5. Kondangan
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.
~~~
Suara alarm membangunkan Veni yang masih asyik berkelana di alam mimpi. Wanita yang enggan membuka mata itu mengulurkan tangan ke nakas di samping kasur untuk mematikan alarm yang terus berteriak. Baru saja hendak melanjutkan tidur lagi, kini suara panggilan masuk di ponsel membuyarkan rencananya.
Shit! Siapa, sih pagi-pagi ganggu mimpi indah gue. Mas Glen udah mau nyatain cintanya dan mau nyium gue. Buyar semua. Veni mengomel dalam hati sambil membuka mata dengan malas-malasan.
Seketika mata Veni terbuka lebar saat melihat nama ibunya di layar ponsel. Tubuhnya langsung terduduk tegak di atas kasur.
"Asalamualikum, ibuku tercinta!" Wanita itu langsung menyapa dengan riang setelah menempelkan benda berbentuk persegi panjang di telinga.
"Ven, kamu jam segini baru bangun? Nggak telat ke kampus?"
"Veni udah bangun dari subuh, kok, Bu. Lagian ini hari Sabtu. Kuliah libur, Bu."
"Ibu itu udah telpon kamu sepuluh kali lebih. Udah bangun dari mana?"
Veni meringis karena kebohongannya terbaca oleh sang ibu. "Enggak, kok, Bu. Itu tadi Veni ke kamar mandi. Ini Ibu kenapa telpon pagi-pagi?" tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Ibu mau ngabari kalo nanti berangkat dari Jogja jam satu siang. Acara Bagas masih malem, kan?"
Veni menepuk keningnya. "Ya ampun, aku lupa kalo acara Kak Bagas hari ini. Ya udah nanti Veni jemput Ibu di bandara, ya."
"Iya. Ya udah. Ibu mau siap-siap dulu. Kamu ati-ati di sana."
Veni bergegas turun dari tempat tidur setelah mengakhiri pembicaraan dengan ibunya di telepon. Wanita yang masih memakai baju tidur itu mengambil handuk lalu masuk ke kamar mandi.
Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit dengan sesekali masih menguap, kini Veni sudah siap pergi ke kafe. Dia sudah memesan ojek online dan menunggu di depan indekos.
Tepat pukul sepuluh pagi, Veni tiba di Er Cafe. Wanita itu langsung menebar senyum kepada seluruh pegawai yang mulai bersiap untuk membuka kafe.
Wanita itu tadi melihat di depan kafe sudah ada beberapa anak muda yang menunggu untuk masuk. Seperti prediksinya jika kafe akan rame setelah posting-an yang dibuat oleh Raka. Dia harus meyakinkan Glen lagi untuk menerima temannya itu bekerja paruh waktu di kafe.
"Eh, tumben lo ke sini pagi? Bukannya jadwal lo entar sore?" tanya seorang teman kerja.
"Iya, nih. Niatnya tadi mau tidur sampek siang di kos. Tapi, nyokap telpon. Akhirnya gue bangun dan mutusin buat langsung ke sini aja. Itung-itung bantuin kalian. Daripada gue bengong di kosan."
"Hem, ya udah. Lo siap-siap dulu, gih. Baru bantuin beres-beres."
"Oke. Oh, iya. Mas Glen mana? Belum dateng?"
"Ada, kok. Kayaknya lagi di ruangannya, deh."
"Oh, oke. Gue mau nyapa Mas Glen dulu. Dah!"
Veni berjalan menuju ruangan yang berada di samping dapur setelah meletakkan tas dan memakai celemek. Dia mengetuk pintu lalu masuk setelah dipersilakan oleh Glen.
"Mas Glen sibuk?"
"Enggak. Ini lagi nyiapin daftar bahan yang mau dibeli. Kenapa?"
Veni mendekat ke arah Glen yang duduk di balik meja kerja. "Mau nanya soal nerima Raka buat kerja di sini. Jadinya gimana? Itu tadi aku liat di depan udah ada yang nunggu kafe buka, loh. Ngaruh banget, kan postingan Raka waktu itu."
Glen meletakkan pulpen sebelum menjawab pertanyaan Veni. "Sebenernya, kafe belum butuh-butuh banget pegawai baru. Tapi nggak apa-apa, deh. Raka boleh gabung mulai Senin. Dan aku harap setelah Raka gabung beneran ngasih dampak positif buat kafe, ya."
Veni tersenyum lebar mendengar jawaban dari pemilik kafe tempatnya bekerja itu. "Yes! Makasih, Mas Glen. Aku kabari ke Raka. Siap, nanti aku bantuin juga, kok. Ya udah kalo gitu aku ke depan dulu bantu yang lain."
"Eh,Ven!" Glen memanggil wanita yang sudah berada di ambang pintu. "Hari ini ibu kamu jadi ke sini?"
"Oh, iya. Ibu berangkat jam satu siang dari Jogja katanya."
"Oke. Nanti aku anter jemput ibu kamu."
"Makasih, Mas Glen."
Pukul setengah dua siang Veni sudah bersiap untuk menjemput ibunya di bandara. Hari ini pengunjung kafe lebih rame dua kali lipat dari biasanya. Apalagi akhir pekan, para pelajar dan pegawai kantoran lebih memilih mengisi waktu libur mereka dengan menongkrong di kafe bersama teman atau pasangan.
"Udah siap? Berangkat sekarang?"
Veni menoleh ke kiri dan mendapati Glen sudah berdiri di sampingnya.
"Udah. Ibu tadi udah ngabari waktu take off."
Mereka menuju bandara untuk menjemput ibu Veni. Setelah itu, mereka langsung bersiap untuk menghadiri acara resepsi pernikahan Bagas dan Alesha.
Pukul tujuh malam, Glen menjemput Veni di indekos. Pria itu sempat terpesona melihat Veni begitu cantik dan anggun dengan gaun keemasan selutut. Ditambah dengan rambut yang digerai dengan dua kelabang kecil tepat di tengah kepala membuat wanita itu makin terlihat manis.
"Mas, mulutnya ditutup. Takut nanti ada nyamuk yang masuk," ucap Veni sambil menahan senyum.
Glen menggaruk tengkuk dan mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menutupi rasa malunya.
"Ibu sudah siap juga?"
"Udah, bentar lagi nyusul."
"Ayo berangkat. Ibu udah siap." Seorang wanita paruh baya yang tidak kalah cantik dengan putrinya itu berdiri di depan Veni.
"Tante. Makin cantik aja. Mari, Tan kita berangkat sekarang."
Glen membukakan pintu belakang mobil untuk ibu Veni.
Mereka tiba di hotel tempat acara resepsi dilangsungkan. Ballroom di lantai empat itu disulap menjadi ruangan pesta yang megah. Bunga-bunga cantik dan segar menghiasi hampir setiap sudut ruangan. Panggung kecil di depan ruangan dengan kedua mempelai yang sangat memesona membuat setiap tamu yang hadir merasa iri.
Ketiga tamu yang baru saja tiba itu langsung menuju panggung untuk memberikan selamat kepada Bagas dan Alesha.
"Tante, makasih udah nyempetin dateng ke sini." Bagas menyalami ibu Veni diikuti oleh Alesha.
"Harus, dong Nak Bagas. Masak iya Tante nggak dateng ke acara penting Nak Bagas. Selamat, ya. Kamu dapet istri cantik banget. Semoga kalian bahagia selalu. Diberkahi rumah tangganya."
"Aamiin." Kedua mempelai bersamaan dengan Glen dan Veni mengamini ucapan Ibu Veni itu.
Setelah cukup bercengkrama dengan pengantin, ketiga orang itu turun menuju meja prasmanan untuk mencicipi makanan yang disuguhkan.
"Kenapa, Mas Glen?" tanya Veni yang melihat Glen seperti sedang mencari seseorang.
"Enggak apa-apa."
"Nyari Mbak Aqila? Di sini kan udah ada aku, Mas. Aku kurang cantik?"
"Bukan. Kamu cantik, kok."
Jawaban Glen membuat Veni senyum-senyum sendiri.
"Terus, nyari siapa?"
"Itu tadi kok kayak Raka temen kamu. Tapi, ngapain dia di sini? Masak kenal sama Bagas atau Alesha?"
"Mana, sih, Mas?" Veni ikut celingukan. Udah, ah. Nggak usah aneh-aneh. Kita nikmati aja pestanya."
"Tapi, beneran itu tadi kayak Raka. Gerak-geriknya aneh. Kalo memang kenal sama Bagas kenapa harus buru-buru pergi waktu aku liat dia? Harusnya dia nyamperin kita, kan? Nyapa dulu gitu."
"Hus! Jangan mentang-mentang mantan detektif, apa-apa dicurigai. Mending kita makan daripada nyariin Raka."
Glen mengangguk meski masih berusaha mencari keberadaan pria yang menurutnya adalah Raka itu.
Jumlah kata: 1095
Bersambung
~~~
Cantik, kan, si Veni, Mas Glen?🤣🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top