18. KEKACAUAN
Kota Santiloka dua tahun silam. Dua puluh hari setelah rapat darurat pemerintah. Sebuah mobil van berwarna hitam melaju kencang menyibak kabut menyusuri jalan di kesunyian dini hari. Mobil tersebut tiba-tiba berhenti di depan sebuah monumen berbentuk patung manusia. Patung tersebut adalah patung bapak pendiri Negara Yogaphala bernama Bapak Bajra Sakti. Bapak pencetus paham Yogaisme yang kemudian menjadi ideologi negara. Walau beberapa tahun lalu muncul partai baru berpaham Khalaisme, Yogaisme masih selalu memenangkan pemilu. Pintu samping mobil van tersebut seketika terbuka dan dari dalamnya jatuh terpelanting sesosok tubuh dengan tangan dan kaki terikat. Tubuh itu nampaknya pingsan atau telah tewas karena tidak bergerak sedikit pun setelah dijatuhkan. Pintu mobil van kembali tertutup kemudian langsung melaju meninggalkan saja sosok tubuh itu di sana, di tempat lengang tanpa sepasang mata pun melihatnya.
卍
Presiden Yogaphala bertemu lagi dengan para pemimpin tentara dan polisi pemerintahan.
"Wahai rekan-rekan semua. Kunyatakan negara dalam keadaan yang sangat gawat. Baru saja saya mendapat kabar bahwa salah satu perwira tinggi kita, Mayjen Gita dari angkatan darat dieksekusi dan jazadnya dibuang begitu saja di depan Monumen Bajra Sakti. Kita harus segera mengambil tindakan!" Presiden membuka rapat. Ada perasaan sedih sekaligus geram di nada suaranya. Namun tidak tersirat keraguan lagi seperti ketika pertemuan sebelumnya.
"Dumogi amor ring Acintya." Peserta rapat menggumamkan doa tanpa bisa menutupi keterkejutan dan kesedihan mereka.
"Mereka telah berani melecehkan kita. Ini benar-benar tak bisa dibiarkan lagi. Kami siap menerima perintah dari Bapak Presiden," sahut salah seorang perwira tinggi di ruangan itu tak kalah geramnya.
"Kami telah mempersiapkan personel dan rakyat wajib militer dengan sebaik-baiknya. Kami siap membela negara dan pemerintahan yang sah sampai titik darah penghabisan!" imbuh sang perwira tinggi penuh semangat membara. Terlihat sepasang api menyala di kedua bola matanya.
Pernyataan tersebut disambut semua yang hadir di sana dengan tidak kalah semangat. Berseru setuju sambil menahan amarah masing-masing.
"Kita harus menggungsikan presiden beserta keluarga terlebih dahulu, demi mencegah suatu hal yang tidak kita inginkan." berucap salah satu pria yang dari tadi duduk di sebelah sang perwira tinggi. Dia adalah pria berpangkat kepala kepolisian.
"Itu benar, Pak. Saya telah meminta bawahan saya menyediakan tempat berlindung untuk presiden, wakil presiden beserta semua keluarganya." Sang perwira tinggi menambahi.
"Ada kabar dari usaha penangkapan Ismu Baratha?" Suara presiden memecah kegaduhan.
"Belum ada perkembangan yang signifikan, Pak." Sang kepala kepolisian menanggapi.
"Bahkan keluarganya pun tak bisa ditemukan?"
"Seperti yang kita ketahui, Ismu Baratha adalah seorang duda dengan dua anak. Dua anaknya, Danta Baratha dan Agni Baratha sedang berada di luar negeri, Pak."
"Hubungi jaringan Interpol untuk melacak posisi mereka."
"Siap, Pak!"
"Sialan kau Baratha, kau telah merencanakan ini dengan sangat baik," gerutu sang presiden dalam hati.
"Baiklah. Rapat darurat ini resmi saya tutup. Semoga Hyang Widhi melindungi kita semua dan menyelamatkan negara ini." Presiden menutup pertemuan itu dan meninggalkan ruangan diikuti para pengawal khususnya. Semua peserta rapat terlihat berdiri memberi hormat setelah mengamini kata-kata presiden mereka.
Setelah Presiden tak terlihat lagi, sang perwira tinggi mengambil alih memimpin rapat. "Wahai rekan-rekanku semua, telah diputuskan bahwa besok kita akan bergerak menyerang para pemberontak yang diduga bersembunyi di sekitar Bukit Indria, sampai ke pesisir utara. Instruksikan kepada semua pasukan untuk mengenakan kain putih di lengan kanan sebagai tanda pasukan kita. Pemberontak mungkin menggunakan seragam yang sama dengan kita. Tunjukkan rasa nasionalisme kalian serta hasil kerja keras selama ini. Tapi tetap jangan lupa untuk melindungi rekan di samping kalian. Mari bersama-sama tetap tegakkan panji Yogaphala!" Perintah terakhir sang perwira tinggi disambut semangat semua yang hadir di sana seraya membubarkan diri. Mereka kembali ke lembaga masing-masing untuk mempersiapkan segalanya.
Sementara seseorang diam-diam pergi meninggalkan istana kepresidenan. Menyibak para pendemo yang terlihat mulai berhadap-hadapan dengan aparat. Pria itu mengendarai motornya kemudian bertemu seseorang di batas utara Kota Santiloka. Orang yang ditemui kemudian berjalan melewati tapal batas kota, melalui daerah padang rumput, lalu menemui orang yang telah menunggu di batas Hutan Satyawana. Setelah beberapa menit, orang yang ditemuinya lanjut masuk ke dalam hutan, menemui seseorang di dalam hutan, kemudian yang ditemui bergerak mendaki ke puncak Bukit Indria lalu mendekati sebuah gubuk. Nampaknya sedang terjadi pemindahan informasi secara rahasia.
"Tolong buka pintunya." Seorang pria berbisik sambil mengetuk pintu sebuah gubuk kayu yang tersembunyi di balik rimbun pepohonan. Pintu pun terbuka, dan terlihat seorang pemuda agak tambun memerintahkan orang tadi untuk memasuki gubuk, sambil mengamati sekeliling apa ada orang yang mengikuti temannya itu. Pintu pun tertutup rapat kembali. Di dalam gubuk terlihat seorang pria sedikit berumur sedang menikmati Whiskey-nya. Wajahnya yang berbentuk persegi agak memerah. Rambut, alis serta kumisnya sedikit memutih. Matanya bersorot tajam dengan bola mata hitam kemerahan. Bibir tebal hitamnya seperti terbuka dengan berat saat memulai bicara.
"Ada informasi apa, Ireng?" Dia menyebut nama pria tadi sambil bertanya.
Ireng menjelaskan apa yang sedang terjadi di dalam kota. Pria tersebut manggut-manggut sambil tersenyum.
"Bagus, besok mereka akan kita sibukkan dari sini, sementara anggota kita bisa leluasa bergerak di kota. Terus galakkan juga demonstrasi massa untuk menekan pemerintah dan membuat kekacauan. Ada lagi yang ingin kau sampaikan?"
"Untuk sementara itu saja, Pak."
"Beritahu rumah sungai untuk segera bergerak setelah adanya penyerangan ke arah sini. Pergilah!" Perintahnya kepada Ireng.
Dalam sekejap mata, Ireng sudah lenyap meninggalkan Ismu Baratha.
"Apa kau dengar semua itu, Banas?" Ismu Baratha tiba-tiba melontarkan tanya kepada seorang pria yang dari tadi hanya bisu di dalam sisi gelap gubuk kayu.
"Aku khawatir kita telah membangunkan macan yang sedang tertidur pulas selama ini. Hanya kau harapanku satu-satunya saat ini, macan yang bisa melawan macan," imbuhnya.
"Saya mendengarnya, Pak." Pria itu menjawab dingin.
"Bagus! Sebaiknya kau pastikan kemenangan akan berada di pihak kita."
"Saya akan berusaha sebaik mungkin!"
Ismu Baratha nampak tersenyum puas mendengar jawaban tersebut. Dia melihat kilatan api di mata pria lawan bicaranya sesaat sebelum meninggalkannya. Hal itu membuat keyakinannya bertambah kuat.
卍
Suasana malam di Kota Santiloka dua tahun lalu terasa hening dan mencekam.
"Apa kau sudah siap, Bayu? Besok kita akan pergi berperang?" Abimanyu bertanya kepada Bayu. Wajahnya terlihat diliputi ketegangan. Tangannya mengusap-usap dahi sambil berbaring.
"Justru aku yang harus menanyakan itu, Kak," balas Bayu yang sedari tadi terus memandangi sebuah foto. Foto kekasihnya, Rana.
"Aku polisi, aku sudah terlatih lebih lama untuk berada dalam keadaaan seperti ini," imbuhnya lagi.
"Entahlah, aku tak yakin apa aku mampu, yang kuinginkan kini hanya berada di tengah keluargaku. Terutama menjaga adikku satu-satunya, yang juga kekasihmu."
"Tenang Kak Abi, kita akan selamat. Kita akan mengalahkan mereka dan kembali pulang." Bayu berusaha menenangkan Abimanyu.
"Semoga saja, ayo kita istirahat sejenak. Sebelum pagi-pagi sekali berangkat menuju lapangan tengah kota."
Abimanyu membalikkan tubuhnya dan memejamkan mata. Sedangkan Bayu masih tetap memandangi foto Rana seolah tak sekali pun matanya berkedip.
卍
Kota Santiloka saat ini. Rah berjalan meninggalkan Biro menuju kemana hati menuntunnya. Agni yang secara tidak sengaja melihat kepergiannya bergegas mengikuti. Dilihatnya Rah berjalan menuju ke sebuah klinik tempat Rana bekerja. Akan tetapi Rah tidak masuk ke klinik melainkan masuk ke restoran di depan klinik. Dia duduk di meja dekat jendela yang tepat mengarah ke klinik. Sesekali dia melihat keluar dari balik jendela.
Di dalam klinik, Rana terlihat sibuk melayani pasiennya. Bibirnya seakan dipaksa tersenyum. Dia tidak sesegar dahulu. Matanya sayu dan mukanya pucat pasi. Rah terus memerhatikan Rana dengan perasaan iba. Ingin rasanya dia masuk ke klinik dan berlutut di depan Rana, meminta maaf atas semua kesalahan yang pernah dilakukannya, walau dia tak tahu apa itu.
"Oh... Jadi itu ya gadis yang membuatmu tergila-gila? Hmmm, she's beautiful." Suara Agni mengagetkan Rah. Tak disadarinya telah duduk di depannya, memandang ke arah yang sama dengannya. Rah tidak menjawab, hanya menghela napasnya. Pelayan restoran menghampiri mereka berdua dan menghidangkan dua gelas jus jeruk.
"Minumlah dahulu Rah, tenangkan dirimu, anggap saja aku mentraktirmu, tapi kamu harus mentraktirku suatu hari nanti," pinta Agni sambil tertawa kecil.
"Terima kasih, Ag."
Agni menatap wajah Rah yang semakin gundah. "Kasihan Rah, begitu teganya perempuan itu menyakiti perasaannya," gumamnya dalam hati.
Sementara itu di dalam klinik.
"Kamu terlihat kurang sehat, Ran" Pertiwi berkata sambil memegang dahi sahabatnya.
"Aku tidak apa-apa, Wi... cuma kecapaian."
"Sebaiknya kau minta ijin kepada dr. Wisnu untuk pulang cepat hari ini."
"Aku mengijinkanmu, Ran." Ternyata dr. Wisnu mendengar percakapan mereka. Muncul dari balik pintu memasuki ruangan di mana mereka berada.
"Kondisimu saat ini tidak memungkinkanmu untuk bekerja, biar aku antar kamu pulang. Sekalian aku mencari beberapa obat untuk persediaan klinik."
"Baiklah, Dok." Rana meraih jaket dan tasnya.
Rana dan dr. Wisnu nampak berjalan keluar dari klinik. Tiba-tiba sesosok pria menghadang langkah mereka. Pria itu langsung memegang erat tangan Rana.
"Lepaskan, Rah!" Rana meronta sekuat tenaga.
Dokter Wisnu tiba-tiba memukul wajah Rah hingga tubuh Rah jatuh tersungkur. Rana langsung memegang tangan dr. Wisnu, mencegahnya menyakiti Rah lagi.
"Kau ingat pesanku untuk menjaga Rana baik-baik, hah?!" Dokter Wisnu menghardik Rah yang berusaha berdiri dibantu Agni yang dari tadi setia menemaninya.
"Ran, aku ingin bicara. Apa kesalahanku sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba marah dan pergi meninggalkanku? Aku sungguh tak mengerti." Rah berkata sambil mengusap darah yang keluar dari mulutnya dengan punggung tangan kirinya.
Kejadian itu menjadi tontonan orang-orang yang kebetulan lewat di sana.
"Sudah, Rah, jangan kau bahas lagi, antara kita sudah tidak ada apa-apa lagi." Sambil menangis Rana menjawab.
Rah berlutut di depan Rana. Dokter Wisnu ingin memukul Rah lagi, tapi dihalangi oleh Rana.
"Ran, aku bersumpah, aku benar-benar tidak tahu alasanmu meninggalkanku. Tapi aku dengan setulus hatiku meminta maaf padamu," ucap Rah sambil menundukkan kepalanya.
Agni yang melihat apa yang dilakukan Rah nampak sangat terharu. Dokter Wisnu menarik tangan Rana menuju mobilnya dan membuka pintu mobil. Rana tidak mempedulikan Rah yang masih berlutut, dia langsung masuk ke mobil. Tapi sebelum dr. Wisnu berhasil menutup pintu mobilnya, Agni memegang pintu tersebut.
"Hey, Rana! Apa kau tahu yang sebenarnya terjadi? Rah kehilangan ingatannya dari pertama sebelum dia menginjakkan kakinya di kota ini. Ketahuilah, aku yakin dia bukan pembunuh seperti yang kau tuduhkan. Coba kau pikir, kenapa dia selalu membawa seragam orang mati yang dibunuhnya kalau dia dengan sadar melakukan itu?!" Setelah mengakhiri perkataannya, Agni membanting keras pintu mobil dr. Wisnu.
Dia terlihat sangat kesal dan berjalan menghampiri Rah, membangunkannya dan mengajaknya pergi. Perkataan Agni sedikit membuat luluh hati Rana. Di dalam mobil dia hanya diam sambil terus memikirkan apa yang didengarnya barusan. Perlahan dia menyadari bahwa mungkin dia cuma asal menuduh. Sadar bahwa belum tentu juga Rah yang membunuh Bayu, cuma gara-gara dia membawa seragam miliknya. Dia merasa bersalah karena selalu memikirkan masa lalu, padahal dia bisa saja berbahagia dalam kehidupan barunya bersama Rah. Pintu hati Rana yang terantai curiga, sedikit-demi sedikit mulai terbuka lagi.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top