14. Titik Terang
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen sama share, ya.
~~~
Setelah kepergian Veni dari rumah Bagas. Kedua pria sebaya itu melanjutkan perbincangan. Sementara itu, Alesha tetap berkutat di dapur.
Glen membuka kembali berkas-berkas yang sempat ditutup saat ada Veni. Pria berkaus biru lolos itu membuka obrolan.
"Menurut gue, kasus ini yang menghubungkan gue sama Veni dan orang misterius yang ngancem gue," ucap Glen sambil menunjuk sebuah berkas yang sudah usang di meja.
Bagas mengambil berkas tersebut lalu membacanya. Dia menempelkan telunjuk di dagu.
"Entar dulu, lo dapet dari mana berkas-berkas kasus ini?"
"Ada temen yang dulu kerja bareng gue. Gue minta tolong sama dia buat cariin berkas lama ini. Kebetulan dia masih di Polsek Kebayoran Lama. Makanya, berkas-berkas ini nggak bisa gue bawa lama-lama."
Bagas berdecak. "Lo ada-ada aja, ya. Terus ini gimana? Jadi maksud lo, Veni target balas dendam juga? Tapi, kenapa?"
Glen menghela napas berat. "Kalo emang apa ada hubungannya sama kasus yang pernah gue tanganin ini, bisa jadi Veni juga jadi target."
"Tapi apa hubungannya Veni sama kasus ini?"
"Ayah Veni saksi dalam kasus ini."
"Om Dodi? Kok bisa?"
"Gue baru inget kalo Om Dodi yang lo cari itu pernah jadi saksi dalam kasus yang gue tangani dulu. Waktu itu Veni masih SMP. Gue juga udah lupa."
Bagas bergegas mengecek berkas lain yang berhubungan dengan Dodi. "Lo ambil berkas kematian Om Dodi juga, nggak?"
Glen mengerutkan kening. "Kenapa? Lo curiga kalo ...."
"Mungkin aja ada hubungannya. Kalo dipikir-pikir, kepergian Veni sama ibunya dari Jakarta setelah kematian Om Dodi itu mencurigakan. Apalagi tadi Veni bilang kalo ada beberapa orang yang datengin mereka, kan?"
Glen mengambil cangkir kopi lalu meminumnya. Setelah itu, dia bersandar di sofa sambil melipat tangan di depan dada. Insting sebagai anggota reserse kriminal bangkit lagi dalam dirinya. Pria itu memajukan badan dan meminta Bagas mengikutinya.
"Kayaknya kita perlu tahu apa penyebab kematian Om Dodi."
"Lo mau nyelidikin ini? Bukannya lo bilang mau berhenti sepenuhnya dan hidup sebagai barista dengan damai?"
Bagas menjauhkan kepala sambil menyipit menatap Glen.
"Kalo cuma gue yang jadi target, nggak masalah. Tapi ini masalahnya orang-orang terdekat gue juga jadi target. Gue nggak bisa bikin Veni atau lo atau yang lain terluka gara-gara gue."
Kedua pria itu sama-sama menghela napas lalu bersandar di sofa. Mereka larut dalam pikiran masing-masing hingga suara Alesha dari meja makan menyadarkan dua pria itu.
"Singkirin dulu, deh itu kertas-kertas di meja. Kita makan dulu. Mas Bagas, ajak Glen makan."
"Iya, Sayang. Kita nyusul."
Glen menghentikan Bagas yang hendak berdiri dari sofa.
"Jangan kasih tau masalah ini sama Alesha ya. Gue nggak mau dia kepikiran," ucap Glen dengan berbisik.
"Lo tau sendiri gimana istri gue. Meski ceroboh gitu, dia punya radar kuat kalo gue nyembuiin sesuatu dari dia. Udah lo tenang aja. Alesha jadi urusan gue."
Meski ragu, akhirnya Glen mengangguk lalu mengikuti Bagas ke meja makan.
Di meja makan sudah tersedia masakan yang dibuat oleh Alesha. Ada capcai dan koloke kesukaan Bagas. Ada juga ayam goreng, tempe tepung, dan sayur bening. Tidak lupa sambal dan kerupuk untuk melengkapi makan siang mereka.
Ketiga orang itu menghabiskan makan siang dengan lahap. Awalnya, dua pria yang bertemu karena sebuah kasus itu makan dalam diam. Namun, Alesha yang seolah mengerti dengan kondisi dua pria tersebut mengajak berbincang hingga akhirnya ketiga orang itu larut dalam obrolan. Bahkan, Glen menambah satu porsi lagi makan siangnya.
Keesokan harinya, Glen mampir ke kafe sebelum pergi menemui tamannya yang bekerja sebagai polisi di Polsek Kebayoran Lama. Dia dan Bagas sepakat untuk mencari tahu mengenai kematian Dodi. Mungkin dengan begitu dia bisa menemukan pentunjuk tentang orang yang mengancamnya.
Glen yang hendak memasuki kafe bertepatan dengan kedatangan Raka. Mereka berjalan beriringan setelah saling menyapa.
"Tumben jam segini udah ke kafe?" tanya Glen saat mereka tiba di meja barista.
"Kuliah hari ini dibatalin, Mas. Jadi daripada nganggur mending part time aja."
"Lo ke sini sama Veni atau sendirian?"
"Jelas sama Veni. Mana mau dia ditinggal. Justru dia yang punya ide buat ke sini langsung setelah dapet kabar dari dosen."
"Terus mana tuh anak?"
"Paling di ruang ganti."
Glen mengangguk. "Oke. Kebetulan lo udah dateng. Gue minta tolong buat jadi barista lagi, ya. Gue ada urusan di luar. Nggak masalah, kan? Nggak ganggu kerjaan lo buat ngonten tentang kafe?"
"Santai, Mas. Urusan ngonten tetep bisa jalan. Gue bakal racik kopi paling enak buat pelanggan."
"Thanks, ya," ucap Glen sambil menepuk pundak Raka. "Gue ke ruangan dulu."
Raka mengangguk lalu berjalan ke balik meja barista setelah Glen pergi.
Glen membuka pintu ruangannya. Kemudian, dia masuk dan mengunci pintu dari dalam. Pria yang mengenakan jaket kulit hitam itu bergegas berjalan ke meja kerja lalu membuka satu-satunya laci yang terkunci. Ragu-ragu tangannya menyentuh sebuah berkas yang cukup usang. Setelah menimbang-nimbang dengan matang, tanpa ragu dia mengambil berkas tersebut, melipat, dan memasukkannya ke saku yang berada di bagian dalam jaket kulit.
Setelah memastikan semua aman, Glen keluar dari ruangannya. Dia melihat Veni telah mengenakan celemek di pinggang sedang mengobrol berasama Raka dan Zoya.
"Zoy, titip kafe ya. Gue ke luar dulu. Ka, Ven pergi dulu," pamitnya kepada ketifa orang tersebut.
"Loh, Mas Glen kok udah mau pergi aja? Aku baru bentar ketemu Mas Glen."
Glen menggeleng-geleng. "Aku ada urusan. Kamu baik-baik di sini. Inget, kalo pulang minta bareng sama Raka atau siapa pun. Pokoknya kamu nggak sendirian."
"Padahal pengennya dianter Mas Glen pulang." Veni berkata sambil memajukam bibir.
"Sori, hari ini nggak bisa. Besok-besok, ya."
Setelah menepuk pelan puncak kepala Veni, Glen melambai saat meninggalkan kafe.
Pria itu mengendarai mobilnya ke warung kopi yang berada di samping kantor Polsek Kebayoran Lama. Tiba di sana, dia segera menghubungi temannya.
"Glen!" sapa seorang pria gendut dengan melambaikan tangan. "Yok, ngopi-ngopi sambil ngobrol," sambungnya lagi sambil menuntun Glen ke dalam warung.
Mereka memilih meja di pojok belakang. Kebanyakan pelanggan dari warung itu adalah para polisi. Beruntung, hari ini polisi yang berkunjung bukan teman yang pernah Glen kenal sehingga pria itu tidak perlu menyapa mereka seperti yang dilakukan pria di sampingnya.
"Gimana kabar lo sekarang? Terakhir kali kita ketemu lo buru-buru banget sampek gue nggak sempet nanya kabar," tanya teman Glen setelah mereka duduk.
"Gue baik," balas Glen sambil mengeluarkan berkas-berkas yang sempat dipinjamnya. "Gue nepatin janji buat balikin berkas-berkas ini."
Pria yang mengenakan kaus hitam bertuliskan Reserse Kriminal di bagian belakang itu tertawa hingga perut buncitnya bergerak ke atas-bawah. "Lo masih sama kayak Glen yang gue kenal dulu. Langsung ke inti tanpa basa-basi."
Glen mendengkus. "Sori. Mengecawakan."
"Gue seneng banget waktu dapet telpon dari lo. Gila! Setelah tiga tahun lo pergi. Gue baru bisa denger suara lo lagi."
"Gue ke sini selain balikin berkas-berkas itu, gue juga mau minta bantuan lo, Dandi."
Pria yang bernama Dandi itu mengerutkan kening. "Bantuan apa? Lo bisa ceritain dulu ini masalah apa?"
Glen mengeluarkan berkas dari dalam saku jaket kulitnya. Kemudian, menyerahkan berkas tersebut kepada Dandi.
"Ini ... berkas kasus adek lo dulu?" Dandi terkejut setelah membuka berkas itu.
"Tolong lo periksa lagi kasus adek gue sama kasus yang ada di berkas-berkas itu," ucap Glen sambil menunjuk berkas-berkas yang baru saja dikembalikannya.
"Maksud lo, semua kasus ini berhubungan?"
Belum sempat Glen menjawab, ponselnya berbunyi yang menandakan ada notifikasi baru. Pria itu segera membuka ponsel. Satu pesan diterimanya dari nomor tidak dikenal.
Hari ini
Sibuk sekali rupanya.
Gimana rasanya difitnah dan harus kehilangan orang tersayang?
Haruskah hal itu terulang lagi?
Kehilangan orang tersayang.
Berengsek! umpat Glen dalam hati. Pria itu menoleh ke seluruh penjuru warung. Namun, tidak menemukan orang mencurigakan yang telah mengirim pesan kepadanya itu.
"Kenapa?" Dandi ikut memperhatikan sekeliling.
"Gue minta tolong banget sama lo. Lacak nomer ini." Glen menunjukkan pesan yang diterimanya. "Meski gue yakin itu nomer nggak terdaftar, tapi tolong banget cari apa pun yang lo bisa tentang nomer ini."
"Oke-oke. Gue bakal bantuin lo. Tapi ini ada apa?"
"Seseorang yang berhubungan dengan kasus yang pernah gue tanganin dulu sedang ngancem gue dan orang-orang terdekat gue. Gue harus dapetin orang itu sebelum sesuatu yang buruk terjadi."
Glen menghela napas berat lalu bersandar di kursi dengan sebelah tangan memegang kepala.
Jumlah kata: 1340
Bersambung
~~~
Makin pusinglah Mas Glen.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top