3. Rencana Besar
Mario menggeser tombol hijau di ponselnya, tepat di nama mama lalu panggilan itu tersambung. "Halo, Ma?"
"Ngapain sih kamu telepon?"
"Aku cuma mau ngasih kabar, ada berita besar yang bisa bikin si anak tiri itu mendapatkan masalah."
"Berita apa emangnya, kamu sudah mengantarkan dompetnya?"
"Sudah Ma, ya, gara-gara dompet itu, aku jadi mengetahui tentang minyak ganja."
"Mama kan sudah bilang, kamu jangan pernah bahas tentang minyak ganja lagi. Karena Mama pikir kita kemarin itu hanya salah pendengaran, jadi tidak perlu diperpanjang lagi." Sofi tidak menyukai ketika putranya kembali mengungkit tentang permasalahan di meja makan itu.
"Pasti Mama enggak akan pernah percaya sebelum aku berikan bukti yang nyata." Mario segera memutar ponselnya lalu ke menu utama dan mengirimkan video ke chat pribadi milik mamanya.
"Kamu ngirim apa, sih, Mario?" tanya Sofi yang bingung dengan tingkah putranya.
"Semuanya akan terkuak, Mama tinggal lihat dan pasti Mama akan menemukan hal yang luar biasa untuk menyingkirkannya."
Klik.
"Aduh! anak ini gimana, sih, orang tuanya masih ngomong udah dimatiin aja teleponnya. Emangnya apa ya isi video itu, sepertinya Mario serius sekali," gumam Sofi sambil memutar video kiriman putranya.
Terlihat dengan jelas di situ ada Randu dan satu kawannya yang sedang membicarakan suatu rahasia tentang minyak ganja. Sofi baru menyadari, jika minyak ganja itu memang ada dan rahasia yang selama ini suami juga anak tirinya sembunyikan dirasa cukup kelam. Namun, semua ini akan Sofi jadikan alat untuk menguasai harta suaminya.
"Ternyata Mario cerdas. Dia tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku akan segera bertindak dan aku tidak akan pernah membiarkan anak itu mendapatkan harta dari Putro." Sofi puas setelah melihat rekaman itu.
Sejatinya memang Sofi bukan ibu tiri yang baik. Dia hanya terlihat baik di depan Putro dan juga Randu. Selebihnya, perlakuannya cukup membuat siapa saja yang berhubungan dengannya menjadi muak lantaran dia terlalu serakah, ingin menguasai apa yang bukan haknya.
"Kamu lagi ngapain, Ma?"
Terdengar suara suaminya memanggil, segera Sofi memasukkan ponsel di dalam saku celananya. "Papa ini ngagetin Mama saja, tadi habis terima telepon dari Mario, katanya dompet Randu sudah dia berikan."
"Syukurlah kalau begitu, tadi Papa kepikiran terus. Oh, iya, Ma, kenapa sudah beberapa hari dada Papa semakin sesak, padahal Papa sudah minum obat sesuai dengan resep dokter."
Sofi berjalan menghampiri suaminya lalu meraih tangan kanan suaminya untuk dia genggam. "Sayang, kamu harus lebih sabar, minum obat juga kan enggak langsung bisa sembuh. Pastinya berangsur membaik, lagi pula orang yang memiliki penyakit jantung memang seperti itu."
"Terima kasih, kamu sudah sangat memahamiku sejauh ini. Aku tidak pernah salah memilih Ibu untuk Randu."
"Aku berharap seperti itu, semoga aku bisa menjadi Ibu terbaik untuk anak-anak kita," sahut Sofi sambil tersenyum simpul kepada suaminya. "Kamu tidak tahu apa yang sudah aku rencanakan. Penyakitmu tidak akan pernah bisa sembuh dan anakmu akan menghabiskan sepanjang hidupnya di penjara. Hidup ini memang sangat indah," gumamnya dalam hati.
***
Waktu berjalan sangat cepat, namun semua berjalan normal seperti hari-hari yang lalu. Bahkan, tidak ada sedikitpun celah kesedihan yang dapat menghiasi keluarga tersebut. Tetapi, tidak ada hal yang terus sempurna tanpa sesuatu yang retak dan mungkin itu yang terjadi hari ini.
"Aku pulang!"
"Randu, tumben masih siang sudah pulang?"
"Iya, Ma, tadi dosen lagi ada seminar, jadi kuliahnya diundur minggu depan."
"Ya, sudah, habis kamu bersih diri, ganti baju, lalu makan, ya. Mama udah nyiapin makanan kesukaanmu."
"Soto daging lengkap dengan gubis dan juga kentang goreng?"
Sofi tersenyum layaknya seorang ibu yang sangat mengasihi putranya. "Tentu, kamu pasti suka, 'kan?"
Randu menggangguk sembari tersenyum lalu berjalan menuju kamarnya untuk membersihkan diri, berganti pakaian, dan akan menikmati hidangan buatan mamanya. Tidak ada rasa curiga terbersit di hati pemuda dua tahun itu. Dia menganggap mamanya memang sosok pengganti ibu kandung yang baik, tanpa ada firasat buruk yang beberapa saat kemudian mungkin akan membuat hidupnya berubah selamanya.
Tidak lama kemudian pintu rumah terketuk. Sofi bergegas untuk menuju pintu utama guna melihat siapa tamu yang datang siang itu. Sofi tidak lantas membuka pintu, dia melihat dari balik jendela siapa tamu yang datang guna menemui penghuni rumah itu. Tiga pria bertubuh kekar, berpakaian dinas berwarna coklat, sedang menunggu di depan pintu.
Sofi membukakannya dengan perasaan tidak karuan. "Mohon maaf, ada yang bisa saya bantu?"
Salah seorang pria itu menyodorkan surat dan menjelaskan kedatangannya ke rumah itu. "Selamat siang Bu, kami dari kepolisian, ini ada surat untuk penangkapan saudara Randu Rahardi Putra."
"Randu, maksudnya apa, ya?" tanya Sofi berlagak tidak mengetahui hal yang sebenarnya.
"Menurut laporan tadi pagi dan juga rekaman video yang diserahkan kepada kami, saudara Randu telah mengedarkan minyak ganja di area kampus. Mungkin saja dia juga mengedarkan obat yang lain, maka dari itu, kami dari pihak kepolisian akan melakukan pemeriksaan di rumah Ibu dan akan mengamankan saudara Randu."
"Ada apa, Ma?" tanya Pak Putro yang baru saja keluar dari kamar mandi.
"Ini, Pa, ada Bapak polisi yang akan menggeledah rumah kita."
"Memangnya ada apa?" tanya Pak Putro berjalan ke arah tiga polisi dan juga istrinya berdiri.
"Selamat siang, Pak, sesuai dengan laporan dan juga surat penangkapan, kami ke sini akan mengadakan pengeledahan dan juga mengamankan saudara Randu."
"Pa, katanya Randu mengedarkan minyak ganja di area kampus, itu enggak mungkin, 'kan?" tanya Sofi dengan nada suara yang bergetar.
"Permisi, kami akan melakukan pengeledahan," ucap salah seorang polisi masuk ke dalam rumah diikuti dua kawanan polisi lainnya.
Entah mengapa dada kiri Pak Putro terasa sangat nyeri. Pak Putro segera menekan dadanya itu, berharap semuanya akan bisa kembali normal. Tetapi, tiba-tiba saja pandangannya kabur, rasa sakit itu membuatnya sulit untuk bernapas. Sofi yang melihat suaminya kesakitan segera mendekapnya.
"Sayang, kamu enggak apa-apa, 'kan?"
"Ini sakit dadaku, seperti meledak," ucap Pak Putro beberapa detik sebelum dia memejamkan kedua mata.
"Sayang, bangun!" teriak Sofi sambil menggoyang-goyangkan tubuh suaminya, namun tidak ada respon.
Mendengar teriakan dari mama tirinya, Randu segera membuka pintu kamar dan betapa terkejutnya telah ada tiga polisi yang menunggunya di sana. "Kalian siapa, ya?" tanya Randu dengan perasaan tidak karuan.
"Apakah Anda saudara Randu?"
"Benar, saya Randu. Ada apa dengan Ayah saya?"
"Mohon maaf, saudara Randu, kami harus mengamankan Anda dengan tuduhan telah mengedarkan minyak ganja di area kampus."
"Ini tidak benar, apa yang kalian bicarakan? Saya tidak pernah melakukan hal itu," bela Randu kekeh pada pendiriannya.
"Kami memiliki rekaman videonya dan Anda tidak bisa lagi mengelak!"
Satu polisi lainnya seketika memborgol tangan Randu. "Tolong, Anda harus kooperatif!"
"Lapor Pak, kami akan melakukan pencarian barang bukti di area rumah ini," ucap seorang polisi dengan tubuh kekar nan tambun.
"Baik laksanakan!"
"Saya tidak salah apa-apa. Kenapa saya harus ditahan? Ayah! Ayah! bangun Ayah! Ayah, tolong aku!" teriak Randu dengan sekuat tenaga berharap ayahnya akan tersadar.
"Randu kamu keterlaluan ya, gara-gara kamu Ayahmu menjadi drop."
"Ma, percaya sama Randu, aku enggak pernah ngelakuin hal seperti itu. Tolong bantu Randu!"
"Mohon maaf, Anda harus segera kami amankan dan mohon maaf karena terjadi kericuhan ini," ucap polisi itu dengan sangat tegas.
Randu segera dibawa tiga polisi ke dalam mobil tahanan. Tangisnya semakin menggelegar ketika melihat ayahnya tidak kunjung sadarkan diri. Kesalahpahaman ini benar-benar membuat Randu muak. Dia tidak pernah menyangka niatnya untuk membantu kawannya ternyata berbuah petaka.
"Ayah, aku enggak bersalah, tolong!" Randu takut akan menghadapi kenyataan pahit yang tidak pernah terbayangkan dalam mimpinya.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top