4. Sendu Randu
Tanah merah masih basah. Bunga-bunga kertas masih terpajang di sana. Tidak ada yang layu setangkai pun. Semua terlihat enak untuk dipandang. Aroma tanah basah juga tercium, aroma yang khas setelah hujan menguyur.
Satu per satu datang dan pergi untuk memberikan penghormatan terakhir. Tidak ada yang indah. Senyum-senyum di bibir mereka kunci. Mengenakan kacamata hitam adalah langkah terbaik untuk menyembunyikan kedua bola mata mereka yang memerah. Tidak ada blush on di pipi, semua luntur tersapu air mata yang terus mengalir.
Beberapa orang bahkan mencoba menampilkan senyum manis di bibir pucatnya, walau hanya topeng sesaat. Beberapa orang yang lain saling bersalaman. Memeluk. Mengucap doa. Semua memiliki batas waktu. Waktu tidak akan bisa ditawar, yang sudah berjalan tidak akan pernah dapat berhenti, pun yang sudah pergi tidak akan dapat kembali.
"Maaf, jika semua sudah terlambat. Hal sangat fatal karena Pak Putro selama ini menggunakan obat dengan dosis tinggi membuat jantungnya bekerja sangat keras." Dokter Sunu selaku dokter pribadi sekaligus kawan lamanya buka suara di pemakaman Pak Putro.
"Semua sudah terjadi, tidak perlu disesali lagi. Penggunaan obat juga karena suami saya ingin sembuh dengan cepat."
"Sabar, Ma, Mario pikir ini memang yang terbaik. Sepertinya bukan hanya penggunaan obat dosis tinggi, tapi papa juga kaget karena tingkah Randu yang menggunakan dan mengedarkan minyak ganja itu."
"Apa mungkin Randu mengedarkan obat terlarang di area kampus? sepertinya terlalu mengarang saja," ucap dokter Sunu yang mengetahui jika Randu tidak mungkin melakukan hal itu.
"Itu yang terjadi padanya. Sekarang dia ada di kantor polisi, berarti dia bersalah."
"Sudah cukup, kalian ini bicara apa? apa tidak lihat pemakaman suami saya masih basah, tapi kalian membahas hal yang tidak-tidak."
Terlihat air mata Sofi terus mengalir mengiringi kepergian sang suami. Semua orang yang menyaksikannya begitu terharu dalam nuansa biru. Tidak ada lagi canda tawa, tidak ada kenangan buruk, yang ada hanyalah mimpi-mimpi semu yang tidak akan pernah bisa terwujud selamanya.
Dari tempat parkiran pemakaman, Randu berjalan dengan gontai. Kedua tangan terborgol. Beberapa polisi mengikuti dari arah belakang dan satu polisi menggandengnya. Tangis pemuda itu tidak dapet dia bendung ketika menyaksikan orang yang sangat menyayanginya, orang yang sangat peduli kepadanya, orang yang selalu ada di dalam tangis dan tawa, harus pergi untuk selamanya.
"Kami hanya memberikan waktu sekitar tiga puluh menit, setelah itu Anda harus kembali ke kantor polisi."
"Setidaknya saya masih ada sedikit waktu untuk melihat pusara ayah saya," ucap Randu dengan terbata.
Randu berjalan sambil tidak hentinya menangis. Tepat di depan pusara sang ayah, dia segera menjatuhkan dirinya, memeluk nisan itu. Rasanya sangat cepat, seperti mimpi dan itu ternyata nyata.
"Ayah, maafkan aku, Ayah harus pergi untuk selamanya. Aku takut, bagaimana bisa aku menjalani hidup tanpa Ayah?"
"Anak durhaka kenapa kamu di sini? Kamu kan yang buat dia meninggal!"
"Jangan asal bicara, aku bukan anak durhaka. Jika kamu tidak mengetahui kebenarannya, jangan pernah mengungkapnya!"
"Randu, saya pikir kamu memang bukan anak yang seharusnya ada di pemakaman ini. Kamu yang telah membuat ayahmu sendiri meninggal dan dengan santainya kamu datang?"
Randu berdiri lalu menunjukkan tangannya yang terborgol. "Apakah ini yang disebut santai? aku tengah berjuang mengembalikan nama baikku dan nama baik ayah, jika Mama tidak tahu yang terjadi tidak perlu berucap."
Randu tidak ingin terlihat lemah dan kalah di depan mamanya yang semena-mena. Sekarang hanya dia yang harus berjuang untuk hidupnya sendiri. Tidak akan ada lagi yang membelanya. Semua harus dilalui dengan sedikit energi dan mimpi, juga pesan yang harus segera tersampaikan.
Langit sore terlihat mendung, namun tidak ada air mata hujan. Kesedihan itu melampaui batas. Semua yang datang ke acara pemakaman menyaksikan betapa perpecahan keluarga akan segera terjadi. Manusia hanya tinggal menjalani berbagai ujian yang hadir, namun berusaha menjadi pemenang tidak ada yang salah.
"Ayah, aku janji akan segera menemukan kakak, mengajaknya ke sini dan memberitahukan segala wasiat yang ayahnya titipkan padaku," bisik Randu pada nisan Pak Putro.
"Wasiat, maksud Randu apa, ya? apa sebelum Putro meninggal, dia telah menulis surat wasiat untuk anak-anaknya?" tanya Sofi pada dirinya sendiri dalam hati.
"Mohon maaf, waktunya sudah habis. Anda harus kembali ke kepolisian untuk penyeledikan lebih lanjut."
Randu mencium nisan sang ayah. Dia bangkit dari tempatnya terduduk di samping nisan ayahnya. Sekarang dia hanya sebatangkara, hanya Randu yang bisa menyelamatkan hidupnya sendiri. Tidak ada lagi kata menyerah, semua harus dibuktikan, jika memang dia tidak bersalah.
"Jalani hukumanmu dengan baik, jangan banyak bertingkah," ujar Mario tertawa melihat adik tirinya mendapat musibah.
Rindu menatap tajam kakak tirinya, dia tidak menyukai dengan sebutan itu. "Kalau enggak tahu apa-apa, tidak perlu ngomong, jangan sok tahu!"
"Randu, Randu, kamu yang sok tahu. Kamu yang enggak tahu apa-apa, dasar anak kecil!"
"Apa kamu bilang, anak kecil?" emosi Randu tersulut.
"Jangan bikin onar di pemakaman ini. Pergi Randu, kamu tidak pernah diharapkan di sini," kata Sofi dengan tatapan membenci anak angkatnya itu.
Semuanya seperti melihat drama dalam pusara elegi kematian. Tidak ada yang tahu bagaimana ujungnya. Tetapi, ketika semuanya lengah, Randu menyusun rencana untuk dapat pergi sesaat demi menyampaikan wasiat dari ayahnya yang telah tiada.
"Mari saudara Randu, waktu Anda sudah habis. Anda harus kembali," ajak polisi itu sambil menampilkan senyum tipisnya.
"Baik, Pak," sahut Randu cepat lalu mengikuti langkah polisi-polisi itu tanpa memberontak.
Sesekali Randu kembali menatap nisan sang ayah seperti ada rasa tidak tega untuk pergi. Semua sudah terjadi, hanya tinggal penyesalan yang tersisa, walaupun ini bukan kesalahannya. Randu harus dijalani hingga usai. Pemuda dua puluh tahun itu mulai menjalankan siasatnya.
Di tengah perjalanan menuju mobil tahanan, Randu terus memegangi perutnya. "Pak, perut saya sakit sekali. Mohon, saya diantar ke toilet?"
"Iya, akan kami antar ke kamar mandi terdekat," sahut seorang polisi tanpa rasa curiga.
Mereka akhirnya berjalan menuju kamar mandi. Tanpa ada firasat buruk, para polisi memberikan pelayanan terbaik untuk Randu. Di sini Randu mulai menjalankan rencana besarnya untuk dapat kabur demi menjalankan wasiat ayahnya.
"Kita sudah sampai di depan toilet. Silakan Anda bisa masuk sendiri dan kami akan menunggu di sini."
Randu menunjukkan kedua tangan yang terborgol. "Bagaimana saya bisa melepas celana, bagaimana saya bisa membersihkan diri setelah selesai dengan keperluan saya?"
"Baiklah, kami akan melepaskan borgol itu, tapi jangan berani-berani untuk kabur."
"Bapak jangan konyol, toiletnya sempit, juga ventilasi udara terbatas, sangat sulit untuk saya bisa kabur."
"Baiklah, akan saya kabulkan." Salah seorang polisi mengambil kunci dari kantong celananya untuk melepaskan borgol yang menjerat ke dua tangan Randu. "Gunakan kesempatan ini dengan baik, jangan mengecewakan kami," pesan polisi itu dengan tegas.
Randu hanya tersenyum tipis lalu masuk ke dalam bilik toilet.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top