11. Pulang Sesaat

Tasya terus memandang Randu yang terlihat cukup aneh. Kepala gundul tanpa sehelai rambut. Wajah pucat, pipi tirus, mengenakan jaket putih lengkap bersama topi yang juga berwarna putih yang Randu kenakan. Entah apa yang membuat Randu mengubah penampilan diri. Berupaya tidak seperti Randu yang memiliki rambut lebat, sehelai pun sekarang sudah tidak ada.

"Tasya, apa kamu masih merasa penasaran dengan gaya baruku ini?"

"Enggak gitu, Gaga, hanya agak bingung aja. Kamu mau pakai konsep yang bagaimana, sampai rambutmu sehelai pun tidak ada?"

"Aku udah bilang kan mau mengubah penampilan diri. Aku mau lahir kembali sebagai manusia yang normal, manusia yang baik kepada semua orang."

Tasya mengangkat kedua sudut bibirnya membentuk bulan sabit seperti tersenyum tulus kepada pemuda dua puluh tahun itu. "Ketawa enggak dosa, 'kan?"

"Jadi, sekarang kamu mengejekku karena tampilan ini?"

"Enggak gitu juga Gaga, aku pikir penampilanmu, oke, dan tidak ada masalah yang berarti. Tapi, di sini yang mau aku kasih tahu kalau aku malu jalan sama kamu."

"Kenapa juga sih harus malu? selama kita enggak mencuri, kita enggak diwajibkan untuk malu. Tasya, kamu harus punya rasa percaya diri yang tinggi dong!"

"Ya, ini karena rasa percaya diriku semakin tinggi, jadi aku malu kalau jalan sama orang aneh kayak kamu gitu."

"Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Aku bangga dengan tampilan ini, kamu juga harus mendukungku karena ini adalah salah satu cara agar aku bisa bertemu kakakku dengan cepat."

Tasya bingung dengan apa yang baru saja Randu ucapkan. Sepertinya ada rahasia yang sengaja dia simpan dan tidak diberitahukan kepada siapapun. "Cara untuk bertemu kakakmu?"

"Sudahlah, tidak perlu dipikir, mungkin tadi aku silat lidah aja."

"Semoga saja tidak ada rahasia yang disembunyikan dariku, Ga."

"Yakin aku pasti akan cerita, Sya, tapi tidak sekarang. Kamu harus menunggu di waktu yang tepat."

"Semoga aku masih bisa masih bisa tetap menunggu," ucap Tasya sambil tersenyum tipis ke arah kawan barunya itu.

"Thanks, oh, iya, kamu mau enggak mengantarku pulang."

"Pulang ke mana sih, Ga?"

"Ke rumahku, mau ngambil barang yang masih tertinggal di rumah. Tolong, ya, antar aku."

"Aku enggak akan menolak, tapi kenapa juga sih barang itu harus diambil, penting banget, ya?"

"Itu adalah pesan dari almarhum ayah untuk kakakku."

Wajah Randu mendadak menjadi sendu. Dia seperti menyimpan rasa rindu yang teramat dalam untuk ayahnya yang telah tiada. Tanpa dapat terucap, namun sorot mata menggambarkan betapa kehilangannya. Betapa hancur hatinya ketika menyaksikan ayahnya pergi untuk selamanya dan tidak akan pernah bisa kembali lagi."

"Ayo Ga, aku antar kamu, jangan sedih lagi. Kalau kamu sedih, aku merasa bersalah."

"Aku enggak akan pernah sedih kalau di sampingmu. Aku beruntung dapat bertemu denganmu. Tuhan memang maha adil mempertemukan kita dengan orang-orang terbaik pilihan-Nya."

"Jangan berlebihan itu tidak baik, mungkin aku akan melakukan hal yang sama ke beberapa orang yang berbeda, jika berada di posisimu."

Randu tersenyum menatap gadis yang telah membantunya selama ini. Tidak pernah terbayang di pikiran Randu ketika harus pergi dari rumah dan menjadi buronan lalu ditampung oleh gadis asing yang super baik di hadapannya saat ini. Harapan Randu masih banyak. Dia memiliki mimpi dan tekad untuk mencari kakak kandung yang telah terpisah puluhan tahun darinya demi pesan sang ayah.

Tidak ada alasan untuk menyerah. Randu masih memiliki tekad yang kuat, sekalipun dalam pelarian, dia yakin dapat menyelesaikan misinya di waktu yang tepa. Tidak mengecewakan semua orang yang terlibat dalam misinya. Randu yakin semua usahanya akan terbayar dengan sempurna, dapat bertemu kakak tercintanya.

***

"Kita sudah sampai, wah, rumah kamu bagus banget, ya. Aku pikir kamu memang orang kaya."

"Yang kaya itu almarhum ayahku. Kalau aku sih, belum punya apa-apa," sahut Randu dengan nada lemah.

"Kamu enggak apa-apa, 'kan? kok mendadak wajahmu menjadi pucat banget, sih?"

Tasya mengkhawatirkan kondisi Pemuda itu memang. Terlihat seperti orang sakit, tidak pernah ada raut berseri yang ditampakkan. Terlebih setelah dia memotong habis rambutnya, benar-benar terlihat seperti seseorang yang sakit dan berjuang untuk hidupnya.

"Aku cuma merasa banyak sekali cita-cita, mimpi, dan harapan yang memenuhi langit rumah ini. Namun, tiba-tiba saja ayah pergi untuk selamanya. Aku pikir ini semua masih mimpi dan aku bisa terbangun ketika aku masuk rumah itu."

"Apa susahnya sih buat masuk rumah? Emang rumahnya itu udah milik orang lain?"

"Rumah itu sekarang milik ibu tiriku. Dia bisa tinggal sesuka hati, aku cukup kecewa dengan sikapnya setelah ayah meninggal."

"Aku pikir pasti dia ibu tiri yang kejam dan serakah. Aku cuma nebak aja deh."

"Benar, dia hanya sayang pada anaknya, tidak pernah menyayangiku di kali pertama ayah menikah, saat itu aku sudah tahu semuanya. Tapi, demi kebahagiaan ayah, aku diam."

"Aku salut banget deh sama kamu, Ga, berlapang dada untuk melihat ayahmu bahagia.

"Itu tujuan hidup, ingin melihat orang lain bahagia, walau harus menangis."

Randu berjalan menyusuri halaman rumah. Masuk selangkah demi selangkah menuju pintu utama. Sepertinya memang penghuni rumah itu tidak ada. Terlihat mobil kesayangan mama tirinya tidak terparkir di garasi, menandakan jika penghuni rumah sedang pergi.

Tanpa ragu Randu menuju ke halaman belakang rumah. Ada jendela cukup besar dan Randu mulai memicingkan mata untuk melihat area dalam. Ternyata jendela itu milik kamar Randu yang sudah lama tidak dia tepati.

"Kamu yakin kamu bisa aman masuk lewat jendela itu, berasa kayak maling gitu deh?"

"Sya, aku bukan maling. Kenapa harus malu, lagi pula ini kan rumahku, hanya saja mama tiriku dan kakak tiri yang bisa tinggal."

"Kamu hati-hati, Ga, aku tunggu di sini. Kalau aku tepuk tiga kali berarti penghuni rumah udah mulai masuk halaman."

"Beres," sahut Randu dengan cepat lalu melancarkan niatnya. Dia naik ke memanjat dinding dan membuka jendela, naik ke atas dan melompat masuk ke kamarnya.

Randu sangat hafal setiap detailnya. Dia bisa masuk ke kamarnya. Randu dengan santai masuk ke dalam ruang-ruangan untuk mengambil wasiat peninggalan ayahnya yang ternyata ada di ruang kerja. Tidak luput surat-surat berharga milih ayahnya dia ambil, sebelum jatuh ke tangan Sofi dan semuanya akan hancur.

Tasya harap-harap cemas menunggu di halaman rumah. Dia memata-matai siapa yang nantinya akan datang dan segera memberitahu kawannya itu untuk mempercepat langkah kerjanya. Mereka memang tim yang kompak untuk saat ini.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top