. Tampak jelas di wajahnya akan beban pikiran yang berkecamuk hebat di otaknya. Pergi mencari identitas dirinya meninggalkan Ki Urip yang sudah dianggapnya sebagai ayah, atau tetap tinggal melupakan semua dan melanjutkan hidup dengan identitas barunya. Pertanyaan itu terus berputar di benaknya.
"Kalau kau mau pergi, pergilah, Nak." Suara Ki Urip mengagetkannya.
"Tapi, Ki!"
"Kau tidak usah memedulikan pria tua ini. Aku sudah terbiasa hidup sendiri. Kalau sudah menemukan jawaban, jangan lupa mengunjungiku."
Ki Urip berusaha menenangkan Rah. Rah memeluk tubuh Ki Urip dan tanpa sadar meneteskan air mata. Perasaannya mengharu-biru, meluap bagai pasang air laut menerjang menggetarkan karang hatinya. Begitu pula Ki Urip, sudah tidak mampu lagi menahan rasa terharunya.
"Sudahlah, Nak. Sebaiknya kita tidur, malam sudah sangat larut." Mereka menuju kamar masing-masing. Rah masih tetap terjaga di atas ranjangnya. Memikirkan pilihan yang akan diambil keesokan harinya.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top