16. Hari Itu
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen sama share, ya.
~~~
Beberapa hari terakhir Glen sibuk dengan urusan masa lalu dan orang misterius yang mengancamnya hingga sering meninggalkan kafe. Pria itu memercayakan bagian barista kepada Raka. Setelah mempelajari berkas-berkas kasus lima tahun yang lalu dan bantuan dari temannya di kepolisian, akhirnya dia bisa menemukan titik terang mengenai orang misterius tersebut. Namun, hingga saat ini dia belum mengantongi identitas dari orang itu.
"Mas Glen ke mana aja, sih belakangan ini? Sibuk mulu. Aku, kan jadi kangen," ucap Veni saat Glen baru memasuki kafe.
Glen tersenyum melihat wanita yang menggodanya itu. Rasanya, seperti sudah berbulan-bulan dia tidak mendengar rayuan dari wanita di hadapannya itu.
"Emang aku selama itu nggak dateng ke kafe?"
"Iya. Lama banget. Lagi ngurusin bisnis apa, sih sama Kak Bagas?"
Glen berjalan ke ruangannya dengan Veni yang terus mengekor. Dia sempat melihat Raka yang sibuk dengan laptop dan menyapa beberapa pegawai.
"Ada kejadian apa selama aku nggak ke kafe?" tanya Glen saat tiba di ruangan.
Veni nampak berpikir sebelum menjawab pertanyaan itu. "Nggak ada, sih. Tapi, lebih banyak pengunjung cewek yang dateng. Mereka dateng buat godain Raka. Pamor kamu mulai berkurang loh, Mas. Jangan lama-lama ninggalin meja barista. Nanti pesona kamu direbut sama Raka."
Glen tertawa mendengar penjelasan Veni. "Kamu ini ada-ada aja. Kamu ngomong gitu khawatir sama posisi aku atau cemburu ngeliat Raka dikerubungi sama cewek-cewek?"
Glen memundurkan kepala saat Veni tiba-tiba mendekat. Wanita itu menyipit menatapnya.
"Mas Glen cemburu ya karena aku ngomongin Raka? Iya, kan? Ngaku aja!"
Pria itu tersedak hingga terbatuk-batuk setelah mendengar kesimpulan yang dibuat oleh Veni. Wanita yang mengenakan dress ungu itu segera berjalan berputar untuk mendekat dan membantu Glen. Veni memberikan air yang berada di meja lalu menepuk-nepuk pelan punggung pria itu.
"Mas Glen nggak apa-apa?"
"Enggak-enggak. Aku nggak apa-apa. Lagian, kamu bisa aja ambil kesimpulan kayak gitu."
Veni berdiri tegak setelah melepas tangannya dari punggung Glen. "Ya kali aja, kan Mas Glen udah membuka hati buat aku."
"Kamu ini."
Glen hampir dibuat jantungan dua kali dalam sehari oleh wanita di hadapannya itu. Kini, Veni membungkuk menghadap Glen dan membuat wajah mereka amat dekat. Hanya tersisa beberapa senti saja sebelum hidung mereka bersentuhan.
"Emang aku kurang cantik?"
Glen menelan ludah susah payah sebelum berhasil mendorong wanita itu menjauh darinya.
"Cantik. Siapa yang bilang kalo kamu nggak cantik?"
Veni mengentakkan kaki. "Terus kenapa Mas Glen nggak bisa suka sama aku?"
Glen berdecak. "Kalopun aku suka sama kamu, kita nggak mungkin bisa sama-sama, Ven," ucapnya pelan.
"Hah? Gimana, Mas Glen?"
Pria itu berdiri dari kursi lalu berjalan mendahului Veni untuk keluar dari ruangan. "Udah, kita harus balik kerja lagi."
Veni memajukan bibir sambil mengentak-entakkan kaki sebelum mengikuti Glen. "Ih, selalu begitu."
Glen kembali ke posisinya sebagai barista sementara Veni langsung mengantar makanan ke meja pelanggan. Tidak lupa senyum manis selalu terukir di wajah.
Pria yang menggulung lengan kaus panjangnya hingga ke siku lalu memakai celemek cokelat itu mengambil beberapa gelas dan mulai meracik pesanan minuman dari para pengunjung.
"Masnya udah balik lagi. Kirain bakal ganti permanen baristanya."
Glen tersenyum menanggapi ucapan dari salah satu pengunjung wanita yang baru masuk itu.
Beberapa saat kemudian, seorang wanita datang ke meja barista dengan wajah pucat dan bibir kering. Wanita itu berjalan dengan sedikit terseok.
"Lo barista di sini?" tanya wanita itu.
"Iya. Ada yang bisa saya bantu, Mbak?" jawab Glen yang menghentikan aktivitasnya meracik minuman.
"Gue bakal tuntut lo dan kafe ini karena udah bikin gue keracunan!"
Perkataan wanita yang baru datang itu membuat Glen terkejut. Beberapa pengunjung yang berada di dekat meja barista mulai berbisik-bisik.
"Maksudnya gimana, ya?"
"Gue nggak mau tau. Kalo lo nggak mau tanggung jawab. Gue bakal bawa perkara ini ke media sosial. Biar orang-oramg di luar sana tau gimana kualitas kopi di kafe ini. Bener-bener buruk sampek bikin gue karacunan."
Veni berlari lalu berdiri di samping wanita itu. "Mbak, kita bisa omongin semuanya secara baik-baik. Mari kita ngobrol di dalam?" tawarnya kepada wanita yang makin pucat itu.
"Nggak. Gue bakal ngomong di sini biar yang lain tau. Gue udah bolak-balik ke kamar mandi selama dua hari. Padahal gue selalu jadi pelanggan setia di kafe ini. Tapi apa yang gue dapet? Gue malah keracunan kopi dari sini."
"Mbak, kita bisa ngomong di dalem aja."
Veni masih berusaha membujuk wanita itu.
"Gue nggak mau tau. Dia." Wanita itu menunjuk ke arah Glen. "Harus tanggung jawab."
Glen hanya bisa mematung di balik meja barista. Dia tidak bisa membalas perkataan wanita itu dan membiarkan Veni yang membujuk. Kepalanya terasa nyut-nyutan. Seperti ada bola besi yang berdentum keras di kepalanya.
**
Raka berdiri di hadapan kakaknya untuk menerima sebuah tamparan keras hingga membuat pria itu berlutut. Sebuah tamparan yang tidak hanya menyakitinya, melainkan juga membuat tangan wanita itu memerah. Kakak beradik itu menangis bersama untuk beberapa saat sebelum sang kakak mengeluarkan makian untuk Raka.
"Jadi cuma ini usaha yang lo bilang itu? Setelah beberapa bulan mengikuti dan menempel sama mereka?"
Raka berdiri sambil memegangi pipi kirinya yang berdenyut. "Gue udah pilih beberapa orang dengan pengikut yang jumlahnya ratusan ribu di media sosial. Itu bakal bawa pengaruh besar buat kafe dia, Kak. Kita tunggu aja."
"Lo pikir gue goblok sampek nggak ngerti ke mana arah tujuan lo? Kita bukan main-main, Ka. Kita mau balas dendam atas perbuatan dia sama keluarga kita. Kalo cuma ngancurin usaha yang baru aja dia rintis, nggak perlu bertahun-tahun buat kita mempersiapkan segalanya." Wanita itu berbalik membelakangi Raka sambil mendengkus keras.
"Kita tunggu beberapa hari lagi, Kak. Pasti dia bakal menyerah sama bisnisnya. Cuma itu satu-satunya yang dia punya sekarang."
Wanita yang menggelung tinggi rambutnya itu berbalik menghadap sang adik lagi seraya menarik kerah kemeja adiknya itu. "Kamu pura-pura nggak tau atau emang sengaja mau ngelindungi seseorang? Bukan bisnis baru yang paling berharga buat dia. Tapi, orang-orang yang sudah dia anggap seperti keluarga."
Raka mencengkeram tangan sang kakak dan berusaha perlahan melepas tangan tersebut dari kerah bajunya. "Setelah bisnisnya hancur, kita bisa secara terbuka minta dia buat ngakuin semua kesalahan yang udah diperbuatnya sama keluarga kita, Kak."
Wanita itu berjalan ke meja yang berada di tengah ruangan lalu menggeser semua barang yang berada di atas meja itu hingga terjatuh sambil berteriak.
"Sejak awal, rencana kita buat dia menderita, Ka. Buat dia merasakan apa yang pernah kita rasakan selama ini. Kenapa? Sejak cewek itu terlibat, lo jadi kacau. Gue udah bilang berkali-kali, jangan libatin perasaan!"
Raka mendekat lalu memeluk kakaknya dari belakang. "Tenang, Kak. Oke. Kita tetep sama rencana awal. Kapan gue harus lakuin rencana kita itu?"
"Lo nggak bakal mangkir lagi, kan?"
"Percaya sama gue, Kak. Gue nggak mau liat lo menderita lagi."
Raka menuntun wanita itu ke kursi panjang di dekat jendela. Kemudian, dia mengambil kotak P3K dari laci di meja samping kursi untuk membersihkan luka di tangan kakaknya.
"Lusa kita jalankan rencana awal."
Raka hanya mengangguk tanpa berkata apapun lagi. Pria itu fokus membersihkan darah yang mengalir dari tangan kanan sang kakak.
Jumlah kata: 1171
Bersambung
~~~
Makin pusing, dah Mas Glen. Satu masalah belum kelar, udah ada masalah baru.😔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top