Chapter 2
CHAPTER 2
Ide gilo apa yang sedang dipikirkan Mark saat ini. Entah, rencana apa yang telah Mark buat untuk Moza, tiba-tiba mengajak dinner pada malam ini. Apa Mark tahu bagaimana jantung Moza saat Mark mengajaknya untuk dinner? Seakan ingin loncat keluar karena mendengar ajakannya. Moza melirik jam tangannya, 30 menit lagi Mark akan menjemputnya.
Tok Tok Tok!
"Nona, ada tamu yang ingin bertemu dengan Anda," ucap wanita paruhbaya yang saat ini berdiri di depan pintu kamar Moza.
"Siapa? Apa kamu mengenalnya? Secara kamu selalu tahu tamuku Lidia."
"Em... saya rasa tidak Nona. Dia baru saya lihat, dia seorang pria yang sangat tampan. Temuilah dia Nona, dia sudah menunggu." Lidia tersenyum ramah. Lidia adalah asisten rumah tangga di rumah Moza, wanita yang sudah Moza anggap seperti kakaknya sendiri.
ini.
za,
hu
uk
ar
gi
Mengingat tamunya, Moza bergegas keluar dari kamarnya. Moza menuruni anak tangga, dan menuju ruang utama rumahnya. Terlihat seorang pria sedang menatap bingkai besar foto keluarag Moza yang terpajang di ruang utama, pria itu menggunakan kemeja biru muda, dengan baju tangan yang di gulung sampai siku, rambut yang tertata rapi, pakaiannya yang terkesan santai tapi tetap memperlihatkan ketampanan-nya serta kewibawa- annya.
Moza diam sejenak sebelum ia benar-benar mengham- pirinya. Menormalkan jantungnya, tapi sepertinya sulit karena saat ini Mark sudah menyadari keberadaannya.
"Hai," sapa Mark pada Moza. Mark menghampiri Moza yang masih setia berdiri di tempat yang sama.
"Tuan, apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Moza. "Ayolah, harus berapa kali aku bilang jangan terlalu formal denganku, dan berhenti memanggilku dengan sebutan 'Tuan' itu sangat mengganggu telingaku!"
"Ah, iya maaf aku lupa."
"Apa kamu sudah siap?"
"Apa?" tanya Moza bingung.
"Apa kamu lupa malam ini kau akan makan malam denganku? Aku harap kamu tidak lupa itu."
"I-iya, tapi aku ...." Moza terdiam tak meneruskan ucapannya.
Mudah sekali dia mengajak seorang wanita untuk kencan, bahkan ini kencan pertamaku, tapi apa ini bisa disebut dengan kencan? batin Moza dalam hati.
"Ada apa? Kamu menatapku seakan aku adalah mangsamu," ucap Mark yang berhasil memecahkan lamunan Moza.
"Ti-tidak, baiklah aku bersiap dulu."
"Jadi kamu belum bersiap? Apa aku harus menunggu lagi?"
"Maaf...." lirih Moza.
"Baiklah. Tiga menit kau harus sudah selesai, ok!" Moza tersenyum kecut pada Mark dan berlalu pergi.
Mark tersenyum puas, ia yakin sebentar lagi Moza akan jatuh ke dalam pelukannya.
Setelah aku bisa menikmati tubuhnya malam ini, aku akan pergi meninggalkannya. Tidak! Itu terlalu cepat, aku akan berlama-lama memainkannya, batin Mark dengan senyum liciknya.
"Apa aku terlalu lama? Sehingga kamu menjadi senyum-senyum sendiri," tanya seorang gadis padanya, Mark sangat mengenal suara itu.
"Ah, tidak. Aku tahu wanita secantikmu tidak butuh waktu lama untuk ber-make up, karena kamu memang sudah cantik." Mark menoleh ke sumber suara dan melihat gadis di depannya, bibir mungil yang di poles lipstik dengan warna natural, rambut hitam yang dibiarkan tergerai panjang menambahkan nilai plus kecantikannya. Meskipun baju yang ia kenakan cukup tertutup, tapi tidak bisa menutupi lekuk tubuhnya yang seksi.
"Ayo, kita pergi sekarang!" Mark segera menuntun tangan Moza dan membawanya ke mobil Mark yang terparkir di latar rumah.
Setelah makan malam, Mark pun melajukan mobil- nya ke tempat tujuan selanjutnya. Moza yang duduk di samping Mark tampak bingung dengan arah jalan yang saat ini sedang ia lalui.
"Kita akan ke mana lagi Mark? ini bukan jalan menuju rumahku."
"Kau kira kita akan pulang?" ucap Mark balik bertanya.
"Bukannya kita akan pulang, kan?"
Mark hanya tersenyum tipis, mobil pun terhenti di depan gedung yang menjulang tinggi. Moza tahu itu adalah sebuah hotel berbintang. Tentu Moza tampak terkejut dengan hal ini.
"Mengapa kamu membawaku ke sini Mark?" tanya Moza cemas.
"Aku ingin bertemu dengan rekan kerjaku, aku hanya sebentar, aku janji." Moza pun hanya mengangguk lalu keluar dari mobil bersama dengan Mark menuju restoran yang ada di hotel itu.
"Sepertinya temanku belum datang, kita tunggu di sini saja."
"Ah, baiklah. Tapi setelah ini kita pulang ya, Mark, Aku takut ayah marah," ucap Moza pada Mark.
"Kau tenang saja, aku sudah minta izin pada ayahmu dan dia setuju," ujar Mark berbohong, tentu saja dia tidak akan bilang pada Philip, karena ia tidak ingin rencananya gagal.
"Moza aku akan ke toilet dulu. Tunggulah di sini!" ucap Mark lalu pergi.
Tiba-tiba seorang pelayan menghampiri Moza dengan membawa dua minuman.
"Apa ini? Saya tidak memesan apa pun," kata Moza memastikan kalau pelayan itu salah orang.
"Ini hanya Welcome Drink, silakan diminum, Nona!" ucap pelayan pria itu, setelah memastikan Moza telah meminum air yang dibawanya. Pelayan itu pun pergi lalu menghampiri seseorang yang sedari tadi memperhatikan wanita yang sedang meminum minuman yang sudah dicampur sesuatu di dalamnya.
"Sudah selesai Tuan, saya pastikan dia sudah menghabiskan minumannya," ucap pelayan pada Mark yang saat ini tersenyum puas.
"Bagus. Ini untukmu." Seraya memberi sebuah amplop coklat berisi uang yang cukup banyak sebagai bayaran untuk pelayan tersebut.
Mark pun menghampiri Moza yang saat ini sedang tampak terlihat lesu dan pucat.
"Ada apa Moza? Kamu baik-baik saja?" tanya Mark pada Moza.
"Sepertinya tidak Mark, kepalaku pusing, sangat pusing."
"Apa kamu mabuk?" tanya Mark dengan senyum yang mencurigakan.
"Tidak, tidak, aku tidak mabuk, aku hanya pusing. Tolong antar aku pulang Mark!"
"Tentu, sayang. Dengan senang hati," ucap Mark seraya tersenyum samar.
Tidak lama dari itu Mark pun memapah Moza untuk berdiri, tentu saja bukan untuk membawanya pulang, melainkan untuk menuju lantai di mana ada sebuah ruangan yang sudah ia pesan terlebih dahulu. Moza yang tampak sangat lemah itu pun tertidur pulas dalam gendongan Mark. Sesampai di dalam kamar, Mark segera menidurkan Moza di ranjang berukuran king size itu, tidak menunggu lama Mark pun menjalankan aksinya.
Pagi harinya, matahari tampak menyorotkan sinar- nya di balik jendela. Mark yang menyadari itu segera bangun dari tidurnya. Dia menoleh ke samping kanan-nya di mana Moza tidur, tapi tampak tak ada Moza di sana. Mark pun bergegas bangun dari tidurnya lalu mencari Moza ke segala penjuru ruangan. Namun, tidak ada tanda- tanda Moza di sana.
Hingga akhirnya Mark melihat satu hal yang sangat membuatnya merasa bersalah. Tampak sebuah darah segar pada seprei, seakan menyadarkan Mark, bahwa dia telah memperkosa Moza yang ternyata masih perawan. Ada rasa bangga tersendiri untuk Mark karena dialah orang pertama yang telah memperawani Moza. Namun, ada rasa bersalah, Mark kira Moza sama seperti wanita jalang yang biasa ia tiduri setiap malam, bahkan Mark berpikir tidak ada gadis yang masih perawan di zaman sekarang ini, tapi ternyata pikiran-nya salah.
Mark pun bergegas memakai bajunya, dan keluar dari kamar itu untuk mencari Moza. Namun, Moza tidak ada di mana pun, bahkan Mark pun mencari Moza di Café miliknya, tapi tetap sama Moza tak ada di sana, ia pun mendatangi rumah Moza.
"Maaf, Tuan dari semalam Nona Moza belum pulang," ucap Lidia pada Mark.
Mark pun semakin merasa bersalah pada Moza. Entah kenapa, ini baru pertama kalinya Mark merasa bersalah pada seorang wanita, sebenarnya ini kali pertama bagi Mark merebut keperawanan seorang gadis. Biasanya para wanita itulah yang menyerahkan dirinya dengan senang hati kepada Mark.
Mark segera mengambil benda pipih yang berada di samping bangku pengemudi dan segera menghubungi seseorang.
"Cepat cari tahu keberadaan wanita itu, segera kabari aku bila sudah tahu di mana dia," perintah Mark pada orang di seberang telepon, lalu mengakhiri pang-gilan secara sepihak.
Mark tampak sangat khawatir.
"Kamu di mana Moza? Maafkan aku!" ucap Mark tampak gelisah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top