11. DARAH
Awan putih berkumpul di atas kepala, bersama langit biru dan sinar mentari ciptakan cuaca yang cerah, saat Rah dan Agni berjalan menelusuri Hutan Satyawana. Mereka ingin mencari buah Nangka untuk dibikin sayur sop, serta mencari buah-buahan lainnya yang mungkin bisa ditemukan di dalam hutan. Agni tak henti-hentinya memandang kagum wajah Rah yang penuh keringat membabat tanaman jalar dengan goloknya untuk membuka jalan. Dia meraih sapu tangannya dan menyeka keringat Rah yang mengucur deras. Rah sedikit canggung karena tidak pernah sedekat itu dengan seorang gadis. Itu terlihat dari senyum kecilnya yang terkesan memaksa. Sementara Ki Urip ditemani Jaka mengambil rute lain untuk melakukan pekerjaan sehari-harinya mencari kayu bakar.
"Udara di sini sangat sejuk ya Rah... It's very natural, love it." Agni berteriak sambil menarik napas. Rah tak mempedulikannya dan terus membabat segala yang menghalangi jalannya. Agni menghentikan langkahnya agak jauh dari Rah. Pandangannya tertuju pada bunga rumput liar di depannya.
"Ini bung..." sebelum Agni menyelesaikan pertanyaannya. Sekelebat sosok tinggi besar tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Sosok itu menutupi cahaya sehingga membentuk bayangan besar dan gelap di mana Agni berada. Wajah Agni seketika terlihat pucat dengan mata terbelalak.
"Beruang?!" pikirnya. Tapi sebelum Agni berhasil menoleh ke belakang, sebuah lengan mencengkram lehernya. Sebilah benda berkilau mirip pisau telah menempel di samping lehernya.
"AH!" teriakan Agni itu terdengar oleh Rah yang segera berbalik arah. Dia melihat seseorang telah menangkap Agni. Agni nampak sangat ketakutan dalam cengkraman tangan besar pria tak dikenal itu. Rah berlari ingin menolong Agni, tapi langkahnya dihentikan oleh dua pria lain yang tiba-tiba muncul dari balik semak belukar dan pepohonan.
"Hey, Banas! Sebaiknya kau menyerah dan ikut kami. Atau kubunuh gadis ini. Dasar penghianat!" Pria yang menyandera Agni mengancam. Suaranya menggelegar bagai petir, tapi tidak menciutkan nyali Rah.
"Apa maksud kalian? Aku tak mengerti!"
"Ingatkan penghianat ini saudara-saudaraku." Sang pria misterius memerintahkan dua pria lainnya untuk menyerang Rah. Rah tak bisa melawan, dia menjadi bulan-bulanan dua pria kekar yang menjadi lawannya. Goloknya jatuh menancap di tanah, dia terlalu menghawatirkan keselamatan Agni. Rah menerima semua pukulan dan tendangan lawan-lawannya sampai dia tersungkur diam di atas tanah.
"Lari saja, Rah!" pekik Agni.
"Diam kau anak kecil!" bentak pria besar di belakangnya.
"Waktumu lima detik untuk menyerah, Banas!" Pria itu berteriak lagi, kali ini tertuju pada Rah. Rah masih menerima pukulan demi pukulan, pikirannya tak menentu.
"Siapa mereka?" tanya Rah dalam hati di bawah pukulan yang terus mendarat telak di tubuhnya. Darah Rah memuncrat ke segala arah.
"Satu!" Pria besar itu mulai menghitung.
"Dua!" Pria besar itu mulai menekankan sedikit ujung pisaunya ke leher Agni.
"Tiga!" pisau tertekan lebih dalam di leher Agni, darah segar mulai mengalir dari lukanya. Agni pasrah dan mulai membanjirkan air mata.
"Empat!" Pria itu menghitung lagi.
"Tidak!" Rah berteriak bagai harimau yang sangat marah. Matanya berubah semerah darah. Dari ujung kaki dan tangannya merambat warna hitam seperti ada tinta di bawah kulitnya. Mengalir naik memenuhi seluruh tubuh sehingga seluruh kulitnya berubah hitam legam.
Sekejap hutan menjadi hening. Tidak ada sedikit pun suara yang terdengar. Daun-daun berhenti melambai dan langit berubah gelap. Sang waktu bagai berhenti berputar di sekitar mereka. Dua pria di depan Rah berhenti memukulinya, seperti beku dengan pose ingin melepaskan pukulan. Sementara pria besar yang menyandera Agni berdiri kaku tetap mencengkeram Agni dengan lengan kirinya, sambil mengarahkan pisaunya ke leher Agni dengan tangan kanannya. Semua diam membeku, juga darah yg menetes dari leher Agni. Sebelum Pria besar yang menghitung tadi berhasil menekankan pisaunya semakin dalam, seketika Rah lenyap dari hadapan dua pria yang mengeroyoknya tadi. Mereka tampak kebingungan mencari keberadaan Rah. Mereka pun baru menyadari bahwa golok Rah yang semula menancap di atas tanah juga ikut lenyap.
Tiba-tiba Agni merasakan ada cairan memuncrat ke tubuhnya. Membasahi leher, punggung dan dadanya. Dilihatnya sebagian tubuhnya memerah, kepalanya langsung pusing dan pandangannya berbayang. Namun dia berusaha tetap tersadar. Sempat dia berpikir ajalnya sebentar lagi tiba, tapi ternyata justru pria besar penyanderanya yang roboh. Kepalanya terpisah dari badannya. Tangannya pun tak lagi mampu mencengkram Agni.
Setelah tubuh besar pria itu tumbang di atas tanah, terlihat jelas Rah berdiri memegang golok. Goloknya masih bersih mengkilat tanpa noda darah karena ditebaskan sangat cepat. Matanya semakin memerah. Kulitnya kehitaman dan muncul pancaran aura berwarna merah pekat mengelilingi tubuhnya.
Hutan Satyawana yang tadinya hening berubah berguncang hebat. Binatang-binatang hutan terlihat berlarian menjauh. Burung-burung dan kelelawar hutan berterbangan tanpa arah. Dedaunan berjatuhan bagai derasnya hujan. Ki Urip yang berada di bagian hutan yang lain merasakannya juga. "Oh, Hyang Widhi, Engkaulah maha pengadil. Lindungilah anakku Rah, jangan biarkan iblis membutakannya." Mata Ki Urip terpejam saat mengucapkan doa dalam hati sambil memeluk Jaka.
"Rrrrr!" suara gerutu serigala muncul dari mulut Rah saat matanya memandang nanar dua pria pengeroyoknya. Mereka terlihat ketakutan dan mencoba untuk lari. Tapi sebelum mereka berhasil melakukan niatnya, kilau golok haus darah menyeruak garang. Berdecit saat bertemu kulit dan berdenting kala memotong tulang. Tubuh mereka telah terpotong masing-masing menjadi tiga bagian. Tanpa ampun golok tersebut memotong leher dan pinggang mangsanya. Semak dan rumput di sekitar korbannya memerah tersiram darah yang memuncrat deras.
Kini Rah sudah berada di antara dua mayat pria-pria pengeroyoknya. Jiwanya semakin tak terkendali. Hatinya tak kuasa melawan perubahan wujudnya. Amarahnya semakin menjadi-jadi. Tapi dia merasakan suatu yang hangat hadir mendekap tubuhnya. Mendinginkan amarahnya.
"Hentikan, Rah!" Agni ternyata telah memeluk tubuh Rah sambil memejamkan mata, menangis hebat.
Rah merasa tubuhnya berdiri di ujung daratan melayang berbentuk Swastika berwarna perak. Di sekitar daratan tersebut terlihat kabut yang bergradasi hitam putih berputar pelan. Dalam setengah kesadarannya dia bertemu dengan sesosok hitam seorang pria. Berdiri menatap tajam di ujung daratan lainnya.
"Kau telah mengekangku sekian lama. Akan tiba saatnya aku terbebas dan pasti akan menghabisimu!" Pria itu berucap parau diakhiri tawa yang mengerikan. Rah yang berada di sisi daratan lainnya semakin tak berdaya. Kabut warna hitam semakin masuk mendekati tubuhnya. Sisa kesadarannya semakin memudar, tapi muncul sepasang tangan menarik tubuhnya keluar dari dimensi dunia asing tersebut.
Rah masih berdiri diam dan Agni masih menangis sambil memeluknya erat. Golok yang semula dipegangnya terjatuh. Kulit yang tadinya hitam berangsur normal. Matanya yang semula semerah darah memudar bening kembali seperti semula. Rah tersadar seutuhnya dan sangat terkejut melihat tiga mayat yang telah dibantainya dengan sadis.
"Apa ini hasil perbuatanku?" Rah bertanya dalam keadaan jiwa yang sangat shock.
Agni masih tidak mau melepas pelukannya.
"Tolong lepaskan pelukanmu, Ag. Kau membuatku sulit bernafas."
Rah tersenyum memandang wajah Agni. Agni yang mendengar itu sangat senang seraya melepaskan pelukan dan menghentikan tangisnya.
"Rah, kamu sudah sadar kembali?" Agni memastikan.
"Ya. Tapi aku seorang pembunuh. Aku iblis."
"Tidak, Rah. Yang kau habisi adalah manusia yang dikendalikan oleh seseorang. Mereka ingin mencelakaimu dan aku. Perhatikanlah ketiga mayat itu."
Satupersatu dari tiga mayat tadi keluar asap ungu pekat. Sejenak membentuk raut wajah yang mengerikan kemudian terbang pergi bersama angin.
"Tapi di dalam diriku ada Iblis yang bersemayam." Rah berkeluh.
"Kau tahu tidak perbedaan antara kau dan mereka?"
Rah cuma menggeleng.
"Mereka adalah manusia yang dikontrol iblis sedangkan kau adalah manusia yang menguasai iblis. Mereka adalah kaum terkutuk tapi kau adalah manusia yang spesial." Agni mencoba menenangkan kegalauan hati Rah.
"Dari mana kau bisa tahu semua itu, Ag?"
"Aku terlahir di keluarga dengan ilmu spiritual yang cukup tinggi. Aku sempat mempelajari beberapa buku milik ayahku. Kau persis dengan sosok legenda yang disebut-sebut di dalam buku-buku tersebut." Agni menjelaskan secara singkat tentang apa yang pernah dipelajarinya berkaitan dengan kejadian tadi. Rah hanya terdiam mendengarkan, namun cerita Agni membuat hatinya menjadi tenang kembali.
"Baiklah, mari kita pulang dan mengobati luka di lehermu, aku mohon jangan ceritakan apa pun pada Ki Urip sesampainya kita di rumah."
Agni menyentuh lehernya. Dia melihat darah di telapak tangannya.
"Huwa! kenapa kau mengingatkanku akan luka ini Rah? Sakit sekali." Agni merengek. Keluhan Agni membuat Rah tertawa kecil.
"Ugh!" Rah hampir terjatuh lemas, tapi Agni cepat memegang tubuhnya. Rah kehilangan banyak tenaga akibat pertarungan tadi. Mereka pun berjalan pelan kembali ke rumah Ki Urip.
Di luar dugaan Rah dan Agni, Ki Urip telah mengetahui kemampuan Rah dari pertama menolongnya di lembah Bukit Indria. Rah tidak mengetahui cerita lengkap tentang perang yang meletus antara pemerintah dan Gerombolan Khala di sekitar Bukit Indria. Selain terjadi kontak fisik dan senjata, perang itu ternyata juga melibatkan perang spiritual dan magis.
"Nak, aku ingin menceritakan sesuatu kepadamu." Ki Urip membuka pembicaraan saat sedang berdua saja dengan Rah di bangunan lumbung. Agni dan Jaka sedang bermain di atas amben bambu teras Meten. Rah hanya mengangguk dan bersiap untuk mendengarkan.
"Sudah saatnya kau tahu semuanya. Waktu kau kutemukan dulu, wajah dan tubuhmu sangat berbeda dari sekarang."
"Berbeda bagaimana maksudnya, Ki?" Rah kaget.
"Kau seperti orang lain. Namun setelah kulepaskan seragam polisi yang kau kenakan dan menggantinya dengan bajuku, wajah dan tubuhmu sedikit demi sedikit mulai berubah."
Rah termangu takjub mendengarkan cerita Ki Urip, ada rasa hangat muncul di dadanya.
"Apalagi setelah kuobati luka-lukamu, kau semakin mirip kau yang sekarang. Sampai luka-lukamu sembuh, kau jadi seperti sekarang ini." Ki Urip nampak sedikit susah menyusun kata-kata. Rah mengerti Ki Urip disesaki perasaan haru saat menceritakan dirinya.
"Bagaimana bisa begitu, Ki?"
"Entahlah, tapi yang kurasa. Di ragamu kau tak sendirian, aku pun tak tahu pasti... maafkan aku, Rah," iba Ki Urip sambil menatap Rah sayu.
"Mengenai perang dua tahun lalu, aku dan penduduk desa sudah bersepakat untuk melupakannya. Kesepakatan itu untuk menghindari terjadinya pertikaian, karena banyak dari kami awalnya menganut paham yang berbeda."
Rah mengangguk dan tersenyum kecil, tapi otaknya berpikir keras ketika mendengarkan cerita yang hampir tidak masuk akal itu. Namun dia tak melanjutkan bertanya tentang perang dua tahun lalu, karena dia sadar Ki Urip atau pun warga desa lainnya mungkin mengalami trauma yang berat karena kejadian tersebut.
卍
Malam menjelang semakin memekatkan gelap di dalam Hutan Satyawana. Muncul beberapa sosok hitam di bekas arena pertempuran Rah dan para penyerangnya tadi siang. Mereka dengan sigap mengangkat potongan-potongan tubuh lawan Rah dan memasukkannya ke dalam kantong mayat. Setelah selesai dengan cepat mereka menggotong tiga kantong mayat tersebut kemudian menghilang ke dalam kegelapan.
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top