15. KARMA
Kembali ke Kota Santiloka saat ini. Rah dan Rana semakin memiliki hubungan dekat satu sama lain. Rah sering terlihat menjemput Rana di klinik. Rana terlihat sangat bahagia, begitu pula Rah. Kedua insan yang dimabuk cinta itu nampak terlarut hanyut dalam indahnya rasa kekaguman satu sama lain. Tapi tanpa mereka sadari, dr. Wisnu menatap penuh cemburu ke arah mereka. Sesekali ia mengatupkan rahangnya tanda menahan amarah.
"Dok, sabar, Dok." Pertiwi nampak berusaha menenangkan dr. Wisnu.
"Siapa pria itu, Wi? Apa kau mengenalnya?"
"Saya tidak begitu mengenalnya. Rana juga tidak terlalu banyak menceritakannya. Yang saya tahu, Rah nama pria itu dan bekerja sebagai bodyguard di Biro RSS."
Jawaban Pertiwi membuat dr. Wisnu semakin terbakar. Dia meninggalkan Pertiwi tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun. Pertiwi hanya memandanginya sambil menggelengkan kepala.
Seiring hubungan yang tambah mesra antara Rah dan Rana. Rah tanpa ragu kadang mengunjungi Rana di rumahnya. Kedua orang tua Rana nampaknya merestui hubungan mereka juga. Kadang juga Rah diminta oleh Rana untuk menjemputnya di perusahaan ayahnya. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Rah untuk mencari tahu tentang jati dirinya, namun setiap karyawan yang melihatnya datang tak satu pun mengenalinya.
卍
"Rah, apa boleh aku bertanya sesuatu?" Rana berucap pada Rah yang berjalan di sebelahnya.
"Tentu saja."
"Apa kau percaya akan Karmaphala dan takdir?"
"Aku percaya. Percaya bahwa seseorang akan dibayar sesuai dengan baik-buruk karmanya, yang didapat di kehidupan ini, atau kehidupan yang akan datang setelah mereka mengalami kelahiran kembali. Ayahku menanamkan kepercayaan itu padaku."
"Bagaimana dengan takdir?"
"Takdir pada dasarnya dibentuk sendiri oleh setiap manusia. Tergantung seberapa kuat dia berusaha, tapi terlepas dari itu Tuhanlah yang menentukan hasilnya."
"Mungkin karmaku terlalu buruk di kehidupan sebelumnya. Karena satupersatu orang yang kusayangi menghilang. Meninggalkan aku dalam kesunyian. Tak peduli seberapa kuat aku berusaha, mempertahankan perasaan dan setia menunggu mereka, mereka tak kunjung kembali."
Rana tampak sendu dan terharu. Matanya mulai terlembab air mata. Rah merangkul pundak Rana dan berusaha menenangkannya.
"Mungkin itu sudah digariskan oleh-Nya. Kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdoa," hibur Rah sambil memandang iba wajah kekasihnya.
Dia berjanji akan berusaha sekuat tenaga untuk melindungi dan membahagiakan wanita yang sangat berarti baginya itu. Tapi sebenarnya sampai saat itu dia masih diliputi keraguan. Apa itu perasaan sebenarnya yang dia miliki di lubuk hati? Apa itu yang benar-benar diinginkan selama ini? Dan satu lagi, apa Rana tetap akan menerimanya apabila kenyataan akan terungkap suatu saat nanti, bahwa dia seandainya adalah seorang penjahat? Kepala Rah penuh sesak dengan kebimbangan, namun dia menutupinya dengan sangat baik di depan kekasihnya.
卍
Rah kembali ke Biro tempatnya bekerja setelah mengantarkan Rana pulang. Dia langsung menuju kamar asramanya, tapi tangannya terasa diraih oleh tangan lembut seorang gadis.
"Hai Rah. Dari mana saja? Seharian aku tidak melihatmu?" tanya gadis yang tak lain adalah Agni.
"Eh, Ag. Aku hanya berjalan-jalan sebentar menghirup udara segar. Kebetulan tak ada tugas untukku hari ini." Rah berusaha menyembunyikan hal yang sebenarnya dia lakukan.
"Oh... Oke. Aku hanya merasa bosan di sini. Suasana ini membuatku gila!" Agni berucap sambil memegang kepalanya dengan dua tangan.
Rah tersenyum memandang tingkah lucunya. Di mata Rah, Agni adalah sosok gadis yang sangat menarik. Ada sisi hatinya yang teramat ingin bersama Agni, namun di sisi lainnya, tak pernah bisa menyangkal rasa sayang terhadap Rana. Hatinya semakin bercabang.
"Ikut aku, Rah. Aku ingin menunjukkan sesuatu." Agni menarik tangan Rah yang dari tadi termenung.
"Kemana?"
"Sudah, ikut saja."
Rah mengikuti Agni melangkah. Rasa penasaran serentak merajai hatinya. Debar jantungnya menjadi semakin cepat. Pikirannya mengira-ngira tentang apa yang akan ditunjukkan oleh Agni. Di satu sisi dia merasa canggung berdekatan dengan Agni, di sisi lain dia merasa sangat gembira.
"Ini dia!" Agni berteriak sambil menunjukkan sebuah lukisan.
"Aku berusaha membunuh rasa bosanku dengan membuat lukisan." Agni berucap bangga.
Rah memandang lukisan tersebut.
"Ini aku?"
"Iya, nggak mirip ya?"
"Mirip sekali, tapi..."
Sebelum Rah dapat menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba dia merasakan kepalanya sakit tak tertahankan. Pandangannya memudar. Yang dilihatnya cuma kegelapan dengan percikan-percikan cahaya berupa titik-titik yang sangat banyak. Akhirnya dia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya ambruk menimpa sebuah meja di sampingnya, sebelum terbaring di atas lantai.
"Rah! kamu kenapa? Rah!" Suara Agni semakin memudar dalam dengarnya. Rah mendapati dirinya berada di sebuah daratan yang melayang, berbentuk Swastika berwarna perak persis bandul kalungnya, sekelilingnya kabut bergradasi hitam dan putih. Kejadian itu sama dengan yang dialaminya di Hutan saat bertarung dengan para pria yang berhasil dibunuhnya. Muncul dengan misterius, seorang pria berbadan hitam besar dengan seringai serigala.
"Rah, kau kenapa Rah?" Pria itu berucap sambil tertawa mengejek.
"Kita berjumpa lagi, Tuan Kesatria Darah." Tawa seram dan suara parau pria itu membahana, bergema di sekeliling mereka.
"Siapa sebenarnya kau. Mengapa selalu datang menghantuiku?"
"Aku adalah angin, adalah jiwa dari tubuh yang bersemayam dalam tubuhmu. Suatu saat akan terbebas. Saat aku berhasil menghancurkan batu merah itu." Sang pria misterius berbicara sambil mengarahkan jari telunjuknya ke arah batu merah yang terletak di tengah-tengah antara tubuh mereka berdiri.
"Batu apa itu?"
"Itu Batu Khala!"
Jawaban pria mengerikan itu membuat Rah semakin bingung tentang apa yang terjadi. Rah sayup-sayup mendengar suara seorang gadis terus memanggil namanya. Suara itu semakin jelas didengarnya, seiring perlahan dia membuka mata. Rah melihat wajah cemas Agni di samping tempat dia berbaring. Di belakang Agni berdiri Rajas yang memasang muka tak kalah cemasnya. Rah bangkit dan memegang kepalanya yang masih sedikit pusing. Bau minyak kayu putih menyeruak menusuk hidungnya, mungkin Agni mengoleskan minyak itu saat dia pingsan.
"Kamu tidak apa, Rah?" Agni terlihat masih sangat cemas.
"Apa yang terjadi, Rah? Tiba-tiba aku dipanggil Nona Agni. Katanya kau pingsan." Rajas pun ikut bertanya.
"Aku tidak apa. Aku pun tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang aku ingat kepalaku tiba-tiba terasa sakit saat melihat lukisan wajahku. Terutama melihat lambang Swastika yang terlukis sebagai latar belakangnya. Aku pun pingsan dan mengalami sebuah visi yang sangat mengerikan bagai mimpi buruk."
"Visi apa itu, Rah?" Agni dan Rajas bertanya hampir bersamaan.
Rah kemudian menjelaskan apa yang dilihatnya dalam ketidaksadarannya.
"Kesatria Darah? Batu Khala? Man, what the f**k?!" Rajas terlihat sangat bingung.
"Huss, watch your language!." Agni berseru sambil memelototi Rajas.
Seketika Rajas memasang muka konyol dan terdiam, sedangkan Agni kemudian terlihat termangu.
"Kesatria Darah mungkin maksudnya adalah seseorang yang dalam legendanya disebutkan mampu menguasai dan menggunakan Batu Khala..." Sejenak Agni menghentikan penjelasannya, lalu dia melanjutkan ceritanya, "Aku dengar ini secara tidak sengaja dari ayahku dua tahun silam, sebelum aku berangkat ke luar negeri."
Rah dan Rajas mendengarkan cerita Agni secara seksama.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top