2. Kerja Keras

▪︎ Happy reading
︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.

~~~

Waktu 24 jam bagi Glen hanya sekadar untuk menjalani rutinitas saja. Apalagi setelah berhenti dari pekerjaan sebelumnya dan memutuskan untuk membuka kafe. Hari-harinya hanya diisi dengan membuat kopi di balik meja barista dan melayani pelanggan yang datang.

Namun, hari yang membosankan itu sedikit berubah setelah Glen mengenal Bagas. Orang-orang terdekat Bagas menularkan energi positif untuk Glen. Pria itu jadi lebih ceria dan harinya penuh kebahagiaan.

"Mas Glen, jangan ngelamun terus, dong. Kopi buat meja delapan udah belom?"

Glen tersadar dari lamunan saat Veni menghampiri meja barista untuk menanyakan pesanan pelanggan.

"Eh, sori. Ini lagi dibuat. Bentar."

Glen segera meracik kopi pesanan pelanggan, sementara Veni menunggu sambil mengobrol dengan pegawai lainnya.

Sibuk meracik kopi, tiba-tiba seorang wanita datang ke hadapan Glen. Wanita itu memasang senyum termanisnya lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga.

"Mas, pesen es kopi gula aren satu, ya. Sama nomer HP sekalian. Nanti aku hubungin."

Belum sempat Glen membuka suara, Veni datang dengan memukulkan tangan ke meja dan mewakilinya untuk membalas perkataan wanita tadi.

"Kalo mau pesen itu di kasir, Mbak. Terus nomer HP barista kami nggak untuk dibagi-bagikan. Baristanya udah punya pacar dan pacarnya galak banget melebihi anjing galak di rumah gede yang ada di perempatan sana."

Wanita tadi sempat terpaku sambil memandangi Veni.

"Mbak, pindah ke kasir kalo mau pesen. Bukannya bengong di sini."

Veni membentak pelanggan wanita yang wajahnya mulai memerah itu.

"Duh, iya-iya. Galak banget, sih pegawai di sini. Untung aja baristanya cakep maksimal. Kalo nggak, udah pindah kafe, deh gue." Wanita yang masih sempat melirik ke arah Glen sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga lagi itu menggerutu saat pindah ke kasir.

"Heran, deh sama pengunjung cewek di sini. Udah diperingatin berkali-kali masih aja ngegodain Mas Glen. Masih cantikan gue ke mana-mana juga."

Glen tersenyum tipis mendengar Veni bicara. Dia mengelap pinggiran cangkir lalu memberikannya kepada wanita yang masih berbicara sendiri itu.

"Ven, pesanan meja nomer delapan."

"Oh?" Veni melihat cangkir di hadapannya. "Oke. Aku anter pesenan dulu, ya, Mas. Jangan kangen!"

Glen menggeleng-geleng melihat kelakuan pegawai sekaligus adik kesayangan Bagas itu. Sejak tiga bulan lalu, saat Veni bergabung dengan kafe sebagai pegawai paruh waktu, hidup Glen makin berwarna.

Wanita itu tidak segan-segan mengusir para pengunjung wanita yang berkerumun di depan meja barista untuk menggoda Glen. Awalnya, Glen merasa tidak enak kepada para penggemarnya itu, tetapi makin hari dia makin terbiasa dan menjadikan sikap Veni itu sebagai hiburan tersendiri.

Glem mencuci tangan lalu hendak melepas celemek yang dipakainya. Namun, kehadiran seorang wanita mengurungkan niatnya itu.

"Hai, Glen! Udah mau cabut?"

Mata Glen melebar dan seolah dapat memancarkan cahaya saat menatap wanita di hadapannya itu. Dia mengelap tangan yang basah tadi lalu mengulurkan sebelahnya sambil tersenyum.

"Apa kabar? Tumben ke sini? Sendirian aja?"

"Baik. Enggak, kok. Sama si Reza. Paling bentar lagi nyusul dia. Lo udah mau cabut? Masih jam delapan juga."

"Oh, enggak. Tadinya mau istirahat bentar. Tapi, karena lo di sini. Gue buatin pesenan lo dulu. Udah pesen?"

"Ih, baik banget. Udah pesen tadi di kasir. Aduh!"

"Eh, lo nggak apa-apa?"

"Enggak, santai aja. Biasa ini penyakit ibu hamil masuk trimester ketiga. Bayinya suka nendang. Jadi, kadang masih suka kaget."

Glen mengikuti arah pandang wanita di hadapannya itu. Ketika melihat perut buncit yang sedang diusap-usap oleh wanita itu, seketika Glen tertampar oleh kenyataan. Dia melupakan satu hal, wanita di hadapannya itu telah menikah dan sebentar lagi menjadi seorang ibu.

"Hai, Sayang. Kenapa? Kamu capek? Mau pulang aja?"

Seorang pria langsung berdiri sambil merangkul wanita itu dengan sebelah tangan.

"Nggak apa-apa, Sayang. Ini barusan cuma ketendang aja rasanya perutku."

Pria yang merupakan suami dari wanita itu bernapas lega mendengar penjelasan istrinya.

"Loh, Mbak Aqila, Mas Reza?" Veni yang kembali ke depan menyapa sepasang suami istri itu.

"Hai, Ven! Lo masih kerja di sini?" Balas Aqila.

"Iya, dong, Mbak. Janjian sama Kak Bagas?"

"Enggak. Gue cuma pengen jalan-jalan aja. Bosen di rumah mulu."

"Wah, udeh gede aja, nih. Bentar lagi lahiran, dong."

"Iya, nih. Doain, ya."

"Udah dapet tempat belum, nih? Mau gue anter sekalian?"

"Nggak usah. Biar gue sama Reza aja. Ya udah, gue sama Reza cari tempat dulu, ya."

"Siap."

Setelah kepergian Aqila dan Reza, Veni berjalan memutar untuk berada di samping Glen. Sementara pria itu masih terus memandangi punggung Aqila yang menjauh.

"Tenang, Mas Glen. Masih ada aku, kok. Aku bakal selalu ada buat Mas Glen," ucap Veni sambil mengusap pundak Glen.

"Eh, gimana?" Glen langsung menoleh menatap Veni.

"Aku suka sama Mas Glen. Itu yang harus Mas Glen inget. Aku balik kerja lagi, deh."

Veni bergegas kembali bekerja saat melihat salah satu pelanggan meninggalkan meja.

Glen masih tertegun di tempatnya. Meski bukan pertama kali mendengar pengakuan cinta dari Veni, tetap saja pria itu belum terbiasa dengan cara pegawainya yang terlalu berterus terang itu.

Aqila, sahabat dari calon istri Bagas itu telah mencuri hati Glen beberapa bulan lalu. Pria itu mengagumi Aqila yang mandiri, pekerja keras, dan setia kawan. Sayang, perasaannya hanya sepihak. Belum sempat mengutarakan perasaannya, Aqila sudah menjadi istri orang dan kini tengah menantikan kehadiran buah hati mereka.

Kini, Glen harus menghadapi wanita muda yang terang-terangan mengejar cintanya. Bukannya, dia tidak mau membuka hati lagi. Namun, untuk melupakan cinta sepihaknya saja dia belum berhasil. Bagaimana mungkin dia bisa memulai yang baru?

Setiap hari dia gunakan untuk bekerja keras agar bisa melupakan perasaannya kepada Aqila. Namun, tetap saja saat melihat orang yang bersangkutan berada di depan mata, dia tidak bisa mengabaikan perasaan yang masih tertuju kepada wanita itu.

Apa udah waktunya gue buka hati buat orang lain? Veni? Tapi, gue nggak yakin sama diri gue sendiri. Belum lagi masa lalu gue yang bisa kapan aja balik dan membahayakan orang-orang di sekitar gue. Gue belum siap sama semua itu. Dan Veni terlalu berharga buat gue. Glen dengan segala pikirannya.

Hidupnya yang jauh dari kata damai sebelum memutuskan untuk membuka kafe, masih terus membayang-bayangi. Pria itu hanya berusaha hidup normal seperti orang lain.

"Mas Glen, jangan ngelamun. Berapa kali aku harus negur Mas Glen hari ini?"

Glen tersenyum melihat Veni yang selalu ceria saat menatapnya.

Jumlah kata: 1.019 kata

Bersambung

~~~


Berat, ya, Mas Glen. Move on, dong. Ada adek Veni yang siap merangkul Mas Glen.😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top