d u a

Pandangan Aru jatuh pada jalanan yang ia pijaki. Sepatu baru yang dibelikan oleh ibu kini kotor karena terkena darah. Aru semakin merasa aneh. Dingin yang tak wajar ini membuatnya meremas rok kuat-kuat. "Saya beneran mati ya, Om?"

Baskara menoleh. "Iya."

"Wah." Terdengar kekehan hambar. "Ternyata begini rasanya mati?" Hening sejenak. Aru menelan ludah kelu. "Kalau tahu saya mati hari ini, harusnya saya pamit sama orang tua saya tadi pagi sebelum ke sekolah."

Pria di samping Aru meremas genggaman payung. Ia makin menyerongkan benda itu ke Aru dan membiarkan setengah tubuhnya kebasahan. "Apa kamu sedih?"

Terlihat anggukan. "Saya ... gak nyangka." Aru menggeser payung Baskara. "Om aja yang pake. Saya udah gak ngerasain hujan lagi. Apa karena saya udah meninggal ya?"

Baskara terdiam. Ia menutup payungnya. Membiarkan dirinya basah dan mencuri perhatian orang-orang yang melihat—tapi tak mampu melihat Aru. "Kalau gitu kita gak usah pake payung aja."

"Eh?" Arunika menyemburkan tawa kecil. "Kalau Om sakit saya gak mau tanggung jawab loh!"

Baskara ikut tersenyum simpul.

Ketika tawa itu mereda, Aru menghela napas. Mata cokelatnya kembali berpendar gelisah ketika bertanya, "Omong-omong, kita mau ke mana?"

Baskara menahan napas. "Ke tempat yang lebih bagus dari ini."

"Apa itu artinya saya bakal masuk surga?"

"Kamu mau masuk ke sana?"

Aru tersenyum tipis. "Mau." Ia langsung menambahkan, "Tapi saya lebih pengin pulang ke rumah." Keduanya terus berjalan, membiarkan suara manis Arunika yang bergetar terdengar di sela-sela rintik hujan. "Gimana ya reaksinya Bapak sama Ibu kalau tau saya sudah meninggal?"

Baskara tak menjawab.

"Mereka pasti sedih kan?" Aru menggigit bibir bawahnya.

Pria yang telah basah kuyup itu membisu. Ia hanya mengangguk, membenarkan ucapan Aru. Hati orang tua mana yang tidak akan teriris saat mengetahui puteri mereka telah tiada lagi di dunia?

"Apa mereka bakal salahin Jian? Saya kan mati gara-gara selamatin Jian." Gadis itu merasa sesak. Perkataan Aru seakan mengonfirmasi alasan di balik kecelakaan yang telah merenggut nyawanya itu. Ia ternyata berusaha menyelamatkan temannya yang bernama Jian, gadis yang tadi menangis di tempat kejadian perkara tatkala tubuh Aru dibawa ke dalam ambulans.

"Kamu teman yang baik," ucap Baskara yang hanya disambut senyum kecut.

"Saya gak mau Jian merasa bersalah."

"Kenapa? Kamu gak benci teman kamu itu?"

Aru menggeleng pelan. "Saya gak mau benci sama dia. Jian itu teman yang baik. Dia selalu bantu saya belajar, nyemangatin saya, dan selalu ada saat saya butuh dia." Jeda sejenak. "Padahal saya udah janji untuk lulus SMA bareng sama dia. Kita juga janji buat belajar bareng-bareng biar lulus di kampus yang sama. Baru aja saya sama dia bayangin harus pakai baju apa pas wisuda nanti, terus mau kerja apa habis lulus nanti, tapi ... saya gak bisa nepatin janji itu lagi ya, Om?"

"Maaf, Aru." Baskara menunduk. Penyesalan adalah satu-satunya hal yang tersisa ketika manusia telah menemui ajalnya.

Aru menghela napas berat. Kedua matanya memanas. "Om Malaikat tau gak? Kadang-kadang ada hari di mana saya capek dan jenuh, tapi saya bersyukur saya punya orang tua yang perhatian dan teman-teman yang baik. Saya pikir saya bisa bertahan asalkan mereka ada di samping saya. Tapi saya gak pernah mengira saya bakal pergi sebelum buat mereka bahagia."

Baskara mengepalkan tangan. Di depannya, stasiun tak kasat mata yang menjadi penghubung alam atas telah menampakkan diri. Mereka sudah hampir sampai di tempat tujuan.

"Saya takut." Aru berhenti melangkah. "Saya ... masih banyak yang mau saya lakukan. Saya kangen sama Ibu, Bapak, Jian, dan teman-teman lain. Saya gak mau mereka sedih." Pertahanan gadis itu runtuh ketika ia menutup wajah dengan telapak tangan. Bahu kecilnya bergetar. Isakan itu terdengar begitu pilu.

Baskara berdiri tanpa suara. Tangannya meraih puncak kepala Aru yang basah dengan darah. Lirihan kembali terdengar, "Om Malaikat, apa nanti ... saya bisa ketemu mereka lagi?"

Senyuman teduh terbit di bibir Baskara. Bersamaan dengan itu, langit dan hujan mereda. Suara kereta yang terdengar samar memasuki pendengaran mereka. "Bisa."

Jawaban singkat itu membuat Aru menurunkan tangannya. Ia menatap penuh harap. "Beneran?"

"Iya." Perlahan, Baskara mengusap pipi Arunika yang basah. "Kamu orang yang hebat, Aru. Kamu ... udah melakukan hal terbaik selama kamu hidup. Saya yakin, Bapak dan Ibu kamu selalu merasa bangga sama kamu. Lalu Jian, dia bakal ingat kamu dalam waktu yang lama. Rasa sayang kamu akan dibalas sama besarnya oleh orang-orang yang peduli sama kamu." Isakan yang sempat terhenti kembali terdengar. Namun, kali ini isakan tersebut tak sepilu sebelumnya. "Aru, Tuhan sayang kamu. Maka dari itu, Dia mau cepat ketemu kamu. Di sana, semua usaha kamu dan segala yang kamu lakukan akan terbayar tuntas. Jadi, jangan sedih ya?"

Kepala Aru mengangguk walaupun dirinya masih tersedu. Baskara menggenggam tangan pucat Aru, menuntunnya ke dalam stasiun. Sampai akhirnya kereta yang akan ditumpangi gadis itu tiba, tangisannya masih belum terhenti juga.

Baskara kembali meraih puncak kepala gadis tersebut. "Aru, kereta kamu sudah tiba," ucapnya berat.

Aru mengangkat kepala. Di depannya sebuah kereta dengan warna begitu putih hingga rasanya menyilaukan mata telah berhenti. Pintunya terbuka lebar ketika Aru menatap ke dalam. Ia melirik Baskara. Berusaha memantapkan hati untuk benar-benar pergi. "Om Malaikat, selama saya hidup ... saya beneran ngelakuin semuanya dengan baik kan?"

Baskara mengangguk mantap. "Iya. Kamu sudah lakuin semua hal sekuat tenaga kamu. Sekarang kamu bisa istirahat, Aru."

Gadis itu pun melangkah menuju kereta. Meski ia tampak gugup, tapi langkah kecilnya tak berhenti. Ketika Aru telah masuk ke dalam kereta, ia berbalik melihat Baskara untuk terakhir kalinya melalui jendela. Kali ini sosok itu tersenyum tulus dengan air mata yang belum berhenti berderai di pipi. Ditatapnya Baskara seraya melambaikan tangan.

"Terima kasih," ucap Aru pada malaikat yang telah menemaninya itu disusul dengan kereta yang segera melesat meninggalkan stasiun. Di tempat yang sama, Baskara bergeming menatap kejauhan tanpa ekspresi. Perasaan kosong ini selalu ia rasakan setiap pekerjaannya selesai.

Berada di antara kematian dan kehidupan ialah keseharian Baskara sejak beberapa tahun silam. Sudah begitu banyak jiwa yang telah ia temui selama menjalani pekerjaannya ini. Mereka yang menceritakan sebuah cerita bahagia, kebencian, atau bahkan penyesalan. Namun, kuharap saat kelak kau bertemu dengan Baskara, kau bisa menceritakan kisah hidupmu sambil tersenyum manis lantas berkata, "Hidupku indah. Aku tidak memiliki penyesalan lagi."

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top