15. Ada yang Aneh
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen sama share, ya.
~~~
Sudah dua hari berlalu sejak Veni mendengar pernyataan dari Raka. Namun, wanita itu masih tetap salah tingkah setiap bertemu Raka. Dia juga masih bingung dengan maksud pernyataan dari pria itu. Bukankah setiap perasaan butuh balasan? Tetapi, kenapa Raka tidak?
Pria itu masih tetap menawarkan untuk mengantar jemput Veni ke kampus. Tetap baik dan sama seperti biasanya. Hanya wanita itu yang merasa serba salah. Apakah Veni perlu mempertanyakan hatinya?
"Nggak bisa dibiarin ini. Kenapa gue canggung banget deket Raka? Dia bisa biasa aja, kok. Kenapa gue enggak?" Veni mengacak-acak rambutnya setelah menjawab telepon dari Raka.
Wanita yang masih berada di atas kasur dan berbalut selimut itu menendang-nendang udara lalu menutupi wajahnya dengan kain tebal tersebut. Kemudian, dia menyibak selimut dan beranjak dari kasur setelah menghela napas berat.
"Oke, gue akan hadapin dia seperti biasa. Semangat, Veni! Lo pasti bisa," ucap wanita itu untuk menyemangati dirinya sendiri.
Setelah menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit untuk membersihkan diri, Veni keluar dari kamar mandi lalu mengganti pakaian. Wanita itu duduk di depan meja rias sambil mengeringkan rambut. Kemudian, dia menyemprotkan parfum ke seluruh tubuh setelah merias wajah dan terakhir memoleskan lipstik warna pink ke bibir.
"Tunggu-tunggu! Kenapa gue dandan banget? Pakek keramas pula." Veni menghidu tubuhnya. "Ini lagi, wangi banget. Gue cuma mau ke kampus dijemput Raka. Bukan mau kencan sama Mas Glen. Helo, Veni! Lo nggak apa-apa?" Dia bertanya kepada diri sendiri di depan cermin.
"Oke. Lupakan. Gue emang tampil cantik tiap hari, kok. So, lets go!"
Wanita yang mengenakan kaus rajut merah di balik blazer putih itu memastikan penampilannya sekali lagi di depan cermin sebelum keluar dari kamar. Dia bergegas ke bawah setelah mendapat pesan dari Raka.
Tiba di bawah, Veni melihat Raka sudah menunggunya di atas motor. Wanita itu sempat mematung beberapa detik melihat penampilan pria yang sibuk dengan ponsel. Dia menggeleng untuk menyadarkan dirinya lalu memasang senyum manis seperti biasa.
"Langsung berangkat?" tanyanya setelah berada di samping Raka.
"Oke. Pake helm dulu."
Veni terkejut saat Raka memasangkan helm di kepalanya.
Kenapa pipi gue rasanya panas. Oh, no! Gue nggak boleh meleleh gini. Raka udah sering, kali masangin helm di kepala gue. Tapi, kenapa rasanya sekarang beda?
Veni menggeleng lagi agar tetap sadar.
"Lo nggak apa-apa? Kok muka lo merah?" tanya Raka.
"Hah?" Veni memegang pipinya. "Gue nggak apa-apa, kok."
"Beneran? Ya udah, kita jalan sekarang," ucap Raka setelah mendapat anggukan dari Veni.
Mereka tiba di kampus sepuluh menit kemudian. Veni berjalan lebih dulu ke kelas untuk menghindari interaksi dengan Raka. Wanita itu menjalani hari seperti biasa. Namun, sekeras apapun dia berusaha untuk melupakan pernyataan Raka, bayang-bayang wajah tertekan dari pria itu tidak bisa hilang dari pikirannya.
Satu setengah jam untuk satu mata kuliah bagi Veni rasanya seperti seharian. Dia ingin segera mengakhiri kuliahnya hari ini.
"Tenang, Ven! Bentar lagi kelar dan lo bisa ketemu Mas Glen di kafe. Pasti lo bakal lupa sama Raka," bisiknya kepada diri sendiri.
Veni bergegas meninggalkan kelas saat jam mata kuliah berakhir. Dia ingin segera pergi ke kafe untuk bertemu Glen dan menyadarkan otaknya.
"Veni, tunggu!" Raka mengejar hingga memegang lengan wanita itu. "Lo mau ke mana?" tanyanya saat Veni berbalik.
"Ke kafe."
"Kan, bisa bareng gue. Kenapa buru-buru banget?"
Veni menggigit bibir bawah sambil menunduk. "Gue bisa pergi sendiri. Kita ketemu di sana."
Raka menahan lengan wanita itu. "Ngapain? Mending bareng gue. Gue juga langsung ke sana, kok."
Veni pasrah saat Raka menggandengnya ke parkiran motor. Mereka tiba di kafe bertepatan dengan Glen yang hendak masuk. Hal itu langsung dimanfaatkan oleh Veni untuk menjauh dari Raka.
"Mas Glen baru dateng?" tanya Veni saat berada di samping Glen.
"Hai,Ven! Iya. Tadi abis ke luar bentar."
Mereka lanjut mengobrol sambil memasuki kafe tanpa menunggu Raka bergabung.
Veni ke ruang ganti untuk melepas blazer dan mengenakan celemek. Sementara itu, Glen masuk ke ruangannya.
Raka sudah bersiap dengan kamera di tangan saat Glen keluar dari ruangan. Veni langsung mengambil alih kasir untuk menggantikan Zoya.
"Gue balik dulu, ya."
"Hati-hati, Zoya."
Veni melambai kepada Zoya yang meninggalkan kafe. Dia beralih menatap Glen yang sudah siap pergi lagi.
"Mau ke mana, Mas Glen?"
"Ada urusan. Titip kafe, ya."
Veni memajukan bibir. "Sibuk banget belakangan ini. Ada urusan sama Kak Bagas?"
Glen mendekat untuk mengacak rambut Veni. "Biasa urusan lelaki."
"Iya, deh. Yang sok sibuk."
Veni tersenyum saat seorang pelanggan datang. Dia mencatat pesanan pelanggan tersebut sambil sesekali memperhatikan Glen yang mendekati Raka.
"Ka, tolong hendel barista dulu, ya. Gue ada urusan. Lo bisa fleksibel aja kan. Bikin konten sambil ngeracik minuman gitu?"
Raka menghentikan kegiatan memotretnya. "Siap, Mas. Gue ambil beberapa gambar dulu. Nanti kalo senggang baru ngedit."
"Oke, sip. Lo atur aja. Gue titip kafe sama Veni, ya. Gue tinggal dulu."
"Siap."
"Ven, aku pergi dulu."
"Ati-ati, Mas Glen." Veni fokus kepada pelanggan selanjutnya. "Mau pesen apa?"
Wanita itu sigap mencatat setiap pesanan pelanggan dan menerima bayaran langsung.
"Ini kembaliannya. Bisa ditunggu di meja nanti kami antar. Terima kasih." Veni memberikan struk dan uang kembalian kepada pelanggan.
"Ka, buatin pesenan." Wanita itu memanggil Raka yang masih memotret beberapa sudut kafe.
"Oke. Gue ke sana."
Raka menyimpan kameranya sebelum pergi ke balik meja barista. Pria itu memeriksa setiap pesanan sebelum membuatnya.
Veni meninggalkan meja kasir saat tidak ada pengunjung baru yang datang. Dia mengantarkan beberapa pesanan camilan yang sudah jadi ke meja pelanggan.
Saat kembali ke meja barista untuk mengambil minuman yang sudah dibuat, Veni melihat Raka terkejut akan kedatangannya. Wanita itu sempat mengerutkan kening, tetapi segera mengusir pikiran anehnya itu.
"Udah jadi?"
"Tinggal satu lagi."
"Ada apa di bawah tadi?"
"Ngambil sirup."
"Oh." Veni bernapas lega setelah mendengar jawaban Raka.
"Udah semua. Tolong anter, ya."
"Siap. Makasih."
Veni mengantar pesanan ke meja pelanggan.
"Ice palm sugar latte satu sama ice matcha satu. Silakan menikmati."
"Gue ngedit buat konten bentar," ucap Raka saat Veni kembali.
Wanita itu hanya mengangguk lalu meletakkan nampan di atas meja. Dia kembali ke meja kasir. Namun, sebelum itu dia ingin memastika sesuatu. Veni berjongkok di bawah meja barista. Dia membuka lemari di bawah sana.
Veni berdiri sambil memukul kepalanya sendiri. "Lo mikir apa, sih, Ven? Nggak ada apa-apa juga di sana."
Hingga pukul sembilan malam, tidak ada tanda-tanda Glen akan kembali ke kafe. Satu jam kemudian, Veni dan Raka serta dua pegawai lainnya bersih-bersih dan menutup kafe.
"Pulangnya bareng gue lagi aja."
"Makasih, Ka."
Tiba di depan indekos, Veni turun lalu menyerahkan helm kepasa Raka.
"Ehm, Ka. Soal waktu itu ...."
"Ven, sori kalo gue bikin lo serba salah. Pernyataan gue waktu itu cuma buat lo tau aja. Gue nggak perlu jawaban dari lo. Jadi, lo jangan ngerasa terbebani sama perasaan gue."
"Tapi, Ka."
Pria itu maju dan memeluk Veni. Mendapati dirinya secara tiba-tiba berpindah ke dalam pelukan seseorang, wanita itu hanya mematung.
"Maafin gue,Ven."
Veni segera mendorong Raka untuk menjauh. "Maaf untuk apa?"
Raka kembali menarik wanita itu ke dalam pelukan. "Maaf, untuk sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti." Pria itu melepas pelukannya dan mundur. "Gue balik dulu."
Veni masih belum bisa menguasai diri bahkan hingga Raka menghilang dari hadapannya.
"Maaf, untuk sesuatu yang mungkin akan terjadi nanti."
Kata-kata itu berputar di kepala Veni. Wanita itu benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran Raka.
Jumlah kata: 1200
Bersambung
~~~
Bingung ya, Ven. Mau marah tapi nggak tau kenapa. 🤔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top