17. KEJUTAN

Kota Santiloka kini. Rah kembali datang ke klinik untuk menjemput Rana. Tak terasa sudah tiga bulan lamanya hubungan asmara mereka telah berjalan. Tiba-tiba dr. Wisnu muncul di depan Rah dan tumben menegurnya.

"Hai, kau Rah bukan?"

"Iya dokter, ada apa ya?" Rah menjawab sopan.

"Ah, tidak apa, aku Wisnu, dokter pemilik klinik ini." Dokter Wisnu mengulurkan tangan yang segera dijabat oleh Rah. Dokter Wisnu baru berani berkenalan setelah sekian lama hanya memerhatikan Rah yang sering datang ke klinik.

"Kau mau menjemput Rana?"

"Iya, Dokter."

Selang semenit kemudian Rana terlihat keluar. Dia  sudah memakai jaket dan membawa tasnya, tanda siap meninggalkan klinik.

"Eh, Rah. Ternyata kamu sudah datang."

Rana menyapa Rah dan melihat dr. Wisnu ada di antara mereka.

"Kamu sudah mengenal dr. Wisnu?"

"Kami sudah berkenalan sambil berbincang-bincang sedikit, sambil menunggu kamu, Ran." Dokter Wisnu yang menjawab pertanyaan Rana.

"Oke, ayo kita pergi." Rah mengajak kekasihnya pergi.

Setelah mereka berpamitan dengan dr. Wisnu, mereka berjalan meninggalkan klinik.

"Apa yang kamu bicarakan tadi dengan dr. Wisnu?"

"Tak banyak. Dia hanya bilang aku adalah pria beruntung karena mampu mendapatkanmu dan dia berpesan untuk menjagamu baik-baik. Kalau tidak dia akan menghajarku."

"Hah? Apa benar dr. Wisnu berkata seperti itu?"

"Sebenarnya kalimat yang terakhir tidak diucapkannya."

Rah tertawa geli. Suara tawa Rah semakin menjadi saat Rana mencubit pinggangnya.

"Dasar kamu bisa saja." Rana berkata sambil terus mencubit pinggang Rah. Pipinya merona merah muda.

"Sudah, Sudah... Aku geli, ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

Rana menghentikan cubitannya. Berganti menatap wajah Rah.

"Apa itu?"

"Ikut aku. Akan kutunjukkan padamu."

Rana mengangguk. Rah lalu menghentikan sebuah taksi dan berlalu bersama Rana ke suatu tempat. Selang beberapa menit, sampailah mereka di daerah pinggiran timur kota.

"Kemana kau membawaku, Rah?" Rana bertanya sambil berusaha melihat sekeliling dari dalam taksi.

Rah turun dari taksi lalu membukakan pintu untuk Rana.

"Sekarang tutup matamu."

Rana menurut, Rah menuntun kekasihnya untuk turun dari taksi. Setelah taksi pergi, Rah menuntun Rana melalui jalan kecil serupa gang dengan pepohonan di kanan kirinya. Suara deburan air mengganggu benak Rana, tapi dia tidak mau tergoda untuk membuka mata. Lebih karena tak ingin merusak kejutan yang ingin ditunjukkan oleh kekasihnya. Rah meminta Rana untuk membuka matanya. Rana membuka pelan kedua mata dan melihat rumah di depannya.

"Hanya ini yang baru bisa kuberikan kepadamu. Pemiliknya adalah bosku. Dia mengijinkan aku membeli dengan menyicil. Aku berencana melamarmu dan kita akan tinggal di rumah ini. Mudah-mudahan kamu menyuka...."

Perkataan Rah dihentikan Rana yang tiba-tiba mencium bibirnya. Ciuman itu membuat jiwa Rah bergelora hangat, sehangat sinar mentari.

"Aku bahagia. Sangat bahagia, Rah. Terima kasih."

Rana memandang binar mata kekasihnya. Pipinya merah merona dan senyumnya semakin mengembang.

"Ayo kita masuk dan melihat ke dalam." Rah memegang tangan Rana dan menarik lembut kekasihnya menuju pintu rumah barunya. Di dalam rumah terlihat masih berantakan dengan barang-barang yang masih belum tertata. Rumah itu cuma memiliki dua kamar tidur, satu kamar keluarga, dapur dan kamar mandi.

"Aku menyukai rumah ini karena aku merasa pernah ada di sini, pernah melakukan sesuatu di sini, aneh ya?" ucap Rah sambil terkekeh.

"Ayo sini, Ran. Aku tunjukkan kamar kita kelak." Rah kembali menarik lembut tangan Rana yang masih antusias melihat sekelilingnya. Rana yang terlihat sangat bahagia hanya mengikuti langkah Rah. Apa pun akan dia berikan kepada pria yang bersama dengannya kini, karena dia bisa membahagiakannya. Rah dan Rana tiba di sebuah kamar berukuran 3 x 4 meter. di dalam kamar, sudah diisi dengan ranjang sederhana yang terbuat dari kayu jati, dengan kasur kapuk di atasnya. Di atas kasur yang telah dibalut seprei putih telah dilengkapi dua bantal. Di tengah-tengah ranjang, Rah sengaja meletakkan bunga mawar merah sebagai kejutan untuk Rana. Rana mendekati ranjang dan meraih bunga mawar tersebut, seraya mencium wanginya. Sedangkan Rah berjalan mendekati tubuh Rana. Memeluknya, mencium pipinya dan mengatakan kata sayangnya.

Rana yang terbuai merasa hatinya semakin membara terbakar api cinta . Dia membalikkan tubuhnya dan mencium mesra bibir kekasihnya. Hatinya terasa semakin liar di atas senangnya rasa. Rah juga semakin bergejolak, merasa ada suatu dorongan kuat di kepalanya, menggelapkan mata dan meningkatkan nafsu gairahnya. Bagai pria yang sedang mabuk, dia semakin buas saat melucuti pakaian yang melekat di tubuh Rana sampai hanya tersisa pakaian dalamnya saja. Lalu mengangkat tubuh Rana ke atas ranjang. Rana mendesah kala Rah mencumbunya. Rah semakin tak terkendali, dia berulang kali mencium dan mengulum bibir Rana, kemudian berpindah menghisap lehernya sambil tangannya meremas payudara wanita yang paling dikasihinya itu. Nampaknya Rana telah memasrahkan seluruh jiwa dan raga pada kekasihnya itu.

Sekarang giliran Rana yang melucuti pakaian Rah, dibalas Rah dengan melepas pakaian dalam Rana yang tersisa. Sejenak mereka berpandangan dan tersipu. Wajah mereka semakin memerah. Rana merebahkan tubuhnya disusul Rah memeluknya. Rana mendesah semakin bergairah, diselingi suara nafas Rah yang memburu. Tapi tiba-tiba Rana merasakan sebuah kejanggalan. Dia merasa seolah tubuh yang menindihnya bukan milik Rah. Karena saat memejamkan mata, sayup didengarnya suara rayuan Rah mirip suara Bayu. Namun Rana tidak terlalu memikirkan hal tersebut terlalu jauh. Mereka pun saling memuaskan hasrat mereka. Sejenak melupakan segalanya.

Satu jam berlalu. Rana tampak mulai mengenakan semua pakaiannya kembali. Senja sudah memunculkan parasnya yang berwarna jingga luar rumah. Sejenak Rana memandang ke luar jendela. Nampak air sungai berubah jingga diterpa sinar senja, dalam tampungan sebuah bendungan yang bergeming kokoh. "Betapa rumah dengan pemandangan yang begitu indah. Tapi tunggu, apa rumah ini yang disebut-sebut rumah sungai di berita TV? Ah mungkin itu rumah dekat bendungan yang lainnya." Gumamnya dalam hati.

Sedangkan Rah sedang mandi di kamar mandi belakang. Saat memungut dan memakai pakaiannya dari lantai, Rana melihat ransel Rah yang diletakkan di sebelah kaki ranjang. Hati Rana memaksa untuk membuka ransel tersebut dan melihat isinya. Rana membuka pelan ransel tersebut karena takut ketahuan pemiliknya. Dilihatnya di dalam ransel penuh dengan pakaian. Ada celana dalamnya Rah juga yang serta merta membuat Rana tersenyum geli. Tapi ketika Rana memeriksa kantong yang agak tersembunyi di dalam ransel, dilihatnya sebuah kain usang terlipat rapi. Kain tersebut berwarna coklat dinodai bercak darah yang mengering. Dikeluarkannya kain tersebut. Alangkah terkejutnya Rana saat mengetahui itu adalah seragam polisi milik Bayu.

"Apa kau tahu sesuatu tentang seragam itu?" Tiba-tiba suara Rah mengalun dari arah belakang tubuhnya.

Rana serentak bergeser menjauh. Matanya mulai melembab.

"Jauhi aku, dasar pembunuh!" Rana berteriak bercampur isak.

"Apa maksudmu, Ran? Aku tidak mengerti."

Rana meraih tas kecilnya dan berlari keluar kamar. Rah tidak berhasil menangkap tangan Rana. Rah berusaha secepatnya mengenakan pakaiannya dan bergegas menyusul Rana. Sesampainya dia di luar rumah, ternyata sudah terlambat. Rana telah berada di sisi jalan raya dan sedang memasuki sebuah Taksi yang kemudian melaju meninggalkan Rah. Rah Cuma bisa berdiri di tengah gang yang sepi, sambil memandang Taksi itu menghilang.

Rah tidak mengejar Rana. Dia menumpang ojek kembali ke Biro RSS. Hatinya kosong. Dia sangat bingung tentang apa sebenarnya penyebab kemarahan Rana yang tiba-tiba itu. Kejadian tadi selalu membayangi benaknya.

Dalam sekejap Rah telah sampai di depan biro. Rah buru-buru melewati halaman biro dan masuk kamar asramanya serta menutup pintu. Dia tidak menghiraukan Agni yang menghampiri dan memanggilnya. Agni hanya bisa terdiam di depan kamar Rah siratkan tanya. Kemudian memasang muka kecewa kembali ke kursi teras depan, tempatnya menunggu Rah seharian. Rah termenung diam berbaring di atas ranjang kamarnya. Dia terus memikirkan Rana yang tiba-tiba menyebut dirinya pembunuh. "Jelas Rana mengenal nama di seragam itu." Rah berkata dalam kekalutan jiwanya. 

Tapi dia bisa menyimpulkan bahwa seragam itu bukanlah miliknya. Dia memikirkan kemungkinan bahwa dia telah membunuh pemilik seragam itu, kemudian memakainya di badannya. Entah dengan tujuan apa. Benaknya berkecamuk. Sejenak dia jadi teringat dengan orang yang bernama Rama, yang secara tidak sengaja ditemuinya beberapa hari yang lalu. Apakah Wira adalah nama aslinya? Semua pertanyaan semakin kejam mengganggu pikirannya.

Di lain tempat, tepatnya di kediaman keluarga Adinatha. Rana menangis hebat di kamarnya. Meratapi nasibnya yang dirasa semakin menyesakkan dada. Air matanya semakin deras kala mengecap pahitnya kenyataan sang waktu. Bayangan dua tahun lalu kembali mendatangi. Membawa kesedihan berupa wajah Bayu dan wajah kakaknya yang terus menghantui ingatannya. Rasa traumatik akan kekacauan masa lalu juga mengiringi datangnya duka dan luka.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top