7. Rumah Persembunyian
Randu keluar dari gedung tua itu. Tasya berjalan menghampirinya sesuai dengan arahan awal. Beberapa saat mereka masih saling kaku. Tasya takut membuka percakapan setelah apa yang dia lihat beberapa waktu lalu.
Mereka berjalan ke arah jalan raya dengan saling terdiam. Tasya mulai tidak bisa memendam rasa ingin tahunya, namun dirasa terlalu cepat mengetahui rahasia orang yang baru dia kenal. Hatinya resah, antara membuka percakapan atau tetap terdiam entah sampai kapan.
"Terima kasih, cukup sampai di sini. Kamu bisa meninggalkanku," ucap Gaga membuka percakapan.
"Sama-sama, tapi sekarang kamu mau ke mana?"
"Entahlah, belum ada tujuan," jawab Gaga dengan enteng.
"Jujur ya, aku enggak tega lihat kamu lontang-lantung di jalan tanpa tujuan yang pasti."
"Biar pun di jalan, aku akan tetap hidup kok."
Tasya tidak begitu saja tidak berempati. Dia mengingat kali pertama pertemuan mereka ketika pemuda itu tergeletak di trotoar. Pikirannya mulai tidak karuan, memang apa yang tadi Tasya lihat terlihat mencurigakan. Namun, melihat tatapan Gaga membuat Tasya kembali yakin jika dia memang membutuhkan pertolongan.
"Aku enggak tega lihat kamu seperti itu. Mungkin ini terlalu cepat, tetapi jika kamu tidak memiliki tujuan, aku ada rumah nenekku, kosong tidak ada penghuninya."
Tasya mulai membuka diri, bahkan dia menawarkan rumah kosong milik neneknya. Ada rasa yang muncul sejak kali pertama perjumpaan itu. Rasa yang aneh, yang belum bisa dijelaskan dengan kata.
"Tidak perlu, aku sudah merepotkanmu. Tidak pantas rasanya gembel sepertiku mengharapkan hal lebih darimu."
"Ga, jangan seperti itu. Aku hanya ingin berbuat baik kepada sesama. Lagian pekerjaanku paruh waktuku di LBH banyak mengajariku untuk peduli sekitar."
"Jadi, kamu bekerja di LBH?"
"Iya, di lembaga bantuan hukum banyak yang kami tangani, saling tolong menolong, juga membela yang lemah."
Seketika Randu memiliki ide untuk membuat namanya kembali baik. Tetapi, terlalu lancang jika dibicarakan saat ini. Sehingga Randu memutar otak untuk mendapatkan simpati dari gadis berwajah tirus itu.
"Iya, aku akan ikut denganmu. Tinggal di rumah nenekmu yang kosong dan terbengkalai itu."
"Yakin?"
Tasya tidak percaya begitu saja. Beberapa waktu lalu dia menolak, sekarang malah menerima dengan senang hati. Tasya tidak peduli dengan misi pemuda itu, dia hanya ingin membantu dan berbagi.
"Kenapa harus berbohong jika kita bisa jujur. Kadang jawaban dari hati malah tidak dipercayai."
"Oke, Ga, aku percaya kok denganmu. Kita tunggu taksi online dulu, setelah itu kita langsung ke rumah nenek," kata Tasya dengan senyum merekah di bibir tipisnya.
Semua seperti terjadi dengan tempo sangat cepat. Tidak ada yang bisa memahami bagaimana cara kerja ketulusan dalam bekerja pada diri tiap-tiap manusia. Tasya hanya meyakini jika Gaga pemuda baik. Jikalau dia tidak baik, minimal Tasya telah membantunya sekuat diri.
***
"Kita sudah sampai!" teriak Tasya ketika turun dari mobil.
"Ini rumah nenekmu?"
"Iya, tidak terlalu besar, tetapi pasti nyaman deh. Lagian udara di sini masih tergolong asri dengan banyaknya pohon di halaman depan dan belakang."
"Aku pikir tempat ini akan cocok denganku."
"Aku kira juga seperti itu, Ga."
"Ngomong-ngomong, bagaimana jika nanti aku berbuat buruk padamu?" tanya Gaga berusaha mengulik Tasya.
"Aku kira kamu tidak akan berbuat buruk padaku, sebab aku telah dua kali menolongmu. Aku percaya, apa yang kita tanam, itu yang kita peroleh."
"Ternyata kamu memang orang baik."
"Tidak ada orang baik yang mengatakan dirinya baik," sahut Tasya sambil tersenyum sinis.
Tasya berjalan ke arah halaman rumah lalu mencari dan menemukan kunci di tasnya dengan cepat. Buru-buru dia membuka pintu itu dengan kunci di tangannya. Pintu terbuka, senyum Tasya mengembang lebar.
"Ayo, masuk!" ajak Tasya pada Gaga yang terlihat malu padanya.
"Aku kira ini terlalu berlebih, biarkan aku kembali ke jalan."
"Jangan dong, entah mengapa sejak pertemuan kita tadi, aku merasa ada sesuatu dia antara kita."
"Iya, rasa kasihan kepadaku membuatmu merasa tidak enak hati."
"Bukan gitu, Ga," sela Tasya berusaha menjelaskan, "Jangan berpikir buruk, lagi pula tadi kamu juga sepakat untuk mau tinggal di sini. Iya, aku kasihan padamu karena tidak punya tempat tinggal."
"Kalau bukan aku, apa kamu akan tetap menolong orang itu?"
"Memang ada orang yang istirahat sambil tiduran di atas trotoar?" tanya Tasya melempar pertanyaan yang hanya bisa dijawab pemuda dua puluh tahunan itu.
"Mungkin ini yang namanya takdir," jawab Gaga sambil tersenyum tipis.
"Takdir yang tidak bisa ditolak, takdir aku harus menolongmu." Tasya tegas dan yakin pada pendiriannya untuk membantu Gaga.
Tasya mengandeng tangan Gaga untuk segera masuk rumah. Tasya menyalakan lampu dan semua terlihat begitu indah. Gaga menjadi ingat akan masa lalunya yang serba bahagia, namun kesalahpahaman membuatnya harus bersembunyi, sengsara entah sampai kapan.
"Aku akan tinggal di sini sendirian?"
"Apa kamu berharap aku juga ada di sini?" Tasya kembali melemparkan jawaban berupa pertanyaan.
"Pasti akan menimbulkan fitnah," sahut Gaga berpikir rasional.
"Benar, akan ada fitnah yang bergulir. Aku akan pulang ke rumah peninggalan kedua orang tuaku. Jadi, kamu di sini sendirian, nanti aku akan bilang ke pak RT jika saudara jauh akan menempati rumah ini."
"Terima kasih, Sya, aku harap semua dapat berjalan dengan baik."
"Aamiin, aku harap demikian."
"Tapi, aku takut mengecewakanmu yang telah menolongku."
"Sudahlah, Ga, kita lihat nanti. Jangan berpikir macam-macam."
Gaga hanya melempar senyum. Dia merasa bersalah membohongi Tasya, tetapi hanya ini jalan yang bisa dia pilih. "Semoga aku tidak membuatmu kecewa karena aku adalah buronan," gumam Gaga berharap semua akan kembali normal.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top