Epiphany

EPIPHANY
Oleh : kiikii-

“Pertemuan singkat, kebersamaan singkat tapi jejakmu mampu bertahan lama hingga membuatku menunggu kedatanganmu seperti orang bodoh."

__________


9 SEPTEMBER, sebuah tanggal cantik di mana untuk pertama kalinya Karrel masuk dalam sebuah badan bimbingan khusus bermain piano. Dengan bantuan 2 orang bodyguard, laki-laki yang kini hampir menginjak usia 20 tahun itu keluar dari mobil berwarna perak mengkilap.

"Terima kasih," ucapnya pada salah satu bodyguard yang mengulurkan tangan guna membukakan pintu mobil untuk mempermudah dirinya keluar.

Karrel keluar dengan gaya begitu santai. Namun, beberapa saat kemudian rasa nyeri pada kepalanya tiba-tiba menyerang hingga mengakibatkan dirinya harus menunduk, bersandar pada badan mobil dengan jari-jari tangan memijit pelipis.

Diam-diam Karrel mengaduh. Bibirnya meringis menahan sakit yang semakin lama semakin menggerogoti tubuhnya.

"Anda baik-baik saja, Tuan?" tanya salah satu bodyguard berkumis tipis yang secara sigap langsung menopang tubuh Karrel.

Cukup lama senggang Karrel untuk menjawab pertanyaan si bodyguard, hingga membuat si bodyguard tadi berucap kembali, "Tuan?"

"Aku baik-baik saja. Kalian tak perlu cemas," ujar Karrel setelah ia berhasil meredam rasa sakitnya.

"Ayo kita masuk. Aku sudah tak sabar bertemu dengan guru pembimbingku nanti." Karrel menatap satu persatu pengawalnya seraya memasang senyum khas yang ia miliki.

Kemudian laki-laki itu memutar tubuhnya, berjalan memasuki sebuah pekarangan rumah yang megah dan meninggalkan 2 bodyguard yang masih memandang punggungnya dengan tatapan penuh kasih.

"Apakah akan baik-baik saja membiarkan Tuan Karrel seperti ini?" bisik salah satu bodyguard berrambut pirang.

Bodyguard yang berkumis tipis tadi terlihat hanya menggidikkan bahu, tertanda jika dirinya juga tak mengerti harus menjawab apa. Lalu keduanya langsung beranjak menyusul Karrel yang sudah duluan. Sampai di depan pintu bercat putih tulang, mereka disambut oleh beberapa pembantu yang bertugas di sana.

"Selama datang. Tuan Mario telah menunggu kalian di ruang musiknya," terang salah satu wanita setengah baya berpenampilan layaknya maid dengan clemek yang melingkar di pinggulnya.

"Mari saya antarkan, Tuan."
Wanita tadi menuntun Karrel beserta anak buahnya menyusuri sebuah lorong, melewati beberapa ruang mansion sampai akhirnya bermuara dalam sebuah ruang musik yang minimalis. Lalu wanita tadi mempersilahkan Karrel agar segera masuk, sebelum akhirnya dia izin pergi guna melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Karrel hendak segera masuk, tapi dia urungkan saat tanpa sengaja dia menyaksikan seorang pria setengah baya, berusia sekitar 40 tahun tengah memarahi seorang gadis seusianya.

"Apakah pria itu yang akan menjadi guruku nanti?" tanya Karrel.

Dia bergidik ngeri saat sekelibat bayangan dirinya yang akan mendapatkan pengajaran keras dari sang guru melintas dalam pikirannya.
"Benar, Tuan. Dia adalah Mr. Mario. Beliaulah yang akan mengajari Anda beberapa minggu ke depan." Si bodyguard piranglah yang menjawab pertanyaan Karrel.

"Dan gadis muda yang bersamanya itu adalah anaknya, Nona Hara, sambung bodyguard berkumis tipis.

Kepala Karrel naik-turun seperti burung pelatuk. Hara? Okey, dia akan mengingat-ingat nama itu mulai sekarang. Mungkin suatu saat nanti keduanya akan menjadi teman.

"Pria itu terlihat seperti orang yang keras." Dia berkomentar singkat.

"Yakinlah, dia tidak seperti apa yang Anda bayangkan, Tuan." Si pirang yang lebih peka terhadap ketakutan anak asuhannya itu mencoba untuk menyakinkannya.

"Tapi—"

Karrel tak bisa melanjutkan perkataannya saat tanpa sengaja dia melihat calon gurunya itu memarahi anaknya sendiri sampai membuat gadis itu terhuyung jatuh dari tempat duduk. Secara reflek, Karrel segera masuk ke dalam tanpa permisi. Kemudian berlari menuju gadis yang bernama Hara tadi. Tidakan Karrel tersebut sontak membuat Mr.Mario yang tak menyadari Karrel beserta anak buahnya memelotot lebar.

"M-maaf atas apa yang terjadi. Saya ...," ucap Mario sedikit tergagap.

"Tak sepatutnya Anda bersikap seperti ini pada anak Anda sendiri," potong Karrel setelah berhasil membantu Hara berdiri.

Mr.Mario cuma bisa menunduk karena sudah kepalang malu. Tak lama setelah itu dia segera menyuruh Hara untuk meninggalkan ruang musik. "Kau bisa meninggalkan ruangan ini sekarang, Ara," tukasnya.

Alih-alih menjawab, Hara justru terlihat berjongkok kembali. Tangannya meraba-raba lantai seolah tengah mencari sesuatu. Pandangan mata Hara kosong ke depan, tak memiliki titik temu. Sebuah pandangan tanpa kehidupan.Hal itu membuat Karrel dapat meraskan ada sesuatu yang berbeda dari Hara.

"Dia ...," ujar Karrel tertahan setelah melihat Mr.Mario mengulurkan tongkat pada Hara dan menuntun gadis itu keluar dari ruang musik.

Sekarang semuanya sudah jelas, Karrel kembali menatap 2 bodyguard-nya tadi dan secara bersamaan mereka langsung membuat pergerakan serasi. Mereka meletakkan jari telunjuk ke bibir masing-masing, memberi sebuah kode agar Karrel tak melanjutkan ucapannya. Karena mereka tahu persis apa yang ada dalam pikiran Karrel saat ini.

"Saya benar-benar minta maaf atas apa yang baru saja kalian lihat. Jujur, saya sedikitpun tak memiliki maksud untuk menyakiti anak saya sendiri. Saya hanya ingin membuat Hara lebih kuat dan bisa berdiri kokoh meski dia memiliki kekurangan," terang Mr.Mario ketika dia sudah kembali lagi ke ruang musik.

Karrel menghela nafas panjang. Dia menyesal telah berpikiran buruk pada Mr.Mario sebelum mencari tahu alasannya terlebih dahulu.

"Saya juga minta maaf atas ucapan saya tadi, Tuan. Mohon bimbingan Anda untuk  beberapa pertemuan ke depan." Karrel tersenyum lembut lalu membungkukkan badan 90°.

__________

Dentingan suara piano beradu mengisi seluruh rongga ruangan yang kedap suara. Suara indah itu berasal dari jari-jari Karrel yang memainkan piano dengan lincah. Perhatian laki-laki itu hanya tertuju pada perkamen-perkamen not balok yang ada di depannya, sementara jarinya terus bermain menekan tuts putih dan tuts hitam bergantian.

Di sebelah Karrel juga ada Mr. Mario bersama Hara. Mereka berdua juga tampak sangat menikmati permainan yang disuguhkan oleh Karrel.

"Permainanmu berkembang sangat pesat. Namun, kau sering lepas kontrol karena terlalu terbawa suasana lagu yang kau bawakan," tukas Mr. Mario tatkala Karrel berhasil menyelesaikan empat lembar perkamen yang berisikan lagu berjudul 'Kiss The Rain' milik Yiruma.

"Permainan Karrel sudah bagus kok, Ayah. Setidaknya lebih bagus daripada permainanku," puji Hara tiba-tiba.

Ya. Kini hubungan mereka berdua jauh lebih baik daripada saat pertama kali Karrel bertemu mereka. Bahkan bukan itu saja, Karrel dan Hara pun kini juga telah menjadi seorang sahabat dan merekapun sering berlatih bersama-sama

Mr. Mario tersenyum tulus, meskipun tahu jika Hara tak akan pernah bisa melihat senyumannya. Tangan yang mulai keriput miliknya mengusap pucuk rambut Hara. Anak ayah tetap yang terhebat," balas Mr. Mario.

Uhuk! Uhuk!

Di tengah-tengah percakapan anak dan ayahnya itu, tiba-tiba saja Karrel terbatuk-batuk sampi membuat Mr. Mario segera menghampirinya.

"Kau kenapa?" tanya Mr. Mario.

I'm fine, Sir. Ehm ... bolehkah aku ke kamar mandi sebentar?" pinta Karrel.

"Serius kau baik-baik saja?"

Karrel mengangguk.

"Baiklah. Lebih baik kita istirahat saja dulu. Nanti kita berlatih lagi," tukas Mr. Mario.

Setelah Mr. Mario mengucapkan hal itu, Karrel segera mengambil botol minum yang tak jauh darinya lalu berlari menuju toilet, dan ya ... dia tak perlu lagi susah-susah mencari di mana tempatnya. Karena dia hampir hafal setiap sudut rumah Mr. Mario.

Di dalam kamar mandi, batuk yang dialami Karrel semakin parah, bahkan ada bercak darah yang keluar dari dalam rongga mulutnya. Jantung Karrel semakin tak karuan. Tangannya bergetar, tubuhnya terasa lemas dan siap tumbang kapapun juga.

"Kumohon jangan sekarang," lirihnya disela menahan sakit.

Dia pun merogoh saku celana, mengeluarkan beberapa pil yang selalu dia bawakan kemanapun dia pergi. Diminumnya beberapa butir pil dengan bantuan air mineral yang dia bawa.

Setelah itu Karrel menunduk, bergeming dengan tangan yang menumpu pada washtafel. Keheningan cukup lama dia biarkan menguasai sekitarnya. Baru setelah dia merasa baikan, dia memutuskan untuk kembali ke ruangan musik.

Dia tersenyum ketika mendapati Hara berada dalam ruangan itu seorang diri. Dengan langkah perlahan dia berjalan mendekati Hara yang masih sibuk memainkan pianonya dan secara diam-diam Karrel mengambil duduk tepat di sebelah kanan Hara.

"Kau sudah kembali?" tanya Hara yang sontak membuat Karrel terbengong.

"Bagaimana kau bisa tahu?"

"Aku memang buta, tapi Tuhan telah mempertajam keempat inderaku yang lain." Hara menjelaskan.

Hening sesaat, karena tiba-tiba saja Karrel merasa malu dan tak pantas menjadi sabat seorang Hara, si wanita tangguh.

"Karrel?" panggil Hara.

"Ya?"

"Bolehkah aku melihat wajahmu?" pinta Hara. "Sejujurnya, aku sudah lama penasaran denganmu sampai kau sudi berteman dengan gadis buta sepertiku" tambahnya.

Karrel tak mengucapkan sepatah katapun untuk membalas ucapan Hara. Namun, sebagai gantinya laki-laki itu justru meraih tangan Hara. Membawa jari-jari lentik Hara tepat ke permukaan wajahnya.

Hara tersenyum mengetahu jika Karrel ternyata tak menolak permintaannya. Gais itu menyapukan permukaan telapaknya menyusuri setiap inci wajah Karrel.

"Kau pasti laki-laki yang tampan. Bentuk mata, hidung dan rahangmu sangat bagus," ujar Hara seraya menjauhkan tangannya dari Karrel.

"Tidak, aku bukan laki-laki seperti itu, aku—

Argh!

Ucapan Karrel terputus saat tiba-tiba saja sakitnya kambuh lagi. Dia memekik kesakitan. Badannya terhuyung hingga membuatnya jatuh ke atas lantai. Dia meremas dadanya kuat, nyeri pada dada sebelah kiri membuatnya tak bisa berkutit. Nafas Karrel terasa sesak dan otaknya terasa ingin pecah saat itu juga.

"Karrel?! Karrel?! Kau baik-baik saja?" pekik Hara terus memanggi nama Karrel berulang-ulang. Namun, Karrel tetap tak memberikan respon apapun pada Hara kecuali erangan penuh sakit.

"Ayah! Ayah!" teriak Hara sekuat tenaga.

Gadis itu terus saja menggoyang-goyang tubuh Karrel sambil terus mengajak Karrel berbicara agar laki-laki itu tetap sadarkan diri. Air matapun sudah berhasil membanjiri mata Hara. Dadanya ikutan terasa sesak menyadari keadaan Karrel saat ini.

Tak lama setelah itu, akhirnya Ayah Hara datang bersama 2 bodyguard yang selama ini menemani Karrel pergi. Ketiganya langsung tergopoh, apalagi 2 bodyguard yang melihat tuan mudanya tengah terbaring lemas menahan sakit.

Maaf, kami harus segera  membawa Tuan Karrel pilang, izin si bodyguard pirang. Tanpa menunggu jawaban dari si pemilik rumah, Dua orang itu segera membopong tubuh Karrel pulang.

Sementara itu, dengan ditemani ayahnya, Hara terus terisak seraya menggenggam botol kecil tempat Karrel menyimpan obatnya yang tak sengaja jatuh saat Karrel kesakitan tadi.

__________

Semenjak peristiwa itu, Karrel tak pernah datang lagi ke rumah Hara. Tuts piano yang biasanya mereka mainkan juga sudah lama Hara anggurkan. Entah kenapa dia sudah tak ada semangat lagi untuk bermain piano sebelum Karrel menemuinya lagi.

"Ayah? Karrel kok sudah tak pernah berkunjung lagi ke sini? Apa ayah sudah berhenti mengajarinya? Atau mungkin telah terjadi sesuatu terhadapnya?" tanya Hara saat dia tengah duduk santai bersama sang ayah.

Ayah Hara menoleh, menatap wajah cantik anaknya yang begitu mirip dengan mendiang sang istri.

"Ayah juga tak mengerti, Sayang. Ayah akan menghubungi keluarga Karrel jika kau sangat merindukan laki-laki itu”

Setelah mengucapkan kalimat itu, sang ayah buru-buru mengeluarkan benda pipih yang multifungsi dari sakunya. Tangannya lincah menekan beberapa nomor. Lalu mendekatkan benda tersebut ke telinga.

Ternyata panggilannya cepat tersambung ke keluarga Karrel. Ayah Hara sempat berbincang-bincang sejenak dengan orang di seberang telepon, sampai akhirnya dia menutup panggilannya dengan eksperi sedih.

Tangan sang ayah mengusap lembut rambut Hara. "Karrel sebentar lagi akan ke sini. Lebih baik kita menunggunya dalam ruang musik saja."

Hara senangnya bukan main. Kemudian keduanya bersama-sama beranjak dari ruang santai menuju ruang di mana tempat Hara dan Karrel sering menghabiskan waktu bersama. Namun, ayah Hara tak ikut menunggu di dalam, dia memilih keluar dengan alasan mencari udara segar.

"Hara ... kau tunggu saja di sini. Jika kau mendengar bunyi pintu dibuka itu tandanya Karrel telah datang," pesan sang ayah.

Hara mengangguk faham.
Sekitar 20 menit berlalu, Setelah keheningan merayapi sekitar Hara akhirnya gadis itu mendengar suara pintu dibuka oleh seseorang.

"Karrel? Akhirnya kau datang juga." Hara tersenyum senang.

Senyum Hara terus mengembang tatkala sayup-sayup dia mulai mendengarkan denting tuts piano memainkan lagu Kiss The Rain, lagu kesukaannya dan Karrel.

"Permainanmu tetap bagus seperti biasanya, Karrel," puji Hara.

Sementara pria yang duduk di depan piano tersebut hanya bisa tersenyum getir. Maaf, ayah harus membohongimu, Sayang. Karrel sudah pergi tenang di sana dan tak akan kembali lagi, batin sang ayah.

END

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top