12. SEGITIGA

Dua hari berlalu. Ki Urip tidak pernah mengungkit-ungkit lagi tentang kejadian yang menimpa Rah dan Agni di tengah hutan Satyawana. Ki Urip berpura-pura seakan percaya dengan cerita Agni bahwa mereka diserang beruang saat berada di sana.

"Ki, aku mau minta ijin untuk pergi lagi, aku harus secepatnya kembali ke Kota." Rah berkata kepada Ki Urip. Rah bisa menebak betapa gemparnya Biro RSS setelah mengetahui Agni, adik kandung Tuan Baratha tiba-tiba menghilang. Dia pun mengurungkan niatnya untuk tinggal selama lima hari di kampung.

"Baiklah, Nak. Berhati-hatilah. Lanjutkanlah perjuanganmu dalam mencari identitasmu." Ki Urip mengijinkan.

"Baik-baik di sini ya, Jaka, jaga kakekmu dan jadilah jagoan." Kata-kata perpisahan Agni pada Jaka membuat mata anak itu mengembun.

"Kakak kapan datang ke sini lagi?"

"Secepatnya." Agni berjongkok dan memeluk tubuh kecil Jaka. Setelah mereka puas berpamitan, Rah dan Agni memulai perjalan mereka kembali ke Kota Santiloka.

Sementara siang hari di Biro RSS. Tuan Baratha nampak duduk merautkan rasa khawatir yang mendalam.

"Kau belum mendapat informasi apa pun tentang keberadaan Adikku, Raj?"

"Belum Bos. Tapi saya telah menyebar semua anggota biro untuk mencari Nona Agni di seluruh penjuru kota."

"Kemana kau, Dik? Pergi menghilang tanpa ijin padaku. Kau tak pernah berubah. Selalu berbuat sesuka hatimu." Tuan Baratha berkesah sambil menghela nafas.

"Saya mau permisi mencari Nona Agni lagi, Tuan."

Ucapan Rajas disambut hanya anggukan oleh Tuan Baratha.

Seorang gadis berdiri di pinggir gapura biro. Wajahnya tampak gundah, memandang penuh harap ke dalam halaman biro. Seragam perawat yang membesut tubuhnya berpendar putih berkilauan diterpa sinar mentari. Dia adalah Rana dan bisa dipastikan bahwa dia datang ke sana untuk mencari Rah. Rajas melihat Rana berdiri diam di luar gapura biro dan langsung menghampirinya.

"Nona Rana? apa yang Nona lakukan di sini?"

"Tuan Rajas, apa Rah ada di dalam?"

Rajas terdiam. Dia memandang Rana sejenak, kemudian baru menjawab, "Rah belum datang dari kampungnya, dua hari yang lalu dia pergi untuk menjenguk ayahnya."

"Oh, baiklah. Terima kasih, Tuan. Saya permisi."

Rana membalikkan badan dan berjalan meninggalkan gapura biro. Rajas memandanginya dan terlihat sedikit bingung.

"Apa yang telah kau lakukan pada gadis ini, Rah? Sampai dia datang kemari mencarimu?" Rajas menggeleng dan hanyut dalam benaknya. Rajas membuyarkan lamunannya sendiri dan bergegas menuju mobilnya. Dia berangkat lagi untuk melacak keberadaan Agni.

Sandikala menyelimuti Kota Santiloka yang sekejap berubah penuh lampu gemerlap sepanjang jalannya. Di pinggir-pinggir trotoar disulap penuh pedagang sajian makan malam. Segala bisnis dan transaksi dunia malam pun mulai menggeliat memperlihatkan eksistensinya dalam penyambungan daya tahan kehidupan. Hitam dan putih, legal maupun ilegal, berjalan selaras mewarnai haribaan malam dengan cengkraman misterinya, menepikan hadirnya cahaya sang surya. Jauh merasuk pandang ke dalam gelap Hutan Satyawana, seorang pria dengan tuas bambu penyala api jingga tergenggam di tangannya. Langkahnya diikuti pijak kecil seorang gadis yang setia melangkah di belakangnya, sesekali memandang sekitar seraya menekan rasa takutnya. Mereka bergerak pelan mengikuti hembusan angin yang terkadang merindingkan perasaan hati.

"Apa kamu masih kuat berjalan, Ag?"

"Masih. Tapi telapak kakiku terasa perih." Agni sedikit meringis.

"Naiklah ke punggungku. Aku akan menggendongmu."

Rah memindahkan ransel ke depan dada kemudian sedikit membungkuk di depan Agni.

"Apa tidak apa?"

"Tidak apa. Aku sudah terbiasa mengangkat beban yang lebih berat." Rah berhasil meyakinkan Agni. Agni pun naik ke punggung Rah dan melingkarkan lengannya di leher pria yang dikaguminya itu. Perasaan Agni sangat berbunga dan berharap semuanya tak akan pernah berakhir.

"Maafkan aku, Rah. Aku hanya menjadi beban untukmu." Agni berujar dalam hati. Rah mulai melangkah lagi. Sedikit pun dia tidak merasakan lelah, langkahnya begitu ringan walau pun memikul beban tubuh Agni di punggungnya. Rah merasakan tubuh Agni yang mendekapnya erat tidak hanya menghangatkan punggungnya, tapi juga hatinya. Semangatnya terasa semakin terbakar mengalahkan kejamnya jalur berliku menuju tempat tujuan. Rah tak ingin bermalam di tengah hutan lagi. Benaknya terlalu diganggu oleh pikiran-pikiran cemas perihal runyamnya biro, atau marahnya Tuan Baratha karena hilangnya Agni. Dia ingin cepat-cepat kembali ke biro. Untung saja Ki Urip memberitahunya sebuah jalan pintas yaitu melewati jalan setapak dalam hutan melingkari Bukit Indria, tak perlu lewat mendaki lagi.

"Tak pernah aku merasa sebahagia ini, Rah. Terima kasih." Agni berucap. Rah hanya terdiam dan mengangguk. Perasaannya campur aduk menimbulkan sedikit simpati kepada gadis yang digendongnya.

Rah mencoba meluruskan kebenaran rasa hatinya. Berusaha meyakini bahwa perasaannya terhadap Agni hanya sebuah fatamorgana di gurun hatinya. Hatinya yang merindu seseorang yang rela menuangkan air untuk menghapus dahaganya. Dahaga akan kehadiran seorang wanita.

Tak terasa mereka telah tiba di pinggiran Kota Santiloka. Rah terus berjalan sambil menggendong Agni yang terlelap di punggungnya. Berjalan dan berjalan semakin merasuk masuk ke hingar bingar kehidupan malam di kota. Rah merasa lapar, dia berhenti di depan sebuah warung makan.

"Bangun, Ag." Rah mengguncang-guncang lembut tubuh Agni yang masih berada di gendongannya.

"Hmm, sudah sampai di mana kita?" Agni perlahan membuka matanya.

"Sudah sampai di Kota. Biro masih jauh. Ayo kita makan dulu. Apa kau tidak lapar?"

Setelah Rah berkata demikian, Agni tiba-tiba merasa malu. Dia langsung minta diturunkan dari gendongan Rah karena tidak mau orang lain melihat mereka seperti itu.

Mereka kemudian memasuki warung makan sederhana tersebut dan memesan makanan. Tak lama berselang, dua paha ayam bakar beserta nasi, lalapan dan sambel lengkap dengan minuman jeruk hangat dihidangkan di atas meja. Rah dan Agni tanpa basa-basi menyantap pesanan mereka. Nampaknya lapar telah begitu melanda perut mereka.

Usai menyantap makanannya, Rah sedang mengobrol dengan Agni saat seseorang yang sedari tadi memperhatikannya mulai menghampiri serta menyapa. Rah sebenarnya sudah tahu sedang diperhatikan namun dia pura-pura tidak peduli, sampai pria berpakaian preman itu menyapa.

"Selamat malam, Pak." Suara pria asing itu tegas dan lugas. Wajahnya tirus, rambutnya cepak. Beralis agak tebal, berhidung pesek dan berbibir tebal. Kumis tipis menghiasi bawah hidungnya. Matanya memiliki bola hitam legam.

"Malam, Pak." Rah menjawab sekenanya sambil memandang heran pria tersebut.

Agni pun memandang heran pria yang tiba-tiba menyapa Rah tersebut.

"Pak Wira?" tanya pria tersebut menyelidik.

Rah terdiam sambil terus menatap waspada lawan bicaranya.

"Oh, maaf kalau saya telah berlaku tidak sopan. Anda mirip sekali dengan atasan saya dahulu. Nama saya Rama," ucap sang pria merendahkan nada suaranya.

"Anda benar-benar mirip dengan Pak Wira, saya seperti merasa melihat hantu," tambahnya antusias.

"Nama saya Rah, bukan Wira. Anda salah orang," jawab Rah berusaha sopan dan setenang mungkin.

Pria tersebut tertegun, seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya. Pandangnya masih menyelidik menelusuri raut wajah milik Rah.

"Anda luar biasa mirip dengannya, Pak Wira dulu adalah atasan saya di..."

Suara pria tadi dihentikan oleh teriakan seseorang dari dalam mobil seberang jalan memanggil namanya.

"Maaf saya harus pergi, sampai jumpa, Pak."

Rah merasa terlepas dari ketegangan sesaat setelah pria yang bernama Rama tadi menghilang bersama mobil temannya.

"Siapa, Rah?" Agni baru berani bertanya.

"Aku juga tidak tahu," jawab Rah seraya menggeleng.

"Kau sudah selesai makan? Ayo kita lanjutkan perjalanan," ajaknya melanjutkan.

Agni hanya mengangguk. Seusai mereka membayar makanan dan keluar dari warung, Rah menghentikan sebuah taksi. Mereka pun naik dan melanjutkan perjalanan menuju biro. Dalam perjalanan, Rah tak henti-hentinya memikirkan orang yang tadi menyapanya. Dia merasa pernah bertemu dengannya, tapi Rah tidak tahu atau tidak ingat di mana. Rama, nama itu selalu terngiang di benaknya.

Beberapa selang waktu kemudian, taksi berhenti di depan sebuah bangunan dengan gapura hitamnya yang megah. Setelah membayar ongkos, mereka turun dan bergegas menuju gerbang biro.

"Tolong bukakan pintu." Rah meminta pada penjaga pintu yang serentak berdiri di dalam pos—karena melihat ada orang yang datang—di sebelah kanan dalam pintu gerbang. Penjaga pintu langsung mengenali suara dan wajah Rah, dia serta merta membukakan pintu. Rah melangkah pelan memasuki pelataran biro yang remang diikuti Agni yang terlihat mulai mengantuk lagi. Rajas yang duduk santai di teras biro baru menyadari kedatangan Rah. Dia bergegas menghampiri.

"Hey, Rah, selamat datang. Baru dua hari kenapa kau sudah kembali?" Rajas menyambut. Dia baru menyadari bahwa Rah tidak sendiri.

"Astaga, Nona Agni?!" Mata Rajas melotot kaget.

Agni hanya menunjukkan telapak tangannya tanpa mengucapkan sepatah kata apa pun kepada Rajas.

"Rah, kenapa kau bisa datang bersama Nona Agni. Apa kau tahu seluruh anggota di biro mencarinya dan Tuan Baratha sangat menghawatirkannya?" Rajas berbisik kepada Rah.

"Diam-diam dia mengikutiku pulang ke kampung. Dia..."

Sebelum Rah menyelesaikan bisikannya pada Rajas, terdengar suara teriakan keras dari pintu masuk bangunan biro.

"Agni, dari mana saja kamu? Cepat masuk!" Tuan Baratha terlihat marah, berdiri dingin di depan pintu.

"Tapi, Tuan..." Rah ingin melindungi Agni dari amarah Tuan Baratha. Tapi Tuan Baratha memotong perkataannya.

"Sudahlah, Rah. Kita bicarakan ini besok pagi saja. Sudah larut malam, istirahatlah dulu."

"Selamat malam, Rah." Agni berucap sambil melangkah masuk diikuti Tuan Baratha seraya menutup pintu kembali. Rah pun berbalik badan melangkah menuju kamar asramanya diikuti Rajas.

"Kenapa kau bisa bersama Nona Agni? Apa kau menculiknya?"

"Enak saja kau bicara. Itu bukan keinginanku. Dia tanpa kusadari mengikutiku sampai di tengah Hutan Satyawana."

"Oo, kayaknya bertambah lagi wanita penggemarmu." Rajas menggoda Rah sambil menatap ke atas, tersenyum dan mengelus dagunya.

"Apa maksudmu?"

"Kemarin ada wanita yang datang ke sini mencarimu. Kau tahu siapa?" Pertanyaan Rajas semakin membuat Rah penasaran.

"Siapa, Raj?" Rah mengerlingkan alis.

"Nona Rana. Anak gadis Tuan Adinatha."

Rah sedikit terkejut dan menghentikan langkahnya. Di benaknya mengalun satu tanya, ada keperluan apa Rana mencarinya sampai datang ke biro? Rah tidak pernah menyadari bahwa Rana menyukainya dan tidak juga menyadari perasaannya sendiri, bahwa dia sangat menginginkan Rana. Tapi juga mempertanyakan perasaannya saat bersama Agni. Segitiga besar muncul di hatinya. Semakin berputar berporoskan bimbangnya. Bimbang akan sudut mana yang akan didatangi. Sudut kelembutan dan kemurnian hati Rana atau sudut yang sangat menarik dari jiwa Agni. Atau bahkan terbungkam diam di sudut hati dalam raganya, yang tidak banyak dikenal bahkan oleh kilasan ingatannya sendiri?

"Jangan terlalu dipikirkan Rah, suatu saat kau pasti akan menemukan jawaban atas setiap tanda tanya dalam hatimu." Rajas menenangkan rekannya itu. Seolah-olah dia bisa membaca pikiran Rah saat terdiam, sibuk melawan ragunya. Mereka melanjutkan langkah menuju kamar asrama mereka untuk menghapuskan lelah dan habiskan malam.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top