1. Kenyaman

Setiap manusia memiliki kisahnya masing-masing. Entah itu indah atau sedih, bahkan kisah yang sulit untuk dijelaskan dengan kata. Keluarga adalah yang utama. Ikatan antara anak dan orang tua tidak akan pernah bisa terlepas dengan segala cara, sekalipun kematian yang akan memisahkan.

Seorang Ayah akan membanggakan anak lelakinya dan itu benar adanya. Si anak akan terlihat gagah di mata Ayahnya, sekalipun memiliki banyak kekurangan. Orang tua tidak akan pernah melihat itu, dan selalu melihat anaknya yang terbaik.

Hal ini yang selalu Pak Putra lakukan terhadap Randu, putranya. Dia menganggap jika putranya itu telah menjadi lelaki dewasa yang hebat. Nyatanya, Randu jauh dari kata hebat. Dia masih takut untuk berkelana, namun memiliki jiwa dan keinginan kuat untuk melihat Ayahnya selalu tersenyum.

"Kamu sedang apa, Ndu?"

"Ayah, aku pikir siapa,ya biasalah lagi mengerjakan tugas kuliah. Memang kenapa, Yah?"

"Kamu ada waktu, Ayah mau ngomong sesuatu, nih."

"Kalau untuk Ayah, waktuku tersedia banyak banget. Ayah mau ngomong apa, kayaknya serius banget?"

"Ke kamar Ayah, yuk, biar Ayah jelaskan di sana."

Randu mulai bingung dengan apa yang Ayahnya inginkan. Tidak seperti biasanya, lelaki lima puluh tahun itu mengajak Randu untuk berbicara hal rahasia di kamar pribadinya. Ayah dan anak ini berjalan menuju kamar yang akan menjadi tempat Pak Putro untuk menyampaikan suatu hal kepada Randu.

Tanpa mereka sadari, pembicaraan di ruang keluarga itu membuat Sofi sebagai nyonya rumah merasa ingin tahu, apa yang sebenarnya sedang mereka bicarakan. Lantaran suaminya itu menjadi sedikit aneh akhir-akhir ini. Dia tidak lagi terbuka seperti dulu, bahkan beberapa kali memergoki sering menemui kuasa hukum tanpa sepengetahuannya.

"Apa, sih, yang mereka bicarakan, selalu diam-diam lalu mereka anggap aku apa? walaupun aku hanya orang asing yang masuk dalam kehidupan mereka, tapi tidak sepantasnya diperlakukan seperti ini," gumam Sofi sambil berjalan mengikuti suami dan anak tirinya.

Pak Putra segera menutup pintu kamarnya sebelum Sofi dapat mengikutinya lebih jauh. Ternyata Pak Putro sudah mengetahui tabiat buruk istrinya yang suka mencari informasi dengan cara diam-diam. Dia tidak ingin pembicaraannya kali ini dengan putranya dapat diketahui oleh istrinya.

"Ayah kenapa sih, kok aneh gitu?"

"Biasa, Mamamu pasti dia ingin mengetahui apa yang kita bicarakan."

Randu belum memahami sepenuhnya apa yang Ayahnya maksud. "Ya wajar dong, Yah, dia kan istri Ayah, Mama sambungku, jadi juga harus tahu dong yang sebenarnya terjadi di antara kita."

"Nanti kamu juga tahu sendiri seperti apa Mama tirimu itu. Intinya Ayah mengajak kamu ke sini ingin mengatakan sesuatu."

"Ayah mau mengatakan apa?"

"Ayah pikir usia Ayah mungkin tidak akan lama lagi. Penyakit jantung ini semakin parah dan kita enggak tahu kapan Ayah akan pergi untuk selamanya."

Randu yang berdiri di samping Ayahnya segera memeluk pria paruh baya itu. Dia ingin menenangkan sang Ayah. Segala macam penyakit Randu yakini ada obatnya, bahkan epilepsi yang dia derita bisa berangsur membaik berkat Ayahnya.

"Aku enggak akan pernah membiarkan Ayah pergi secepat itu. Aku akan mencari obat terbaik, bahkan Ayah harus operasi agar bisa sembuh."

"Ayah tidak berharap banyak."

"Kenapa harus putus asa, ada aku yang akan selalu menggenggam tangan Ayah, ada aku yang selalu ingin melihat senyum Ayah, ada aku yang ketik terjatuh hanya Ayah yang ku cari. Apa Ayah tega ingin meninggalkanku?"

Pak Putro melepaskan pelukan putranya. Dia menatap Randu beberapa saat, dari sorot matanya terlihat ketulusan dan juga harapan yang besar untuk berbahagia bersama. Namun, feeling Pak Putro sangat kuat, jika hidupnya mungkin tidak akan bisa bertahan lama.

Di luar kamar, Sofi menempelkan satu daur telinganya di pintu kamar itu. Mendengarkan dengan saksama apa yang sedang suami dan anak itu bicarakan. Namun, tidak bertahan lama, ketika Mario tiba-tiba memukul pundak Mamanya dari belakang dan semua berantakan.

"Mama lagi apa, sih?"

Sofi membalikkan tubuhnya dengan wajah geram. Dia menatap putra semata wayangnya, Mario. "Kamu bisa lihat apa yang lagi Mama lakukan? nguping pembicaraan mereka, kok, bisa-bisanya sih, kamu tiba-tiba datang dan menghancurkan semuanya."

"Kenapa sih harus nguping, Ma, kan tinggal ketuk pintu, masuk, dan mendengarkan mereka berbicara."

"Ini anak ya, kalau pembagian otak pintar jangan datang terlambat. Jadi kayak gini, kan, sulit diajak berlogika."

"Tahu, ah, aku capek, lapar. Mama hari ini masak apa?"

"Kamu lihat di meja dapur ada apa. Makan aja seadanya," ucap Sofi dengan ketus lalu pergi meninggalkan sang putra.

"Tadi katanya mau nguping, sekarang malah pergi. Dasar emak-emak aneh!"

Suasana di dalam kamar mendadak menjadi sendu ketika Pak Putro mengutarakan keinginannya untuk bisa bertemu anak sulungnya. Tetapi, sepuluh tahun perceraian bukanlah hal yang mudah untuk menemukan anak tersebut. Terlalu sulit untuk hanya menjadi harapan.

"Ayah rindu Kakakmu, dengan kondisi Ayah yang seperti ini, kemungkinan kecil untuk bisa menjumpainya kembali."

"Ayah percaya sama aku, kalau nanti pasti ada jalan untuk Ayah bisa bertemu dengan dia. Aku juga merindukannya."

Tiba-tiba air mata menetes tajam tanpa mampu dihentikan. Pak Putra yang melihat Randu, lelaki hebatnya tengah meneteskan air mata, Pak Putro segera menghapusnya. "Jangan terlalu sering menangis, lelaki harus kuat!"

"Aku janji, enggak akan pernah mengecewakan Ayah."

***

"Saatnya makan malam! ini makanan spesial yang Mama buat karena Mario masuk BEM Universitas, ya, kan, sayang?"

"Selamat, ya, Mario, Ayah bangga dengan pencapaianmu. Jangan sombong, tetap berbaik hati, dan selalu amanah," pesan Pak Putro memberikan petuah untuk Mario.

"Selamat, ya, Kak, aku ikut bangga Kakak bisa masuk BEM universitas di tahun ketiga Kakak kuliah."

"Jadi menurutmu, aku terlambat untuk masuk BEM universitas?" sahut Mario sepertinya tidak menyukai ucapan selamat dari adik sambungnya itu.

"Bukan gitu maksudnya, selama ini aku kira Kakak tidak begitu tertarik dengan dunia kampus atau bahkan BEM universitas, tapi ternyata Kakak malah jadi bagian dari mereka."

"Sudah, kalau di meja makan kita harus makan, bukan ngobrol tidak jelas seperti itu. Kalian bisa meneruskannya di luar meja makan. Oke, saatnya makan!"

Sofi menengahi kedua anaknya lantaran dia tidak mau jamuan makan malam itu berantakan karena perdebatan yang tidak kunjung usai. Sofi mengambilkan beberapa lauk untuk diletakkan di masing-masing piring kedua putranya dan suaminya. Terlihat seperti Ibu idaman, melayani sepenuh hati untuk keluarga dan juga suaminya.

Ti"Apa minyak ganjamu masih?" tanya Pak Putro kepada Randu yang sedang asyik menikmati sajian buatan Sofi.

"Untuk beberapa waktu kedepan aman, Yah," sahut Randu secepat mungkin sebelum semua mengetahui yang sebenarnya.

"Minyak ganja itu apa, ya?" tanya Mario dengan heran.

***




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top