1. MIMPI BURUK

Sekilas cahaya putih berpendar silaukan mata. Kilasan masa silam menyeruak menghimpit kalbu. Hitam dan putih saling beradu dalam benak seorang lelaki. Hanya kelabu di medan pertempuran antara tenang dan cemas dalam jiwanya. Bimbang semakin memuncak meranggaskan keyakinan akan sejati tujuan bernapas di dunia. Semakin menekan gamangkan rasa.

Jerit dan tangis semakin menggema. Suara tembakan dan letusan mendera memekakkan telinga. Wajah-wajah asing hadir mengganggu keteguhan jiwa. Lalu cairan merah darah memenuhi mata, semakin lama semakin menutupi pandangan.

Lelaki yang tadinya tertidur pulas, tiba-tiba tersentak mengangkat tubuh dari ranjang. Keringat dingin mengucur bagai hujan di sekujur tubuhnya yang tanpa baju. Rambut panjangnya acak-acakan. Alisnya yang tebal menekuk ke bawah. Pandangannya kosong dengan bola mata memerah diterpa cahaya rembulan dari jendela. Peluh satupersatu mengalir dari dahi kemudian melewati pesek hidungnya. Terengah mengatur napas yang tidak menentu.

"Oh, Tuhan, mengapa mimpi buruk itu tidak pernah berhenti menghantuiku?"  gumamnya.

Bibirnya yang tebal menghitam komat-kamit mengucapkan mantra untuk menenangkan diri. Sambil tangannya memegang bandul kalung perak berbentuk Swastika. Lama tertegun diam di dalam ruang peristirahatannya.

Dia tidak pernah bisa mengingat tentang kenapa dan untuk apa ada di sana. Jati dirinya hilang, terpendam dalam kepalanya yang semakin sakit bila berusaha mengingat. Setiap usaha mengingat terasa bagai satu jarum baja tertekan masuk menusuk kulit kepala. Yang dia tahu hanya dua tahun lalu dia hampir mati—tergeletak bersimbah anyir darah—di lereng Bukit Indria. Itu pun didengarnya dari cerita orang yang menolongnya. Oleh penolongnya dia dipanggil Rah.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Perlahan cahaya redup merambat memasuki ruangan. Dari cahaya yang membentuk persegi panjang tersebut, muncul sesosok laki-laki tua berpakaian serba putih agak kumal. Rambutnya memutih panjang dan terikat. Alisnya yang sudah mulai memutih terlihat berkilauan diterpa cahaya rembulan. Wajahnya penuh dengan sel-sel kulit mati menghitam. Matanya sipit terhimpit kantung mata yang meninggi hampir sembunyikan bola matanya. Kumisnya panjang menyatu dengan jenggot yang juga panjang memutih. Terlihat agak membungkuk-bungkuk ketika berjalan mendekati Rah.

"Mimpi buruk lagi, Rah?" tanyanya. Ketika mulut keriputnya terbuka, hanya ada kurang lebih lima gigi terlihat di dalamnya. Tiga di atas dan dua di bawah. Gigi-giginya berwarna kuning kemerahan karena kebiasannya merokok dan menyirih. Suaranya kecil dan serak tapi terdengar bijaksana. Laki-laki itu tak lain adalah penolong Rah dua tahun silam. Dia adalah Ki Urip, yang sehari-harinya bekerja sebagai petani dan pencari kayu bakar.

"Iya, Ki," jawab Rah pelan sedikit bergetar.

"Sebaiknya kau lebih banyak berdoa sebelum melakukan sesuatu, tak terkecuali sebelum tidur." Ki Urip menasehati sambil menuangkan air dari ceretan tanah liat ke gelas, kemudian diberikan kepada Rah.

"Apa Tuhan itu benar-benar ada, Ki? Kalau benar ada kenapa tidak pernah datang saat kubutuhkan, misalnya saat aku hampir mati dua tahun lalu?"

"Anakku, segala sesuatu di dunia ini ada jawabannya. Kalau Tuhan tidak mentakdirkanku menemukanmu, kau mungkin tak akan ada di sini. Tuhan bekerja dengan cara yang misterius."

Sejenak Rah terdiam. Pikirannya masih berkecamuk ragu. Dia masih sedikit tidak percaya kenapa Tuhan begitu tega menghapus ingatannya. Membiarkan dirinya hidup dalam kesamaran rasa. Membuangnya ke dalam gelapnya lembah kerisauan serta menghanyutkannya di aliran sungai kebimbangan.

"Baiklah, Nak. Hari sudah pagi. Sebaiknya kau bergegas bangun dan ikut aku bekerja." Ki Urip bergegas keluar dari kamar Rah. Rah beranjak dari tempat tidur dan memandang ke cermin tua yang terpasang di lemari kamarnya. Sejenak dilihatnya wajah dan tubuh tegap hitam mengilap yang begitu asing baginya. Kemudian dia pun berlalu menyusul Ki Urip dan meninggalkan sejenak keraguan hatinya.

Pagi itu mendung tipis menggantung di tangkai-tangkai langit, layaknya tabir yang berusaha menghalangi sinar mentari turun menyapa seisi bumi. Rah dan Ki Urip berangkat menuju hutan yang bernama Satyawana. Hutan tersebut terlihat begitu rimbun dipenuhi pepohonan seperti jati, kepuh, waru, mahoni dan lain-lain. Ada pula sejenis buah-buahan seperti kelapa, pinang, mangga, rambutan, nangka, aren dan sebagainya. Semak-semaknya pun beraneka rupa, dari yang berduri mau pun berbunga. Di dalam hutan agak gelap karena daun-daun pepohonan begitu rapat menghalangi cahaya. Hanya sebagian kecil yang berhasil masuk di celah-celahnya, membentuk garis-garis magis seperti ribuan sinar senter. Sungguh menakjubkan pemandangan yang disajikan. Kira-kira seratus hektar luas hutan itu menyelimuti lereng Bukit Indria. Banyak terdengar kicauan burung dan suara-suara binatang hutan bagai riuhnya pertunjukan orkestra. 

Di perjalanan, Rah terus larut dalam lamunan. Dia tidak pernah bisa melupakan mimpi-mimpi yang menghantuinya hampir setiap malam.

"Ki, mimpi-mimpi itu semakin sering menggangguku. Kini hampir hadir setiap malam. Begitu mengusik. Apa mungkin itu adalah gambaran masa laluku?"

"Mungkin saja, Nak. Mimpi bisa saja hadir dari alam bawah sadar kita. Menampilkan memori yang kita simpan di otak." Ki Urip menjawab pertanyaan Rah sambil terus melanjutkan pekerjaannya mengumpulkan kayu bakar.

"Mimpi-mimpi itu membuatku gusar. Seakan terus mendorongku untuk mencari tahu siapa diriku. Apa Ki punya petunjuk?"

Ki Urip yang sedang memilah-milah ranting pohon sejenak menghentikan kegiatannya.

"Anakku, kalau aku punya petunjuk, mungkin aku sudah memberitahumu sedari dulu," tegas Ki Urip.

"Apa Ki tahu, kenapa aku bisa sekarat di lereng Bukit Indria?"

Ki Urip hanya berpaling ke arah Rah dan menggeleng. Sekilas memori dua tahun silam kembali lagi di benaknya. Saat-saat menolong Rah, membuatkannya tandu, mengikat tubuh Rah di atasnya, tergopoh-gopoh menyeret tandu sampai di rumah, kemudian mengobati luka-lukanya. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Oh iya! Aku baru ingat. Kau kutemukan memakai seragam Polisi. Iya, tak salah lagi, seragam penuh darah mengering itu masih kusimpan di lemari kamarku. Maklum orang tua ini sudah mulai pikun, mungkin saja itu bisa dijadikan petunjuk."

Kata-kata Ki Urip seketika membuat hati Rah sedikit senang. Muncul kilatan cahaya di kedua matanya. Debar jantungnya sedikit bertambah cepat terpompa rasa penasaran. Sejenak dia sangat gembira namun seketika diam termenung.

"Ayo cepat kita selesaikan pekerjaan kita dan bergegas pulang. Kau pasti sudah tidak sabar ingin melihat seragam itu 'kan?" Ki Urip memecah lamunan Rah.

Tangan Rah dengan cekatan mengikat ranting-ranting kering menjadi satu bagian. Ki Urip tersenyum melihat Rah yang kembali bersemangat.

Beberapa saat kemudian.

"Nampaknya mau turun hujan, sebaiknya kita bergegas pulang." Ki Urip berucap sambil menengadahkan kepala melihat dedaunan hutan.

"Bagaimana Ki bisa tahu?"

"Insting, Nak. Belajarlah merasakan. Merasakan kecepatan angin, perubahan suhu, kelembaban udara dan para binatang tidak terdengar lagi suaranya. Mereka telah masuk ke tempat perlindungannya masing-masing."

"Wah, Ki memang hebat, kayak peramal saja. Bisa ramalkan jodoh saya, Ki?" Rah terkekeh.

Ki Urip tersenyum. Baru kali ini dia melihat pria yang ditolongnya itu tertawa.

"Ayo, Nak. Kita pulang. Tolong angkat ranting-ranting ini."

Dengan sigap menggunakan tubuhnya yang tegap, Rah dengan mudah mengangkat dua ikat besar ranting kering sekaligus dan diletakkan di kedua pundaknya.

Ki Urip berdecak kagum dalam hati. Seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Rah mampu melakukan hal yang orang biasa tak mungkin lakukan. Mengangkat beban yang sangat berat kemudian berjalan puluhan kilometer tanpa terlihat kelelahan. Ki Urip semakin larut dalam lamunan, sambil melangkahkan kakinya menelusuri ilalang sepanjang jalan.

"Ki! Ayo cepat, air hujan mulai menetes!" teriak Rah di kejauhan.

Ki Urip sedikit tersentak. Dia tidak menyadari Rah telah melangkah begitu jauh meninggalkannya. Dia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang tertanam di dalam tubuh Rah. Ki Urip larut dalam benaknya sambil sesekali melihat ke arah Rah yang tetap terlihat kuat melangkah.

Mereka pun berlalu meninggalkan hutan Satyawana dengan kemegahan populasinya.

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top