Chapter 17
"Shit!" Mark mengumpat kesal, saat melihat rekaman CCTV yang ditunjukan dengan Ronald.
"Di rekaman itu terlihat jelas Nona Anna sedang menyirami sesuatu di anak tangga Tuan. Saat kami memeriksa tempat kejadian ternyata itu adalah minyak, dan itu penyebab jatuhnya Nona Moza," tutur Ronald menjelaskan. Mark tampak marah, rahangnya mengeras, tangannya terkepal kuat.
"Di mana dia saat ini?"
"Nona Anna menghilang setelah kejadian, Tuan."
"Menghilang?" Mark tersenyum miring. "Dia takut ternyata. Manusia bodoh. Dia kira bisa pergi di saat sudah mengibarkan bendera perang kepadaku. Dia tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa. Temui dia secepatnya, bawa dia ke hadapanku!" perintah Mark. Ronald menunduk hormat, kemudian pergi berlalu.
Mark menyenderkan tubuhnya di sandaran kursi kebesarannya, seraya menyalahkan rokok dan menyesapnya pelan lalu menghembuskan kepulan asapnya. Menghela nafas gusar, guratan kening sangat kentara di wajahnya yang tampan. Mark mengingat kembali ucapan Lexi di saat di rumah sakit.
"Sungguh Mark, aku berani bersumpah. Aku tidak pernah sekali pun tidur dengan Moza, bahkan untuk bergandengan tangan saja kami jarang. Aku memang mencintai Moza, tapi aku tidak pernah senekat itu melakukan hal yang buruk dengannya."
Dan apa yang Mark lihat selama di Indonesia memang benar, Mark selalu mengawasi Moza setiap harinya, meskipun ia bekerja namun anak buahnya selalu menyampaikan apa saja yang dilakukan Moza, termasuk apa saja yang dilakukan Moza dan Lexi bila bertemu, Lexi tidak pernah mampir ke rumah Moza, karena Moza selalu melarangnya, Mark tahu itu.
Alasannya selalu sama, "Apa jadinya bila tetangga lihat? Ini Indonesia bukan New York, di Indonesia dipantang bila wanita dan pria yang belum menikah berduaan dalam rumah." Mark sendiri yang mendengar sebelum Mark tahu kenyataannya bila Moza telah hamil.
Mark tersenyum simpul saat dia mengingat kem-bali bila Moza telah hamil anaknya. Mark semakin yakin bila Moza telah mengandung anaknya. Sangat aneh, Mark yang tidak pernah ingin terikat dengan wanita manapun, kini akan menjadi sorang ayah, lebih jelasnya lagi memiliki anak dari seorang wanita baik-baik, tentunya yang sangat Mark cintai itu. Ya, Mark sangat mencintai Moza, entah sejak kapan.
Drtt Drtt Drtt
Ponsel Mark bergetar. la segera membuka sebuah pesan yang tak lain dari adiknya, Lexi.
Alexi
Mark, Moza sudah sadar. Segeralah kemari! wajahnya terlihat sedih, aku sendiri tidak berhasil menghiburnya.
Mark
Aku akan segera ke sana.
Mark pun segera mematikan rokoknya dan membuangnya. Kemudian, mengambil permen mint di mangkuk kecil yang memang tersedia di meja kerjanya. Dengan gerakan cepat Mark mengambil kunci mobilnya yang berada di atas meja. Lalu berlari keluar.
Beberapa saat kemudian.
Mark telah sampai dengan tergopoh-gopoh Mark memasuki ruangan inap Moza saat ia mendapatkan infonya dari resepsionis di lobi rumah sakit. Tampak Lexi yang setia duduk di samping ranjang Moza, dengan Moza yang tertidur memunggungi Lexi.
Mark menghampiri Lexi pelan, agar Moza tidak mendengar suara langkahnya.
Mark menepuk pundak Lexi pelan, Lexi menoleh dengan ekspresi putus asa, Mark pun menyuruhnya untuk keluar dengan mengedikan dagunya. Lexi pun menurut lalu keluar. Mark terduduk di samping ranjang Moza.
"Moza," panggil Mark pelan. Moza menoleh. Wajah nya tersenyum manis kepada Mark. satu kata yang terlintas di pikiran Mark
Ada apa? Apa dia salah minum obat? batin Mark.
Mark tampak kaku melihat pemandangan yang luar biasa indah itu, menggaruk tengkuknya yang sedikit pun tidak gatal. Mark menjadi salah tingkah, Moza terkekeh geli melihat Mark. Moza sangat bahagia melihat Mark berada di sini.
Kamu merindukan ayahmu, Nak? Ibu juga merindukannya. Ayah sudah ada di sini sekarang, batin Moza.
Hormon kehamilan Moza sangat membuat keberuntungan untuk Mark. Kali ini Moza menghadap ke arah Mark seraya memandanginya. Mark semakin salah tingkah, rona merah di wajahnya sangat kentara. Moza tersenyum kecil melihat tingkah Mark.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Mark akhirnya. Alih-alih menjawab pertanyaan Mark Moza menyampaikan isi hatinya.
"Aku merindukanmu," gumam Moza. Matanya berkaca-kaca menahan tangis.
"Ap-apa?" Mark terkejut, tetapi Moza menangis, karena merasa dirinya telah dibentak dengan Mark.
"Apa aku tidak boleh merindukanmu?" ujar Moza sembari terisak.
"Ti-tidak, tidak bukan seperti itu. Baiklah maafkan aku!" ucap Mark penuh penyesalan dengan menghapus air mata Moza. Moza pun menghentikan tangisannya, kini hanya tersisa isakannya.
"Kau harus membelikan kerak telur," ujar Moza ketus.
"Karak telur?"
"Bukan karak telur, tapi kerak telur. Itu makanan terenak yang pernah aku makan."
"Aku baru mendengarnya. Apa itu jenis makanan baru?" tanya Mark bingung.
"Aku pernah makan itu di Indonesia. Belikan untukku, Mark."
"Indonesia? Itu terlalu jauh Moza," lirih Mark
"Jadi kamu tidak ingin membelikan apa yang aku mau?" Suara tangisan Moza hampir terdengar.
"Baiklah, baiklah aku akan menyuruh Ronald untuk membelikannya untukmu." Mencoba menenangkan.
"Tapi anak ini ingin ayahnya sendiri yang membelikannya," ujar Moza lirih tanpa sadar.
Sedangkan Mark yang mendengarnya terpaku di tempat, seakan-akan kupu-kupu beterbangan di perutnya. Rasa bahagia timbul dari hatinya, rasa penasarannya terjawab sudah semuanya. Lantas Moza tersenyum.
"Ayah akan membelikannya untukmu, Nak. Baik. baiklah di perut Ibu, jangan membuat ibumu sakit dan kesusahan sayang," ujar Mark seraya mengelus perut Moza lalu menciumnya. Kini Moza yang terpaku melihat atas tindakan lembut Mark padanya. Terkejut dan terpesona secara bersamaan, jantung Moza bagaikan bertalu dengan keras. Mark tersenyum manis kepada Moza.
"Aku mencari kerak telur dulu untukmu dan anak kita," ujar Mark seraya mencium kening Moza lembut, lalu keluar meninggalkan Moza sendirian di ruangannya.
"Anak kita. Kau dengar, Nak. Ayah juga menyayangimu," ujar Moza seraya mengelus perutnya lembut. Wajahnya yang cantik tampak terlihat berseri. Tanpa Moza sadari, Lexi telah memperhatikannya lewat pintu. Lexi menunduk kecewa, lalu pergi.
"Ah! ampun, tolong ini sakit!!" Teriakan seorang wanita mengisi ruangan gelap dan hening.
"Itu balasannya, untuk orang yang sudah menyakiti nona kami," ujar Dias, seraya memperhatikan para bodyguard yang sedang mencambuk Anna.
"Dias, " panggil seseorang dari belakang. Dias pun menoleh. Ternyata Mark yang sedang berdiri menjulang tinggi.
"Hentikan siksaannya!" perintah Mark kepada Dias. Anna terkulai lemas, sekujur tubuhnya terasa sangat sakit. Mark mendekati Anna, lalu ditariknya rambut Anna yang terlihat kusut karena siksaan dari para anak buah suruhan Mark.
"Bukan aku," ujar Anna membela diri.
"Kamu masih mengelak Anna? Kamu salah untuk bermain-main denganku." Geraman Mark berhasil membuat Anna bergidik ngeri.
"Tapi buk -"
"Kau hampir membunuh anakku," teriak Mark di hadapan Anna. Anna tampak terkejut mendengarnya.
"Tapi kamu bilang Moza ham -"
"Dia anakku. Moza sedang mengandung anakku."
"Kamu tahu? Apa akibatnya bila bermain-main denganku??" lanjut Mark. Namun seperti tidak memiliki tenaga, Anna hanya diam tak menjawab, darah dan air mata sudah menjadi satu di pipinya. Seakan mati rasa, perih pun tidak terasa sedikit pun saat ini.
"Aku menghentikan siksaanmu karena Moza sedang hamil dan aku tidak ingin terjadi sesuatu dengan anakku." Mark pun menghidupkan rokoknya, menyesap dan menghembuskan asapnya ke wajah Anna. Anna hanya memalingkan wajahnya. Mark mencengkeram dagu Anna lalu dihadapi ke arahnya.
"Tapi bukan berarti kau bisa bebas." Seraya menghempaskan wajah Anna kasar.
"Dias bawa dia ke kantor polisi. Aku tidak ingin mengotori tanganku dan tangan kalian untuk menghukumnya," ujar Mark seraya pergi, namun terhenti saat di dekat Dias.
"Pastikan hukuman terberat yang dia terima." Lalu melanjutkan langkahnya keluar ruangan.
***
Pukul 3 sore.
Sudah hampir 4 jam dari kepergian Mark tadi, tapi Mark belum juga kembali, Moza mendengus kesal.
"Lama sekali. Pasti sulit." Moza terdiam, ia mengumpat dirinya sendiri
"Bodoh, mana ada kerak telur di New York. Mencarinya pasti sangat sulit."
Tak lama pintu terbuka, tampak Mark membawa sekantung plastik yang Moza yakini adalah pesanannya. Matanya terpancar kebahagiaan. Mark datang dengan senyum.
"Kamu mendapatkannya?" tanya Moza.
"Tentu," ujar Mark seraya menyerahkan plastik itu kepada Moza. Moza menerima dengan suka cita. Matanya semakin berbinar saat ia melihat isinya sesuai deng-an apa yang ia harapkan.
"Wah, terima kasih, Mark," ucap Moza bahagia. "Di mana kamu mendapatkannya?" tanya Moza yang lang- sung menyantap makanan itu.
"Cukup sulit, aku harus mencari restoran yang di mana menyajikan makanan Indonesia. Untung saja chef di sana berkenan membuatkan kerak telur untukmu," ucap Mark menjelaskan.
"Bukan hanya untukku, tapi anak kita," ucap Moza merapat ucapan Mark. Mark tersipu malu. Moza menyebikan bibirnya. Lalu kembali melanjutkan makannya. Mark memperhatikan makan Moza yang seperti kelaparan.
"Apa Lezzi tidak mengurusmu dengan baik?" tanya Mark. Moza menatap Mark penuh tanya.
"Kau seperti orang yang 3 hari tidak makan," ujar Mark asal. Moza mengerucutkan bibirnya.
"Apa kamu ingin mencobanya? Ini sangat enak."
"Apa? Boleh?" tanya Mark.
"Tentu." Lalu mengarahkan sendok pada mulut Mark yang disambut senang hati dengan Mark.
"Enak?" tanya Moza. Mark mengangguk sebagai jawabannya.
"Tapi kamu harus membelinya lagi bila mengingin- kannya, karena aku tidak akan membagi lagi," ujar Moza seraya terkekeh geli. Mark memutar kedua bola matanya. Lalu tersenyum.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top