14. Kecewa

"Terima kasih, ya, tadi kamu aktingnya bagus banget, Sya."

"Siapa juga sih yang akting? aku tuh enggak lagi akting, cuma mau selamatin kamu aja. Kayak kamu enggak nyaman deh dengan adanya Mario?"

"Benar, aku enggak nyaman ada dia."

"Emangnya kenapa sih, Ga? Mario itu baik, kita udah pacaran lebih kurang sepuluh bulan dan aku tahu dia itu tanggung jawab juga pengertian."

Tasya sangat mengagumi sosok Mario. Bahkan, dia memuji Mario di depan mata Randu. Di sini Randu sedikit merasa kecewa dengan apa yang baru saja dia dengar. Tidak pernah menyangka jika gadis yang ada di depannya menyukai kakak tirinya yang terkadang bersikap kasar padanya.

"Sya, pasti kamu nanti akan tahu sendiri tentang Mario. Aku enggak mau deh ngomong yang macam-macam."

"Sorry ya, Ga, emangnya kamu pernah kenal Mario sebelumnya? sok tahu banget sih, emang Mario itu terlihat agak sombong dan angkuh, tapi dia baik." Sekali lagi Tasya memuji kekasihnya itu.

"Ya udah deh, terserah," sahut Randu seperti menyimpan cemburu kepada Tasya.

"Kenapa sih, Ga, kok jadi aneh gini?"

Randu tidak menghiraukan apa yang Tasya tanyakan. Dia berjalan santai menuju kamarnya tanpa bergeming. Tetap fokus pada tujuannya istirahat agar mood-nya kembali normal setelah ketegangan bertemu dengan Mario.

"Dasar ya, susah diatur!" teriak Tasya pada si plontos. "Udah ya, aku pulang, jangan lupa nanti pintunya dikunci, bye!"

Tasya meninggalkan rumah neneknya dengan sedikit uring-uringan lantaran Randu tidak memperlakukan Mario dengan baik. Niat Tasya ternyata tidak bisa diterima oleh kawan barunya itu. Nyatanya Randu tidak benar-benar marah kepada Tasya yang tanpa seizinnya membiarkan Mario untuk datang ke rumah itu.

Randu melihat Tasya pergi meninggalkan pekarangan rumah. Sepertinya Randu merasa bersalah dengan apa yang tadi dia ucapkan kepada Tasya. Tidak seharusnya gadis itu menerima perlakuan buruknya karena selama ini telah baik menjaga, melindungi, juga memberikan tumpangan. Tetapi, Randu malah memperlakukan Tasya dengan buruk.

"Maaf ya, aku tidak Seharusnya membentakmu. Seharusnya aku bisa berakting untuk menerima Mario dengan baik, maafkan aku, ya," ucap Randu melihat laju mobil Tasya semakin kencang.

***

"Halo, sayang?"

"Halo, sayang, kamu lagi ngapain?"

"Aku lagi di rumah, ngerjain tugas. Kamu sendiri lagi ngapain?"

"Aku lagi ada di LBH juga ngerjain tugas. Oh, iya, Mario besok bisa enggak kita keluar bersama Gaga?"

"Bisa dong, dengan senang hati."

"Terima kasih ya, Mario. Aku mah enggak pernah salah pilih pacar deh, maaf ya, tadi Gaga seperti enggak sopan gitu sama kamu, aku jadi enggak enak."

"Udahlah Sya, enggak apa-apa. Ya, mungkin kita belum akrab aja, lagi pula kan kali pertama Gaga ketemu sama aku."

Mario sebisa mungkin untuk menjaga perasaan kekasihnya. Dia terdengar sabar dan sangat menyayangi adik angkat dari Tasya. Entah itu akting atau nyata, tetapi Tasya sangat mengagumi sosok Mario yang bisa menerima Gaga dengan baik.

"Ya udah ya, aku kerjain dulu tugas-tugasnya biar cepat selesai, besok pagi bisa dikumpulkan, dan kita bisa jalan bareng Gaga."

"Iya, makasih ya, kamu juga jangan lupa makan nanti sakit, kalau sakit, aku juga akan ikut sakit."

"Alai banget sih Mario, aku tuh enggak mungkin lupa makan. Kalau aku enggak makan apsti lapar, eh,  malah enggak bisa mikir."

"Oke, deh, yang penting jaga pola dan jangan capek-capek."

"Oke, Mario, aku lanjut ngerjain tugas dulu, ya, bye."

Klik.

Mario terlihat tersenyum setelah menelepon kekasihnya. Sofi datang dengan membawa susu coklat hangat kesukaan anaknya. Dia tidak lantas langsung banyak bertanya, tetapi melihat ekspresi dari Mario, Ibu paruh baya itu meyakini jika putranya sedang kasmaran.

"Pasti dari Tasya, ya?"

"Kenapa sih, Ma, emang enggak boleh?"

"Lo, kamu kok jadi sewot sama Mama?"

"Iya, Mama sendiri sih, suka godain aku."

"Ya enggaklah, Mario, Mama itu cuma nebak aja. Eh, ternyata tebakan Mama bener," ucap Sofi sambil memberikan segelas susu coklat hangat kepada putranya.

Mario menerima pemberian dari sang Mama sambil terus tersenyum. Hatinya berbunga-bunga, entah seberapa banyak bunga yang menutupi hatinya. "Tadi aku ke rumah neneknya Tasya, terus ketemu sama adiknya juga."

"Adiknya, sejak kapan Tasya punya adik?"

"Mereka berdua sama-sama anak angkat, jadi enggak ada hubungan darah. Tapi, Tasya sangat menyayangi adiknya sejauh apa yang aku lihat, lagi pula adiknya lagi sakit parah, Ma."

"Sakit parah, memang sakit apa?"

"Mungkin kanker atau sakit mematikan yang lain, soalnya dia itu enggak punya sehelai rambut pun. Wajahnya sangat pucat dan kurus, sekilas kalau aku lihat adiknya Tasya seperti Randu. Mereka hampir sama, tapi enggak mungkin dia Randu."

"Mama jadi ingat surat yang waktu itu, Mama yakin kalau Randu yang datang ke rumah ini untuk mengambil berkas-berkas dan juga surat wasiat peninggalan ayahnya itu."

"Sudahlah, Ma, untuk sekarang aku enggak mau bahas Randu lagi. Aku males dan capek kalau Mama mengungkit dia lagi."

"Oke, untuk sekarang Mama enggak akan bahas lagi," sahut Sofi tidak mau membuat mood anaknya berantakan.

"Makasih juga Ma, susu coklat buat Mama enak banget. Bukan maksud ngusir ya, Ma, tapi Mama bisa keluar kamar dulu, aku mau ngerjain tugas sampai selesai."

"Oke, semangat ya belajarnya, karena biaya kuliah itu mahal lo. Jangan macam-macam!"

"Siap, Bu bos," sahut Mario cepat sambil terus tersenyum pada Mamanya.

Sofi langsung menuruti apa yang Mario inginkan. Segera Sofi pergi meninggalkan ruangan putranya agar bisa fokus untuk menyelesaikan tugas-tugasnya tepat waktu. Pikiran Sofi masih tentang Randu, dia menjadi gundah gulana lantaran anak tirinya itu tidak kunjung ditemukan. Terlebih, surat berharga pun juga lenyap, ini seperti petaka di balik petaka.

"Bagaimana caranya aku bisa segera menemukan anak tiri itu? aku tidak bisa tinggal diam, jika Randu tidak segera ditemukan, hutang itu semakin menumpuk. Lagian uang kas di kantor semakin menipis karena hobi judi online yang aku lakukan," gumam Sofi dari balik pintu kamar Mario.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top