Chapter 20 (END)
Moza tampak cemas, pasalnya esok adalah hari pernikahannya. Ia tak ingin menikah dengan pria lain, tapi di sisi lain ia ingin menebus kesalahannya pada kedua orang tuanya. Lagi pula ia tak ingin egois dengan anaknya. Mark pun tak kunjung datang. Bahkan memberi kabar pun tidak. Moza sangat kecewa. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa.
Tok! Tok! Tok!
Moza menghela napas panjang saat ketukan pintu terdengar dari luar kamarnya. "Masuk!"
Pintu tampak terbuka, terlihat Renata tersenyum manis padanya. Moza mencoba tersenyum agar terlihat baik-baik saja.
"Ibu, ada apa?" tanya Moza lembut.
"Nak, calon suamimu ada di bawah. Apa kamu tidak ingin bertemu?" tanya Renata. Moza tampak enggan.
"Bu aku sangat lelah, mungkin faktor kehamilanku yang sudah terbilang tua. Aku ingin istirahat, bisakah aku tidak bertemunya sekarang? Lagi pula besok hari pernikahan kami, biarkan aku bertemu dengannya besok. Apa boleh?" tutur Moza menjelaskan dengan lembut.
"Tentu sayang, ibu tak masalah," jawab Renata lembut yang dibalas senyuman dengan Moza. Renata menatap Moza yang saat ini sedang menatap keluar jendela.
"Boleh ibu bertanya, Nak?"
"Tentu, katakan Ibu."
"Apa kamu bahagia dengan pernikahan ini?" tanya Renata.
"Bu, bila aku bilang aku bahagia atas pernikahan ini, itu artinya aku berbohong. Tapi aku tak ingin egois. Anakku tidak hanya butuh seorang ibu, tapi juga butuh sesosok ayah, dia adalah pilihan ibu dan ayah. Pilihan kalian pasti yang terbaik untukku, untuk perasaan. Aku pasti akan bisa mencintainya bila sudah terbiasa. Orang bilang, cinta datang karena terbiasa," jawab Moza panjang lebar. Renata mengangguk seraya tersenyum pada Moza.
"Ibu percaya kamu bisa, Nak," ujar Renata. Renata menjeda ucapannya.
"Jadilah ibu dan istri yang baik untuk keluargamu, peranmu sangat penting dalam sebuah keluarga. Jadilah ibu yang kuat dan sabar," lanjut Renata. Moza memeluk Renata erat.
"Aku akan menjadi seorang ibu yang kuat," ucap Moza dalam pelukan Renata.
***
Keesokan harinya.
Hari ini semua orang tampak sibuk dengan tugas-nya masing-masing. Hari ini adalah hari pernikahan Moza, Namun, Moza tampak murung. Sesekali ia mena-tap keluar jendela. Ia berharap Mark datang hari ini, dan mengabaikan pernikahannya. Tetapi harapan tinggallah harapan. Kenyataan tidak sesuai ekspetasi. Moza meng- hela nafas panjang
Tok Tok Tok
Ketukan pintu memecahkan lamunannya. Moza menoleh ke asal suara. Tampak Lexi dengan berpakaian tuxedonya. Moza tercengang melihat keberadaan Lexi. "Lexi?!"
"Boleh aku masuk, Nona?" tanya Lexi disertai kekehan kecil.
"Masuklah tamu tak diundang!" jawab Moza. Lexi pun masuk dan duduk di hadapan Moza.
"Kau tampak cantik Moza," puji Lexi.
"Terima kasih Lexi. Apakah ini pujian?" tanya Moza
Seraya tersenyum. "Tentu." Moza tertawa. Begitu pun dengan Lexi. Lexi memandang perut Moza.
"Bagaimana kabar ponakanku?" tanya Lexi. Seketika tawa Moza terhenti. Wajahnya kembali murung, Lexi yang menyadari itu tampak tak enak hati.
"Maaf," ujar Lexi.
"Tak apa, dia sehat. Sangat lincah, seperti pamannya," jawab Moza.
"Aku sudah bisa tebak. Kau tahu? Aku sangat bahagia hari ini, karena apa yang kau inginkan akan terwujud hari ini."
"Apa maksudmu?" tanya Moza tak mengerti.
"Kau akan tahu nanti, baiklah kakak ipar. Aku harus pergi, aku tak ingin calon suamimu mengira bahwa aku akan menculik pengantin wanitanya," ujar Lexi dan pergi meninggalkan Moza yang masih kebingungan.
"Kakak ipar? Apa maksudnya? Apa ia tidak tahu bahwa aku menikah dengan orang lain, bukan dengan kakaknya."
***
Moza tersenyum ringan saat tangannya digenggam dengan Philip
"Kau siap?" tanya Philip. Moza mengangguk, pintu terbuka menampakkan latar yang sudah terhias cantik dengan nuansa putih. Para tamu menatap kedatangan Moza dan Philip. Moza menundukkan pandangannya. Ia masih berharap Mark datang, tapi sampai saat ini ia belum bertemu dengan Mark. Philip melepas genggaman tangannya, tetapi Moza masih setia menunduk. Kemudian sebuah tangan lain menggenggam tangan Moza, menggantikan tangan Philip.
"Jaga putriku baik-baik," pesan Philip pada pria itu.
"Aku berjanji," jawab pria itu, sontak Moza menegakkan kepalanya. Hal yang tak terduga, Mark telah berdiri di hadapannya. Dengan tuxedo putih berwarna sama dengan gaun Moza. Seketika air mata Moza jatuh. Ini bagaikan mimpi, calon suaminya tak lain adalah Mark. Mark menghapus air mata Moza. Ia tersenyum pada Moza. Seraya berkata.
"Aku telah berjanji padamu, Moza, dan aku harus menepati itu. Tidak ada yang mampu melarangku untuk jauh darimu, meskipun itu orang tuamu atau pun ayahku. Kamu adalah milikku, Moza, jadi tak ada satu orang pun yang boleh memilikimu selain aku," jeda sesaat. "Termasuk Lexi sekalipun." Moza tersenyum bahagia. Hingga akhirnya janji pernikahan terucap sudah dari bibir mereka masing-masing.
Setelah mengucap janji, tinggallah resepsi pernikahan mereka. Moza dan Mark tampak menikmati pestanya.
"Aku masih tidak percaya, bahwa kita menikah juga," ujar Moza kepada Mark.
"Ya, ini seperti mimpi indah."
"Tapi, ke mana saja kau selama ini?" tanya Moza merajuk.
"Kau tidak bilang padaku bila ayahmu memiliki peternakan sapi di Texas."
"Apa itu penting?"
"Ya, karena bila kamu bilang, aku bisa berlatih berternak sapi terlebih dahulu."
"Maksudmu?"
"Kau tahu? Seminggu terakhir ini aku berada di Texas untuk mengurus sapi-sapi milik ayahmu."
"Untuk apa?"
"Itu tantangan dari ayah, Moza. Aku harus mengurus 150 ekor Sapi sendiri. Aku harus memeras susu dengan tanganku sendiri, aku harus memberi makan dan aku harus memasukkan mereka ke kandang, belum lagi aku harus membersihkan kandang mereka."
"Kau menyesal?"
"Tidak itu demimu, dan kau tahu? Itu sangat luar biasa, aku memiliki pengalaman baru dalam hidupku. Aku sangat senang, di sana aku merasakan hidup yang sangat sederhana. Dan itu bisa membuatku bahagia," cerita Mark. Moza tersenyum mendengar cerita Mark.
***
Bali, Indonesia.
Di sinilah mereka saat ini, Bali, untuk berbulan madu, awalnya Mark sempat menolak untuk berbulan madu di Bali, mengingat Moza sudah bulannya, tapi Moza terus merengek sampai akhirnya Mark mengalah, dengan satu syarat mereka harus mengikut sertakan seorang Dokter kandungan untuk berjaga-jaga bila Moza tiba-tiba merasa mulas. Moza tampak menikmati suasana pantai sore itu. Sesekali ia merentangkan tangannya untuk menghirup udara khas pantai. Sampai sebuah tangan melingkari perutnya yang membuncit. Moza tidak terkejut dengan itu, siapa lagi kalau bukan Mark yang melakukannya. Sesekali Mark mencium pucuk kepala Moza yang hanya sebatas dadanya. Mengelus lembut perut Moza. Seraya mencium ceruk leher Moza. Moza memukul tangan Mark pelan.
"Di sini banyak orang Mark," ujar Moza seraya melihat sekitar.
"Biarkan saja, yang penting aku mencium istriku sendiri," ujar Mark enteng lalu kembali menciumi Moza. Moza terkekeh.
"Mark geli." Dengan nada merajuk.
"Ah, lihat apa yang kamu lakukan, setiap aku mendengar suaramu yang sedang merajuk membuatku bergairah, apa bisa kita melakukan itu sekarang?" tanya Mark penuh harap.
"Tidak! Itu tidak boleh," jawab Moza berbohong. Ayolah, Moza, aku tahu itu tidak benar." rengek Mark. Namun Moza tetap menolak.
"Kau menolakku?" tanya Mark. Moza mengangguk. Sesaat kemudian Moza merasakan tubuhnya melayang, Mark telah menggendongnya ala bridal style. Moza hendak menolak, tetapi Mark telah membawanya menuju villa mereka yang letaknya tak jauh dari tempat mereka berada sekarang. Mark mendudukkan Moza di ranjang mereka.
Moza bisa kamu tutup matamu?"
"Tentu, kalau aku tidak bisa menutupnya bagaimana aku bisa tidur?" jawab Moza polos.
"Oh Tuhan. Aku lupa bahwa aku memiliki istri yang terlalu pintar," ujar Mark.
"Mark, apa itu pujian?" tanya Moza mendelik ke arah Mark.
"Aku sedang memujimu, sayang," jawab Moza dengan menampilkan giginya.
Ayolah, Moza tutup matamu."
"Baiklah." Moza pun menutup matanya. Sesuatu melingkari lehernya.
Sekarang buka matamu!" titah Mark. Moza pun membuka matanya.
Moza memegang lehernya, sebuah kalung sederhana dengan liontin dua lingkaran yang saling menyatu
Anggap saja dua lingkaran ini kita yang tak dapat dipisahkan," terang Mark pada Moza, Moza pun tersenyum, mereka saling memandang, dan mendekat menghapus jarak di antaranya.
Sampai akhirnya bibir mereka saling menyatu, dan saling melumat satu sama lain. Tapi tak alam dari itu, Moza melepaskan ciumannya, Mark mengernyit bingung. Tetapi ekspresi Moza seakan menahan sakit mem-buat Mark khawatir.
"Mark, sakit!" ujar Moza seraya mencengkeram tangan Mark kuat. Mark yang merasa bingung dan cemas, langsung menghubunginya seseorang.
"Cepat ke kamarku, istriku akan melahirkan," ujar Mark lalu memutuskan panggilan sepihak.
***
Di Rumah Sakit.
Mark tampak khawatir, ia merasa tidak tenang, sampai seorang suster keluar dari ruangan isolasi.
"Tuan, silakan masuk. Istri Anda membutuhkanmu," ujar sang suster. Mark pun segera masuk.
Di dalam ruangan. Mark begitu tersiksa melihat perjuangan Moza yang sangat besar untuk melahirkan buah hatinya. Rasa sakit dan mulas bercampur menjadi satu, keringat dingin mengucur deras dari dahinya.
Sesekali tangan dan rambut Mark menjadi sasaran Moza. Moza menarik tangan dan rambut Mark bersamaan. Mark pasrah, biarkan tangan dan rambutnya terluka dan rontok, asalkan Moza bisa melahirkan dengan lancar dan normal. Genggaman erat tangan Moza pada tangan Mark membuktikan betapa sulitnya melahirkan. Sampai akhirnya suara tangisan itu ter-dengar, suara yang begitu merdu bagi Mark juga Moza. Mark bernafas lega, begitu pula dengan Moza yang merasa kelelahan.
"Selamat Tuan, Nyonya. Anak kalian laki-laki," ujar dokter seraya menyerahkan bayi itu ke Moza. Tangisan itu seketika hilang, saat ia mengisap ASI-nya untuk pertama kali.
"Selamat datang di dunia, Sayang," bisik Moza. Mark berkaca-kaca, ia terharu dengan apa yang terjadi di hari ini. Tangan mungil itu menggenggam jari Mark erat.
"Siapa namanya?" tanya Moza.
"Mitchell Magard Vehilly," jawab Mark.
"Mitchell??? Nama yang bagus. Aku suka." Mark tersenyum penuh arti, kebahagiaan mereka kini telah lengkap. Mark mensyukuri apa yang Tuhan berikan padanya. Mark mencium kening Moza mesra.
"Terima kasih sayang, kau telah memberikan bayi yang tampan untukku," ujar Mark. Moza tersenyum lembut ke arah Mark.
****
The End
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top