10. KESAMARAN
Rah berjalan menembus luasnya padang rumput liar. Menyusuri jalan setapak sambil sesekali tangannya menyentuh ilalang tumbuh meninggi di sisi jalan. Rah terus berjalan, semakin jauh sampai masuk ke dalam hutan. Setibanya di sebuah pohon besar yang membuat jalan setapak memutar ke kanan, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat seorang gadis berdiri membelakanginya. Rambut sang gadis panjang terurai, hampir menutupi punggungnya yang dibalut kemeja putih berpadu dengan rok putih. Tangan kanan sang gadis dipegang erat oleh sesosok wanita tua dengan rambut tersanggul dan berdaster motif bunga-bunga. Di sebelah kirinya berdiri laki-laki paruh baya mengenakan jas dan celana panjang berkain gelap. Mereka memandang seorang pria yang menggendong sebuah ransel berjalan semakin jauh meninggalkan mereka.
Rah mendekati mereka dan menepuk pundak laki-laki paruh baya tadi. Mereka menoleh hampir berbarengan ke arah Rah berdiri. Alangkah kagetnya dia melihat apa yang terpampang di depannya. Mereka tidak memiliki wajah. Hanya putih rata berpendar menyilaukan mata. Seketika Rah memicingkan matanya, napasnya sesak. Kepalanya semakin menunduk bagai ditekan sebuah batu yang sangat berat. Tiba-tiba tanah yang dipijaknya ambruk dan menelan tubuhnya. Rah jatuh masuk ke dalam perut bumi.
Rah terbangun sambil terengah. Napasnya tak menentu. Dia tersadar mendapatkan tubuhnya berbaring di bawah Pohon Mahoni tua di dalam Hutan Satyawana. Ternyata dia terlelap saat beristirahat menikmati bekalnya siang tadi.
"Mimpi buruk itu datang lagi." gumamnya sambil menyeka keringat dingin yang membasahi wajah dan seluruh tubuhnya. Rah bangkit dan memandang Pohon Mahoni tua yang tinggi menjulang perkasa bagai pencakar langit. Pandangannya tertuju pada bekas sayatan benda tajam di sebuah akar pohon yang menyembul tinggi. Seketika kepalanya terasa sakit dan berputar. Pandangannya seketika memudar. Tubuhnya ambruk, tapi dia berhasil menopang dengan tangannya mencengkram kulit pohon. Sebuah kilatan visi tergambar di matanya. Di dalam hujan deras dan kilatan petir, sebuah golok berdarah dalam genggaman tangan legam menghitam, menebas putus kepala seseorang yang tak pernah dikenalnya. Menancap tepat di bekas sayatan tadi. Rah menurunkan badannya yang sesaat tiba-tiba menggigil, sedikit berjongkok saat pandangan matanya berangsur kembali dan sakit kepalanya parlahan lenyap.
Rah mendesah gundah. Visi mengerikan tadi selalu membayangi pikirannya saat melanjutkan perjalanan.
Sementara sepasang mata muncul dari balik semak-semak. Setia mengikuti tubuh Rah yang berjalan langkah demi langkah. Mata itu terlihat sangat tertarik dengan kehadiran Rah di Hutan Satyawana yang penuh ilusi dan misteri. Sepasang mata itu milik bayangan tubuh kecil yang mengendap mengikuti Rah. Bayangan tubuh kecil itu tiba-tiba berhenti dan terlihat kebingungan.
"Siapa Kau?!" Suara Rah seketika terdengar dari belakang tempat di mana bayangan itu berdiri. Bayangan itu terkaget, namun lantas tertawa kecil dengan tangan menutup bibirnya.
"Astaga, Nona Agni?!" Rah terkejut setelah mengetahui siapa bayangan tadi. Seorang gadis mengenakan Sweater Abu-abu muda, celana jins berwarna biru, menggendong ransel berukuran sedang dan sepatu boots hitam yang berdiri di depannya adalah Agni, adik kandung Tuan Baratha.
"Aku ketahuan ya?" Agni memasang muka imut sambil menjulurkan lidahnya.
"Kenapa Nona mengikutiku?"
"Aku ingin tahu desa kelahiranmu. Lagian aku bosan diam terus di biro."
Rah terdiam. Dia berpikir kalau menyuruh Agni pulang itu sudah terlambat, karena mereka sudah berada jauh di dalam hutan. Dan juga sebentar lagi mentari tenggelam. Rah akhirnya menyerah akan kenakalan Agni.
"Apa Tuan Baratha tahu Nona mengikutiku?"
Agni hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. Rah menggeleng, kemudian mengeluarkan Handphone-nya. NO SIGNAL terpampang di layar sebelah kiri atas.
"Ya sudahlah. Ayo ikut aku." Rah melanjutkan langkahnya, diikuti Agni yang terlihat sangat gembira.
"Bagaimana Nona bisa melewati rute yang sangat sulit dan berhasil mengikuti saya sampai di sini?"
"Aku sudah terbiasa pergi mendaki gunung bersama teman-teman sekolahku. Bahkan ada yang rutenya lebih sulit dari ini. Tapi suasananya tidak ada yang semistis di sini." Agni nampak sedikit takut. Dia menoleh kesana kemari dan mendekatkan dirinya ke tubuh Rah. Rah cuma geleng-geleng kepala melihat tingkah adik tuannya itu.
Matahari pun akhirnya tenggelam sepenuhnya membawa suasana gelap di dalam hutan. Binatang-binatang malam sudah mulai terdengar bersahut-sahutan sehingga hutan Satyawana sangat mirip seperti bioskop dengan surround sounds-nya, tentu saja tanpa layar dan tempat duduk.
"Sebaiknya kita bermalam dulu di sini, kampung masih setengah perjalanan dan berbahaya bila tetap berjalan di saat gelap." Rah berucap sambil memunguti beberapa ranting kayu untuk membuat perapian.
"Serius, Rah?" Agni terlihat sedikit ketakutan. Rah hanya tersenyum dan mengangguk.
Jadilah mereka menginap di dalam hutan. Satu tenda kecil—yang sengaja dibawa oleh Rah—telah selesai dibangun dan perapian pun sudah menyala. Walau suasana menjadi terang benderang namun Hutan Satyawana masih saja seperti dinding perut raksasa yang telah menelan Rah dan Agni bulat-bulat. Agni berusaha dengan susah-payah untuk mengusir ketakutannya, pandangan matanya tak henti-henti dilemparkan ke segala arah. Tiba-tiba ada suara bergemerisik dari arah semak-semak di depan mereka. Agni mendekatkan tubuhnya ke arah Rah sambil terus mengawasi dengan waspada. Tiba-tiba sesosok Harimau Tutul muncul dari balik semak-semak. Agni memekik namun serentak menutup mulutnya.
"Tenanglah, jangan takut." Rah berusaha menenangkan Agni.
"Kadang harimau memang muncul jika melihat ada api, mereka akan diam sebentar kemudian setelah puas mengagumi api, mereka pasti pergi." Rah menambahkan.
"Oh begitu ya." Agni sedikit tenang mendengar penjelasan Rah.
"Tapi tunggu... apa maksudmu dengan mereka?"
"Kadang ular atau beruang sering datang juga," jawab Rah sambil tersenyum.
Agni merasa ngeri serta menggigil, dia spontan memegang tangan Rah. "Alamat susah tidur malam ini," gumamnya.
Rah ternyata benar, harimau tadi hanya duduk tenang sambil menonton api, selang beberapa lama harimau itu pergi masuk kembali ke dalam semak-semak kemudian menghilang di kegelapan malam.
"Nona Agni tidur saja, biar aku yang berjaga," pinta Rah.
Agni sebenarnya ingin menolak tertidur, tapi akhirnya dia pun menyerah, mengucap selamat malam kemudian masuk ke dalam tenda. Mungkin karena dia kelelahan menempuh perjalanan jauh. Sedangkan Rah terjaga sepanjang malam sambil terus memikirkan mimpi dan kilasan visi yang dia alami siang tadi. Namun dia tidak mampu menemukan petunjuk dalam ingatannya untuk mengerti tentang apa yang dialaminya tersebut.
卍
"Bangun Nona Agni, sudah pagi." Rah berusaha membangunkan Agni dengan menggoyangkan tenda.
Samar Agni terlihat menggeliat malas. Seberkas cahaya mentari baru saja muncul menerobos dari sebelah timur. Cahaya itu menerpa isi di dalam hutan yang gagal dilindungi oleh pohon dan dedaunan, termasuk juga tubuh Rah dan tenda yang di mana Agni sudah mulai terbangun. Api unggun di depan mereka telah padam namun masih sedikit berasap. Rah sudah bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Setelah Agni keluar, dengan sigap dia membongkar tenda, memasukkannya ke dalam ransel besarnya kemudian menggendongnya. Agni yang terduduk di depan sisa api unggun mendadak bergegas pula ketika melihat Rah sudah siap melanjutkan perjalanan.
Beberapa meter mereka berjalan, mereka menemukan serumpun pohon bambu. Setelah mengamati rumpun bambu tersebut, Rah mengeluarkan parang kemudian memotong sebatang bambu kecil. Dipotongnya menjadi hanya satu ruas, dihilangkan buku-bukunya sehingga menyerupai sebuah pipa pendek. Kemudian dia membuat lubang di satu batang bambu yang besar lalu menancapkan bambu kecil tadi di lubang tersebut. Air jernih perlahan mengalir keluar dari pipa bambu langsung dimanfaatkan oleh Rah untuk minum dan membasuh muka. Agni pun ikut meminum air dan membasuh mukanya. Wajah mereka terlihat puas atas kesegaran yang air bambu berikan.
"Wah, ini jauh lebih segar dari air mineral kemasan!" seru Agni sambil mencuci tangannya, disambut tawa kecil Rah.
Setelah puas minum dan membasuh muka dan tangan, mereka melanjutkan perjalanan lagi. Selang beberapa jam menyusuri jalan setapak di tengah hutan, mereka berhasil keluar kemudian mencapai padang rumput di sebelah utara Bukit Indria. Beberapa Kijang yang sedang mencari makan nampak seketika berhenti dan mendongak memandang mereka. Rah meningkatkan kewaspadaan, dia tahu justru lebih berbahaya berada di daerah padang rumput karena sering menjadi tempat harimau berburu. Namun dia tidak memberi tahu Agni agar gadis itu tidak panik. Rah membiarkan Agni untuk berjalan di depan supaya mudah dilindunginya. Kelompok kijang kembali makan setelah mereka merasa dua manusia yang mereka lihat bukanlah ancaman. Kurang lebih 500 meter mereka mengarungi daerah padang rumput, melewati jalan setapak seadanya, hingga pada akhirnya mereka sampai ke daerah pemukiman penduduk.
Setelah melewati beberapa ladang dan kebun, mereka pun tiba di sebuah gapura tua tersusun dari batu bata merah yang penuh retak dimana-mana.
"Inikah kampungmu, Rah?"
"Iya, Nona Agni."
"Apa namanya?"
"Kampung ini tak bernama, yang tinggal di sini juga cuma sepuluh keluarga dan saling berjauhan letak rumahnya."
"Jangan panggil aku Nona terus dong, panggil Agni saja."
Rah cuma mengangguk tanda mengerti. Di depan sebuah halaman luas dengan empat bangunan tua dan dilengkapi kolam lele, Rah menghentikan langkahnya, diikuti oleh Agni.
"Inilah rumah Ayah saya!" Rah berseru pada Agni. Agni mengangguk dan mengikuti Rah masuk melewati halaman yang lumayan luas menuju gubuk sebelah utara.
"Hmm, masih sama seperti dulu." Rah bergumam dalam hati. Rah mengetuk pintu gubuk dan memanggil.
"Om Swastiastu. Ki, Aku Pulang!" Rah berteriak dengan semangat. Pintu gubuk pun terbuka, tapi yang menyambut Rah dan Agni adalah seorang anak kecil, kira-kira masih berumur tujuh tahunan.
"Om Swastiastu. Kakak berdua cari siapa?"
Rah agak kaget.
"Apa Ki Urip ada?"
Anak kecil itu berlari ke dalam gubuk dan berteriak.
"Kakek, ada tamu!".
"Sebentar..."
Suara itu langsung mengobati rasa kangen Rah. Bagai air pegunungan yang memercik ke kulit yang kegerahan, begitu melegakan. Suara tua dan bijaksana yang cukup lama tidak pernah di dengarnya. Sekejap muncul sosok kakek tua dari dalam gubuk.
"Eh, Kau sudah pulang Nak? Aku hampir tidak bisa mengenalimu."
Ki Urip muncul dan langsung menyapa. Rah langsung menjabat tangan Ki Urip dan menciumnya serta memeluk erat tubuhnya.
"Senang bisa kembali, Ki."
Lumayan lama mereka berpelukan. Dua pasang mata mereka seketika mengembun haru.
"Senang juga melihatmu lagi, Nak. Kamu mengajak seorang teman?"
"Oh, iya, Ki. Perkenalkan ini Nona Agni." Rah memperkenalkan Agni setelah melepas pelukannya terhadap Ki Urip.
"Salam kenal, Kek." Agni menyapa sambil tersenyum, menjabat tangan Ki Urip dan menempelkannya di kening sambil menunduk.
"Pacarmu ya? Cantik." Ki Urip berbisik.
"Bukan, Ki. Dia adik kandung Tuanku di kota." Rah menjawab dengan berbisik juga. Agni hanya bengong melihat Rah dan Ki Urip saling berbisik.
"Ngomong-ngomong siapa anak tadi, Ki?" tanya Rah penasaran.
"Anak itu bernama Jaka. Dia memiliki jiwa yang hilang arah juga. Sama sepertimu dua tahun lalu, aku menemukan Jaka di pinggir sungai lembah Bukit Indria dua hari yang lalu. Dia kutemukan sedang menangisi sesosok mayat wanita yang ternyata adalah ibunya. Menurut Jaka mereka lari dari kota entah dari apa atau siapa, anak itu belum bisa bercerita dengan baik. Namun sekilas dapat kutangkap dari ceritanya adalah ayahnya di penjara dan ada yang mengancam membunuh dia dan ibunya. Setelah melihat mayat ibunya, bisa kusimpulkan ibunya meninggal karena gigitan ular berbisa, karena mayatnya terlihat agak membiru serta ada bekas gigitan di kaki kanannya. Aku lalu mengajak Jaka pulang setelah memakamkan dan mengupacarai secara sederhana jenazah ibunya di kuburan kampung." Ki Urip bercerita sambil membelai jenggotnya yang semakin memutih.
"Eh, ayo duduk dulu di sini, kalian pasti lelah dan lapar," lanjut Ki Urip mempersilakan Rah dan Agni duduk di amben bambu, sementara dia menuju dapur mengambil makanan. Mereka berdua duduk dan meletakkan bawaan masing-masing di sebelah dalam amben bambu. Tak berselang lama, Jaka terlihat keluar dari pintu. Rah mengangkat tubuhnya dan mendudukkannya di atas amben bambu, Jaka spontan tertawa geli saat tangan Rah menyentuh pinggangnya.
"Hi Jaka. Perkenalkan nama kakak, Rah dan ini Kak Agni."
"Halo Jaka," sapa Agni juga.
"Halo Kak Rah. halo Kak Agni. Salam kenal." Jaka menjawab sopan.
"Mari kita makan. Jangan malu-malu. Tapi hanya masakan ala kadarnya". berkata Ki Urip sambil meletakkan makanan di atas amben bambu.
Ada daging ayam hutan yang dipanggang dengan sambel matah di sebelahnya. Sayur kangkung dengan bumbu pecel serta sebakul nasi. Agni menggeser tubuhnya agak ke bagian dalam amben dan mempersilakan Ki Urip untuk duduk. Sekarang mereka saling duduk berhadap-hadapan, Agni berhadapan dengan Jaka dan Ki Urip dengan Rah, sementara makanan mereka berada di tengah. Mereka pun menyantap hidangan yang tersaji dengan lahap. Terutama Agni yang tumben menyantap hidangan khas kampung. Sesekali dia berusaha keras menggigit putus daging ayam hutan yang memang agak alot, itu membuat Rah tersenyum geli. Rah nampak senang memperhatikan Agni yang langsung akrab dengan Jaka. Dan Ki Urip terlihat begitu gembira karena gubuknya yang dulu selalu sepi, berubah ramai karena kedatangan Rah, Agni dan Jaka.
卍
Malam itu Rana memandangi foto Bayu lagi, tapi kali ini dia tidak menangis. Mungkin karena kehadiran Rah berhasil menggantikan sosok Bayu di hatinya. Dia pun sebenarnya tidak begitu mengerti. Dia hanya merasa debarnya yang dulu melenyap, berganti debar yang lain ketika berhadapan dengan Rah. Walau diakuinya debar itu serupa, terasa menghimpit di pinggang, menegang di perut dan menekan ke arah dada, kemudian memunculkan rasa seperti semilir angin bertiup di atas dada sampai ke tengkuk. Serupa namun sedikit berbeda.
"Maafkan aku, Bayu. Mungkin kau menilai aku ini wanita hina. Aku tak mampu mempertahankan kesetiaanku kepadamu. Aku tak berdaya saat merasakan hal yang serupa seperti yang kurasakan saat bersamamu. Kudapat dari Rah, pria penuh misteri yang baru sekejap kukenal. Andaikan kau kembali lagi, kau boleh mencaciku sepuasmu, atau mungkin mengambil nyawa ini, nyawa yang tak lagi murni untukmu seperti yang terjanjikan dua tahun silam. Oh Hyang Widhi, jika ini bukan kehendakmu, hentikanlah langkahku. Dan apabila ini memang jalan untukku lapangkanlah lajurnya dan tuntun aku menuju sisi laki-laki yang bernama Rah. Jadikan perasaanku semerah namanya." Menggema prolog yang mengalir lepas dalam hati Rana. Tak sengaja Rana menggeser bagian belakang bingkai foto Bayu. Gerak Rana membuat foto Bayu terlepas dari bingkainya dan terlihat jatuh bersama sebuah lipatan kertas usang layaknya kertas buram. Cepat tangan Rana meraih lipatan kertas tersebut dan membukanya. Rana tertegun, menyadari secarik kertas itu adalah surat untuknya yang tertulis tangan Bayu dua tahun lalu. Rana membacanya dalam hati.
Sayangku Rana,
Jika kau menemukan surat ini, aku pasti telah pergi jauh meninggalkanmu. Maafkan aku, aku telah menyimpan suatu rahasia besar yang tertanam di tubuhku. Sebuah rahasia kelam dunia yang ditakdirkan untukku. Aku sengaja tidak menceritakannya padamu karena aku sendiri tak tahu bagaimana harus memulainya.
Aku menyadari diriku ini tak pantas menyandingmu. Aku tak sanggup membiarkan kelam jiwaku menghunjam semakin dalam merongrong indah suci auramu. Jangan pernah teteskan air matamu, jika kau kelak menemukan jasadku terbujur kaku beralaskan tempurung waktu yang semakin membatu.
Biaskanlah lega dan relakan kepergianku. Aku mungkin akan kembali saat ingatanmu berhenti menanti, atau mungkin tidak pernah sama sekali, menginjakkan hati lagi di sini, di sisi mimpi yang tak pernah bisa kuberi.
dari kekasihmu,
Bayu
Rana tak bisa mengerti maksud dari surat itu, walau dia membacanya berulang kali sampai sepuluh kali. Yang dia tangkap cuma keyakinan bahwa kecil kemungkinan Bayu kembali, walau pun seandainya kekasihnya itu selamat dari perang dua tahun lalu. Bayu telah memutuskan untuk menjauh darinya. Kehadiran surat tersebut perlahan memudarkan rasa cintanya, menyulut amarah, bagai api kepada kayu yang menjadikannya abu*. Menghapus ketetapan hati, bagai hujan kepada awan yang menjadikannya tiada*.
...........
*modifikasi kutipan puisi Sapardi Djoko Damono berjudul "Aku Ingin"
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top