13. Pernyataan
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen, sama share, ya.
~~~
Hari Minggu adalah waktu yang tepat untuk bersantai dan melepas penat setelah selama satu pekan menjalani aktivitas. Namun, tidak begitu menurut Veni. Wanita yang mendapat jatah libur dari kafe itu justru bosan berdiam diri di indekos. Dia sudah bangun sejak pukul tujuh pagi dan sudah berpakaian rapi siap untuk pergi.
"Hem, ke mana ya enaknya libur gini? Mau ke kafe, tapi nggak enak Mas Glen. Ke mana, ya?"
Veni berbicara sendiri sambil membolak-balik ponselnya.
"Ah, gue tau!" serunya sambil menggulir layar ponsel.
Wanita yang mengenakan gaun biru muda selutut dengan motif bunga itu duduk di depan cermin untuk menambah riasannya. Dia hendak pergi ke rumah Bagas setelah menelepon dan diberitahu jika Glen berada di sana.
Dua puluh menit kemudian, Veni tiba di depan rumah Bagas. Dengan semangat empat lima, wanita yang memakai pita sebagai bandana di rambutnya itu menekan bel. Terdengar suara perempuan dari dalam yang berteriak "sebentar".
"Halo, Mbak Alesha!" sapanya saat seorang wanita cantik yang merupakan istri Bagas membuka pintu.
"Cepet amat? Udah ngebet pengen ketemu pujaan hati?" sindir pemilik rumah itu.
Veni meletakkan telunjuk di bibirnya sambil melongok ke dalam. "Jangan keras-keras, dong. Tadi, kan kita udah sepakat kalo gue nggak sengaja ketemu Mas Glen di sini."
"Oke-oke." Alesha memelankan suaranya sambil mengangkat tangan kanan membentuk huruf O dengan jari telunjuk dan jempol.
Veni berjalan beriringan dengan Alesha menuju ruang tengah. Dia sempat memperhatikan ruang tamu yang dilewatinya. Terdapat satu set sofa dan meja kayu di tengah untuk menyambut tamu yang datang, lemari yang berisi pajangan di pojokan ruangan, serta beberapa foto pernikahan Bagas dan Alesha menghiasi dinding di atas sofa. Mereka berjalan melewati pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah yang terbuat dari kayu.
"Coba liat siapa yang dateng?" Alesha menyela obrolan Bagas dan Glen.
Kedua pria sebaya itu menoleh bersama dan cukup terkejut melihat kehadiran Veni. Mereka segera membereskan berkas-berkas yang berada di meja. Kemudian, mereka menyapa wanita yang sudah dianggap seperti adik sendiri itu.
"Hai, Mas Glen! Kirain ada di kafe, taunya di sini," sapa Veni lalu beralih menatap berkas yang ditumpuk di meja. "Kayaknya lagi ngebahas hal penting, nih?" tanyanya.
"Oh, iya. Biasa soal kerjaan," jawab Glen sambil menepuk tempat kosong di sampingnya. "Duduk sini."
Dengan senang hati Veni menerima tawaran Glen untuk duduk di samping pria itu.
"Ya udah, kalian ngobrol aja. Aku siapin minum dulu buat Veni," sambung Alesha yang berdiri di samping Bagas.
"Makasih, Mbakku yang cantik."
Alesha meninggalkan ketiga orang itu menuju dapur yang berada di samping ruang tengah.
"Lagi ngobrolin kerjaan apaan, sih? Serius banget. Pas aku dateng pada diem-dieman," ucap Veni seraya hendak mengambil salah satu berkas yang ada di meja.
Dengan sigap, Glen segera menghentikan tangan Veni. Pria itu mencoba tersenyum sambil perlahan membawa tangan Veni menjauh dari meja.
"Serius? Segitu rahasianya sampek aku nggak boleh tau apa yang kalian obrolin?"
"Bukan gitu, Ven. Ini lebih ke ... agak sensitif pembahasannya." Bagas menanggapi pertanyaan dari Veni lalu menyeruput cangkir berisi kopi miliknya.
Veni menoleh menatap Glen untuk mengonfirmasi perkataan Bagas. Kemudian, wanita itu kembali menatap Bagas setelah mendapat anggukan dari Glen.
"Oke. Kalo gitu aku ke dapur aja bantuin Mbak Alesha. Kalian lanjutin lagi bahas kerjaannya."
"Ehm, Ven." Glen menahan tangan Veni yang hendak berdiri.
Bagas berusaha memberikan kode dengan matanya kepada Glen. Namun, Glen tidak memedulikan peringatan tersebut.
"Aku boleh tanya sesuatu nggak? Mungkin ini agak sensitif buat kamu."
Veni bergantian menatap dua pria itu. Seketika, suasana di antara mereka berubah menjadi serius.
"Boleh, kok. Mau tanya soal apa, Mas Glen?"
"Kamu bisa jelasin pertemuan pertama kita gimana?"
Veni nampak berpikir sejenak sambil memainkan rambut yang terurai ke depan. Dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan Glen. Pertemuan pertama mana yang dimaksud oleh pria itu?
"Pertemuan pertama yang buat kamu kenal aku." Glen menambahkan setelah melihat kebingunan di wajah Veni.
"Ah, itu sekitar lima tahun lalu. Waktu aku ke kantor polisi."
Glen dan Bagas saling memandang lalu mengangguk samar.
"Jadi, waktu kita ketemu tiga bulan lalu di kafeku itu, kamu udah tau siapa aku?"
Veni mengangguk mantap. "Aku seneng banget waktu ngeliat Mas Glen setelah sekian lama. Tapi sayangnya, Mas Glen nggak inget sama aku. Jadi, aku diem aja."
"Ah, jadi gitu. Sori, ya aku nggak inget sama kamu. Soalnya waktu pertama kali kita ketemu, kamu masih pakek seragam biru putih. Dan kita ketemu lagi waktu kamu udah mau kuliah. Jadi, aku nggak ngenalin kamu."
"Nggak apa-apa. Udah biasa. Kak Bagas juga sama waktu pertama ngeliat aku lagi. Dia juga nggak ngenalin aku."
"Gue juga yang kena," gumam Bagas.
"Nih, minum dulu, Ven." Alesha datang dengan membawa segelas es jeruk lalu meletakkannya di hadapan Veni. Dia ikut bergabung dan duduk di samping Bagas.
"Sori, nih Ven. Kalo boleh aku tau soal kematian ayah kamu itu gimana?" Glen bertanya lagi.
"Ayah? Waktu itu aku nggak begitu paham. Yang aku denger dari Ibu kalo Ayah kecelakaan dan meninggal. Tapi, beberapa hari setelah Ayah meninggal ada orang yang datengin rumah kami. Setelah itu, Ibu buru-buru jual rumah melalui agen properti dan bawa pergi ke Jogja."
"Jadi, itu sebabnya waktu aku balik ke Jakarta aku nggak bisa nemuin kamu sama ibu kamu?" tanya Bagas.
Veni mengangguk. "Aku nggak tau sebenernya ada apa karena aku nggak berani tanya sama Ibu. Keliatan banget Ibu ketakutan. Jadi, aku diem aja dan anggep semuanya baik-baik aja." Veni menoleh ke kiri untuk menatap Glen. "Emang ini ada apa? Ada hubungannya dengan kematian Ayah?"
"Enggak." Glen tersenyum agar tidak membuat Veni khawatir. "Kami cuma ngebahas beberapa hal yang berkaitan sama ayah kamu. Tapi, sekarang semuanya oke, kok."
"Ven, bantuin gue nyiapin makanan, yuk!" ajak Alesha setelah mendapat bisikan dari Bagas. "Biarin para lelaki ini ngebahas soal kerjaan mereka."
"Ah, oke Mbak." Veni berdiri mengikuti Alesha.
Wanita itu berjalan melewati sebuah pintu kaca yang menghubungkan ruang tengah dengan halaman belakang. Sekilas dia melihat rumput hijau dan beberapa tanaman menghiasi halaman belakang tersebut. Kemudian, pandangannya beralih ke dapur minimalis dengan cat serba putih itu.
Veni duduk di salah sati kursi depan meja dapur. Wanita itu memperhatikan Alesha yang sedang menyiapkan bahan masakan.
"Gue bantuin apaan, Mbak?"
"Ehm, lo ngupas-ngupas aja. Bisa, kan?"
"Oke. Kalo ngupas doang, sih gue masih bisa."
Belum sempat menyentuh sayuran yang akan dikupas, ponsel Veni berdering. Dia melihat nama orang yang meneleponnya lalu memberi isyarat kepada Alesha untuk menerima panggilan tersebut.
"Mbak, sori, ya. Gue mesti balik. Mau ketemu temen. Ada yang mau diomongin katanya. Nggak apa-apa, kan?" ucap Veni setelah mengakhiri panggilan.
"Loh, nggak makan dulu?"
"Kapan-kapan gue ke sini lagi buat numpang makan. Sekarang gue pergi dulu ya."
"Ya udah. Sekalian pamit sama Bagas dan Glen."
"Siap."
Veni menghampiri dua pria yang masih berbincang itu.
"Kak Bagas, gue balik dulu, ya. Mau ketemu temen."
"Nggak makan dulu?"
"Gampang nanti."
"Mau dianter?" tanya Glen.
"Nggak usah. Aku udah pesen ojek. Kalo gitu aku duluan, ya."
Veni keluar dari rumah Bagas dan langsung pergi saat ojek online yang dipesannya datang. Wanita itu tiba di kafe lima belas menit kemudian.
Veni memasuki kafe lalu mencari-cari keberadaan Raka. Dia menghampiri pria yang melambai kepadanya itu.
Wanita yang baru saja tiba di meja itu terkejut saat tiba-tiba Raka memeluknya.
"Ka, lepasin, dong. Malu tau diliatin orang. Kayak nggak ketemu gue berapa lama aja."
"Sori. Gue seneng banget bisa liat lo," ucap Raka sambil melepas pelukannya. "Lo mau pesen apa?" tanyanya setelah Veni duduk.
"Samain aja sama lo. Minumnya es teh aja."
"Oke. Gue pesenin dulu."
Selama Raka pergi, Veni melihat ke sekeliling. Kafe itu cukup ramai dan nuansanya serba biru. Ada life music di bagian tengah. Dindingnya dihiasi berbagai macam foto pantai. Menyegarkan.
"Nanti pulangnya gue anter, ya," ucap Raka yang baru kembali ke meja.
"Eh, gue bisa balik sendiri, kok."
"Nggak apa-apa. Gue anter aja."
"Ya udah. Eh, iya katanya ada yang mau lo omongin sama gue?"
"Ah, soal itu. Gue mau bilang kalo gue suka sama lo."
Veni terkejut dengan pernyataan suka dari Raka yang terkesan gampang itu. "Gimana, Ka?"
Raka tersenyum. "Gue suka sama lo. Tapi gue tau kita nggak mungkin bisa sama-sama."
"Ehm, sori, Ka. Lo tau kalo gue sukanya sama ...."
"Gue nggak perlu jawaban dari lo, kok. Gue cuma mau lo tau kalo gue suka sama lo. Apa pun yang terjadi nanti, gue tetep suka sama lo. Itu yang harus lo tau."
Veni berkedip beberapa kali. Dia masih belum bisa mencerna dengan baik setiap kata yang diucapkan oleh Raka. Dia batu saja mendengar pernyataan dari seorang pria yang tidak butuh jawaban darinya. Mereka sama-sama terdiam hingga pesanan datang.
Jumlah kata: 1414
Bersambung
~~~
Ini, bukannya seneng dapet pernyataan suka dari cowok, tapi malah bikin bingung, ya, Ven.🤔
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top