3. Demi Apa?

▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.

~~~

Setelah menyelesaikan mata kuliah terakhir, Veni bergegas keluar dari kelas. Dia sudah tidak sabar untuk bertemu pujaan hati. Sehari kemarin wanita itu terpaksa mengambil libur karena jadwal kuliah dipindah sore sampai malam. Hari ini akan dia puas-puaskan memandangi wajah pria idaman hatinya itu.

"Eh, Ven. Lo mau ke mana, sih? Buru-buru amat tiap abis kelas."

Veni menghentikan langkah saat seorang teman sekelas menegurnya.

"Biasalah, gue harus ke kafe. Kerja part time gitu. Kalo telat, gue bisa dimarahin. Bosnya galak. Gue duluan, ya."

Veni terpaksa berbohong mengenai bosnya. Kalau tidak, bisa-bisa dia ditahan oleh temannya itu.

"Kita masih semester satu, kali, Ven. Ngapain lo udah ambil kerja part time segala? Lo nggak ikutan ekstra kampus aja?"

Veni tersenyum mendengar pertanyaan dari temannya itu. Ini bukan pertama kalinya dia mendapat pertanyaan seperti itu dari orang-orang yang mendengarnya kerja paruh waktu. Namun, pilihannya tidak akan berubah.

"Emang kita wajib ikut ekstra? Setau gue, intra aja tuh nggak wajib. Buat yang mau-mau aja. Mending gue isi waktu buat cari pengalaman kerja, kan?"

"Lo tuh emang aneh, ya. Anak-anak lain pada nikmatin jadi mahasiswa baru dengan nongkrong sana-sini, cari kenalan sana-sini, godain kakak tingkat. Intinya pada nyari koneksi di kampus. Nah, lo. Malah sibuk kerja part time."

Veni hanya meringis menanggapi perkataan temannya itu.

"Sayangnya, gue bukan anak-anak lain itu. Jadi, gue mau jalani hidup yang gue mau aja. Ya udah gue duluan, ya. Bye."

Veni langsung berbalik dan melanjutkan langkahnya untuk meninggalkan kampus.

Ketika melewati beberapa pria yang merupakan teman sekelasnya sedang duduk dan mengobrol sambil menghisap rokok, Veni menyapa mereka.

"Hai! Kalian mau ikut ke kafe lagi? Nongkrong sambil ngopi-ngopi, kan lebih enak. Tempatnya lebih adem daripada di sini."

"Paling bisa marketing-nya, ya," balas seorang pria yang berdiri mendekati Veni lalu menyentil pelan kening wanita itu.

"Aw! Sakit tau, Raka." Veni protes sambil mengusap keningnya yang terasa perih.

Pria yang bernama Raka itu mengusap kepala Veni seraya mengucapkan kata maaf. Kemudian, dia menoleh kepada teman-temannya. "Tapi, boleh juga, sih. Kita nongkrong di tempat Veni kerja aja, kali, ya."

Teman-teman yang lain mengangguk sambil mengangkat jempol lalu berdiri.

"Ya udah, lo bareng gue aja sekalian." Raka berbicara kepada Veni yang langsung tersenyum lebar.

"Makasih, loh. Dikasih tumpangan gratis. Kan, gue jadi enak. Eh, maksudnya nggak perlu ngeluarin ongkos gitu."

"Dasar, lo. Senengnya cari gratisan."

Veni hanya tertawa mendengar sindiran dari Raka. Kemudian, mereka berjalan bersama menuju parkiran motor.

Tiba di sana, Raka memakai helm dan tidak lupa memakaikan helm satu lagi untuk Veni.

"Lo sekalian ngojek apa gimana, Ka? Kok, bawa helm dua? Perasaan lo nggak ada pacar, deh."

"Sengaja sedia. Kali aja ada cewek cantik yang mau bareng gue kayak lo sekarang, kan."

Dibilang cantik oleh teman sekelasnya itu membuat Veni menunduk dengan pipi yang memerah.

Mereka tiba di Er Cafe sepuluh menit kemudian. Veni turun dari jok belakang dan mengembalikan helm yang telah dilepasnya kepada Raka. Saat hendak memasuki kafe, bertepatan dengan kedatangan Glen.

"Loh, Mas Glen kok baru dateng?" tanya Veni yang mendekat kepada Glen.

"Oh, tadi ada urusan sebentar. Ini baru balik. Kamu ngajak temen-temenmu lagi?" tanya Glen sambil melirik ke arah lima pria di belakang Veni.

Veni lebih mendekat dan sedikit berjinjit ke samping telinga Glen. "Iya, dong. Lumayan buat nambahin pemasukan kafe," bisiknya yang diakhiri dengan tawa.

"Ya udah, ajak masuk aja."

Glen membuka pintu kafe dan masuk lebih dulu. Veni yang mengekor di belakang bersiap mengangkat tangan untuk menahan pintu. Namun, wanita itu mengurungkannya karena Glen menahan pintu dan menunggu hingga Veni masuk.

Wanita yang menggerai rambutnya dengan menyelipkan dua kepangan kecil dari depan ke belakang itu menahan senyum sambil memukul udara pelan. Sepertinya, sepanjang sore itu Veni akan terus senyum-senyum sendiri mengingat perlakuan Glen kepadanya.

Veni melihat Glen yang langsung kembali ke balik meja barista. Pria itu menggulung lengan kemeja putihnya hingga siku lalu mengenakan celemek cokelat yang tergantung di dinding. Wanita itu sendiri segera mempersilakan teman-temannya duduk di meja kosong lalu dia pergi ke ruang ganti.

Semua berjalan seperti biasa. Veni mulai melayani pelanggan yang datang dan Glen sibuk meracik kopi. Hingga pukul enam lebih tiga puluh menit, tiga wanita datang dan langsung memesan di kasir.

Tiga wanita itu mengambil tempat duduk di meja yang berada di tengah ruangan. Mereka mengobrol sambil tertawa. Sesekali mereka melirik ke arah Veni.

"Tolong anter ke meja tiga cewek itu." Glen meminta Veni mengantarkan pesanan pelanggan.

"Siap, Masku Sayang."

Veni menarik napas lalu mengembuskannya sebelum memasang senyuman manis di wajah.

"Malem, Kak. Es kapucino, es cokelat, sama es matcha. Untuk kentang goreng sama roti bakarnya ditunggu, ya, Kak."

"Makasih," ucap salah satu wanita itu sambil melirik sinis ke arah Veni.

Veni yang sedikit tersinggung saat mendengarnya tetap mengangguk sopan dan tersenyum sebelum meninggalkan meja tersebut.

Baru kembali ke meja barista, temannya keluar dari dapur dengan membawa pesanan tiga wanita tadi.

"Ven, tolong sekalian anterin yang ini, ya. Makasih."

"Oke." Meski sebenarnya Veni sangat malas kembali ke meja itu, demi tanggung jawab sebagai pegawai, dia harus tetap pergi.

"Ini makanannya, ya, Kak. Selamat menikmati. Ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Oh, ini. Es kapucinonya pait banget. Tadi gue udah bilang minta dibikin manis."

"Baik, Kak. Saya ambilkan gula cair, ya, Kak."

"Eh, ganti, dong harusnya. Gue udah bayar lunas, loh."

Veni tetap tersenyum sambil menahan emosi. "Kalo gitu yang ini saya bawa, ya, Kak. Saya mintakan yang baru."

Veni risih dengan tatapan wanita yang protes dengan es kapucino itu.

"Astaga, dia cewek yang kapan hari itu bukan, sih, Mas Glen? Yang aku tegur itu, loh. Pantes aja dia dari tadi sinis sama aku."

"Cewek yang kamu tegur itu banyak, Ven. Mana aku inget."

"Dia baru banget, kok. Yang kapan hari itu. Yang minta nomer HP Mas Glen. Udahlah, nggak penting juga. Mending Mas Glen buatin yang manis banget kayak kolak sekalian."

"Kamu ini. Udah sana kerjain yang lain."

Veni kembali melayani pelanggan lain sambil menunggu es kapucino yang baru. Sesekali dia mampir ke meja Raka dan teman-temannya yang masih setia nongkrong di sana.

"Ven, udah jadi. Kamu aja atau minta tolong yang lain buat anter?" Glen memanggil Veni yang baru saja selesai mengantar makanan pesanan pelanggan.

"Nggak usah, Mas. Biar aku aja sekalian."

Veni membawa es kapucino itu ke meja tiga wanita tadi.

"Maaf, Kak. Ini es kapucinonya. Semoga tidak ada masalah lagi. Kalo gitu saya permisi. Selamat menikmati."

"Eh, tunggu. Kata siapa nggak ada masalah. Gue heran ya. Kenapa pesanan meja ini yang bermasalah terus? Ini minumannya nggak ada yang manis. Makanannya juga kurang garing. Sengaja atau gimana, sih?"

"Maaf, Kak. Untuk semua makanan dan minuman kami buat sesuai pesanan. Kalo memang kurang garing kenapa tadi nggak sekalian bilang waktu pesan, Kak? Untuk minumannya, barista kami pasti buat dengan takaran normal. Kalo memang kurang manis, Kakak bisa tambahkan sendiri gula cair yang sudah kami sediakan."

Veni menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Dia tau dengan jelas jika wanita di hadapannya itu sengaja mengusiknya.

"Tapi, gue udah bayar lunas semuanya, loh. Masak pelayanan di kafe ini kayak gini? Pegawainya nggak ramah banget."

Veni tersenyum. "Maaf kalo ucapan saya tadi menyinggung Kakak. Tapi, peraturannya memang gitu, Kak."

Wanita itu berdiri sambil menggebrak meja hingga tidak sengaja menyenggol gelas berisi es cokelat. Veni dengan sigap membungkuk untuk menyelamatkan gelas tersebut. Namun, terlambat dan justru bajunya yang terkena noda cokelat.

"Ups, bukan salah gue. Lagian jadi pegawai aja belagu. Sok-sokan nasehatin pelanggan."

Veni memejam untuk menekan emosinya. Dia menegakkan tubuh bermaksud untuk membalas perkataan wanita itu. Belum sempat membuka suara, kakinya dijegal hingga dia terjatuh.

"Sori."

Veni yakin perkataan maaf itu sama sekali tidak tulus. Dia hendak berdiri saat dua tangan terulur dari aisi yang berbeda. Wanita itu mendongak dan mendapati Glen serta Raka berdiri di hadapannya. Veni memegang tangan kedua pria itu lalu berdiri.

"Pegawai kayak gitu mending dipecat aja, deh. Nggak ramah."

"Sori. Gue lebih baik kehilangan satu pelanggan yang nggak tau etika daripada harus kehilangan pegawai paling cekatan yang gue punya. Pelanggan bisa dicari lagi. Tapi, pegawai cekatan dan loyal susah dicari."

Pelanggan wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah merah padam menahan marah sekaligus malu. Tanpa berkata-kata lagi, dia membawa dua temannya pergi dari sana.

Demi apa? Dua cowok ganteng nolongin gue. Dan Mas Glen, dia belain gue di depan umum. Gue lebih berharga daripada pelanggan kafe, katanya. Apakah ini pertanda baik? Mas Glen, aku padamu!

Jumlah kata: 1388

Bersambung

~~~

Gimana nggak meleleh, ya, Ven? Mas Glen baik banget.😍

Eh, ada Raka, loh, Ven. Nggak pengen pindah haluan gitu?🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top