11. Tersingkir
▪︎ Happy reading
▪︎ Kalo suka like, komen sama share, ya.
~~~
"Bagaimana kelanjutan kasus pembakaran gudang yang menewaskan lebih dari sepuluh orang itu, Pak?"
"Apakah pelaku sudah mengakui perbuatannya?"
"Apakah pihak pabrik akan memberikan kompensasi bagi keluarga korban?"
"Pak, Pak, tolong beri penjelasan, Pak."
Satu per satu pertanyaan dilontarkan oleh para wartawan yang terus berjaga di depan Polsek Kebayoran Lama. Kasus kebakaran sebuah gudang milik salah satu perusahaan pupuk di Jakarta telah menarik perhatian banyak orang, terutama karena jumlah korban yang tewas tidak sedikit.
"Halo, Mas Glen! Aku dateng lagi. Gimana lukanya? Udah mendingan? Ini aku bawain kopi." Seorang gadis berseragam putih biru mengulurkan gekas plastik berisi kopi panas kepada seorang pria dengan plester luka di pelipis kiri.
"Eh, kamu ke sini lagi. Sama siapa?" Glen mengambil gelas plastik itu sambil mengucapkan terima kasih.
"Sama Ayah. Masih ada urusan katanya. Jadi, aku ke sini waktu liat Mas Glen." Gadis itu mengikuti arah pandang Glen ke luar kantor. "Itu ada apa, Mas? Kok rame banget?"
Glen menoleh lalu membawa gadis itu menjauh dari pintu. "Biasa, para pencari berita."
Gadis itu terus memandangi para wartawan yang tidak berhenti mengambil foto dan mengajukan pertanyaan. Beberapa saat kemudian, seorang pemuda datang dan membuat perhatian para wartawan beralih kepada pemuda itu.
"Apakah kamu anak dari pelaku pembakaran itu?"
"Bagaimana perasaanmu saat ini setelah mengetahui ayahmu adalah tersangka?"
"Bentar Mas Glen." Gadis itu berlari ke luar kantor.
Gadis yang mengucir dua rambutnya itu berlari menerobos kerumunan para wartawan. Kemudian, dia menarik tangan pemuda yang berusaha menutupi wajah untuk ikut berlari bersamanya.
Gadis dengan napas terengah-engah itu berhenti setelah merasa aman dan para wartawan tidak dapat mengejar mereka lagi. Dia membawa pemuda itu ke belakang gedung Polsek dan bersembunyi di balik tembok.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya gadis itu masih dengan terengah-engah.
"Makasih."
Gadis itu tersenyum lalu melepas gandengan tangan mereka.
"Nih, minum dulu." Gadis itu mengeluarkan botol air minum dari tas lalu menyerahkan kepada pemuda yang ditolongnya.
"Kalian nggak apa-apa?"
Suara Glen membuat kedua remaja itu terkejut dan langsung menoleh bersama. Gadis itu yang pertama bernapas lega setelah melihat Glen.
"Kamu nekat banget lari kayak tadi. Kalo sampek para wartawan tadi nemuin kalian gimana? Kamu bisa masuk berita juga." Glen berbicara panjang lebar sambil memegang kedua pundak gadis itu.
"Tapi, kami berdua berhasil lolos dari mereka, kan?" jawab gadis itu sambil tersenyum membanggakan diri.
"Dasar kamu." Glen mengusap kepala gadis itu. "Ya udah ikut aku."
"Makasih, Mas Glen."
Mereka bertiga masuk ke kantor melalui pintu belakang. Gadis itu tidak berhenti tersenyum sambil memegangi kepala yang baru saja diusap oleh Glen.
Veni terbangun sambil senyum-senyum sendiri. Wanita itu mengubah posisi berbaring menjadi duduk lalu meregangkan tubuh. Dia mengambil ponsel di nakas untuk melihat jam. Sudah pukul delapan pagi. Mimpi indah membuatnya bangun kesiangan. Bukannya segera pergi ke kamar mandi, wanita yang masih mengenakan kaus oblong dengan celana pendek itu justru memeluk guling sambil tersenyum malu.
"Mas Glen emang dari dulu udah ganteng sama baik banget. Sayangnya, dia nggak inget gue. Padahal luka yang dia dapet itu gara-gara nolongin gue." Veni mendesah panjang.
Wanita itu turun dari kasur dengan semangat penuh untuk meluluhkan hati sang pujaan, tetapi dia lupa satu hal.
"Aduh!"
Veni langsung terduduk di tepi kasur lalu memegangi kaki kanannya. Dia menarik napas panjang lalu mengembuskannya.
"Masih sakit aja, nih kaki."
Wanita itu berdiri dan berjalan dengan sedikit pincang untuk mengambil handuk lalu ke kamar mandi. Setelah menghabiskan kurang lebih satu jam, akhirnya Veni siap pergi.
Baru saja dia hendak menghubungi Glen untuk minta dijemput, Raka sudah menunggunya di depan indekos.
"Naik! Kita hampir telat."
Veni sempat mematung dan hanya mampu berkedip beberapa kali. Dia tersadar saat Raka memanggilnya kembali.
"Eh, sori, Ka. Kok, lo bisa di sini, sih?" tanyanya sambil naik ke jok belakang.
"Gue chat lo nggak dibales-bales. Ya udah gue samperin aja ke sini."
"Oh, sori, ya. Gue bangun kesiangan. Jadi, baru megang HP ini."
"Santai, untung aja gue samperin ke sini. Pakek dulu helmnya," ucap Raka sambil menyerahkan sebuah helm kepada Veni.
"Iya, nih. Untung aja lo ke sini. Baru aja gue mau telpon Mas Glen."
Raka mulai menjalankan motornya. "Jangan terus-terusan ngerepotin Mas Glen. Masih ada gue yang bisa lo andelin."
Veni memajukan kepala hingga persis di pundak kiri Raka. "So sweet banget, sih temen gue ini. Makasih, loh."
Sore harinya, sebelum pulang dari kampus, Veni mendapat telepon dari Glen dan Bagas secara bergantian.
"Aku udah bilang kalo mau ke mana-mana biar aku anter. Kenapa hari ini nggak ada kabar? Kakimu udah sembuh? Nanti pulang biar aku jemput." Begitu kata Glen ditelepon.
"Kamu di mana? Kakimu udah sembuh? Kalo ada apa-apa bilang aja. Jangan sendirian kalo pergi-pergi. Maaf, belum bisa nemenin. Kamu sama Glen aja kalo butuh sesuatu. Besok nginep di rumah aja. Alesha mau masakin kamu." Sementara ini kata Bagas di telepon.
Diperhatikan oleh dua pria dewasa yang sudah seperti pengawal pribadi, membuat hidup Veni di Jakarta terasa nyaman dan aman. Apalagi sejak kejadian yang menimpanya beberapa hari lalu itu, dua pria tersebut tidak berhenti bertanya mengenai kondisinya. Namun, perkataan Raka ada benarnya. Dia tidak harus merepotkan Glen setiap saat.
Veni tiba di Er Cafe bersama Raka. Sore ini kafe begitu ramai. Wanita itu menyapa Zoya dan dua orang pegawai lain. Sementara itu, Raka langsung bersiap membantu melayani pengunjung.
"Halo, calon pacar!" sapa Veni ketika melewati meja barista.
"Kamu sama siapa ke sini? Kenapa nggak ngabari lagi?" balas Glen sambil meracik kopi.
"Hem, khawatir sama aku? Awas nanti jadi suka terus susah buat lupain aku, loh."
Glen menggeleng. "Kakimu gimana? Kalo masih sakit di kasir aja. Tuker sama Zoya."
"Aku udah sehat, kok. Kakinya juga udah nggak begitu sakit buat jalan. Hari ini, biar aku yang ngelayani pengunjung."
"Beneran nggak apa-apa?"
Veni mengangguk.
"Oh, iya. Nanti Bagas sama Alesha ke sini."
"Oke." Veni meninggalkan meja barista untuk bersiap memakai celemek dan melayani pengunjung.
Wanita yang mengenakan celemek cokelat itu terlihat sangat bahagia. Dia melayani setiap pengunjung yang datang dengan senyuman. Bahkan saat dia merasakan nyeri di kaki kanannya, wanita itu tetap tersenyum dan bersemangat mengantarkan pesanan pengunjung.
"Lo istirahat dulu. Biar gue yang lanjutin. Jalan lo makin pincang. Pasti kaki lo sakit lagi?" Raka mengambil alih nampan yang dipegang oleh Veni.
"Makasih."
"Halo, adik kecil!"
Veni menoleh dan langsung memeluk wanita yang menyapanya itu.
"Kayaknya ada yang kangen sama gue, nih."
"Ih, Mbak Alesha apaan, sih."
"Gengsi buat ngaku."
"Kakimu gimana? Kuliah aman?" tanya Bagas sambil mengusap lembut kepala Veni. "Hei, Bro. Aman semua?" Dia beralih menyapa Glen.
"Ven, istirahat dulu. Kamu ngobrol aja bareng mereka. Nanti aku nyusul."
Veni mengangkat jempol untuk menanggapi ucapan Glen. Kemudian, dia membawa Bagas dan Alesha ke meja kosong.
Mereka membicarakan banyak hal. Terutama mengenai kondisi Veni. Glen bergabung lima menit kemudian. Baru saja Veni bahagia bisa duduk dan mengobrol santai bersama dua pria yang selalu menjaganya, tiba-tiba obrolan berubah menjadi serius.
"Jadi, gimana soal investasi yang lo tawarin sama gue?" tanya Glen kepada Bagas.
Mereka menoleh bersama saat terdengar dehaman dari seseorang.
"Jadi, kalian ninggalin gue? Investasi apa yang barusan disebut?"
Glen langsung menggeser kursi dan mempersilakan Aqila duduk. Sementara itu, Veni mulai menyingkir.
Wanita yang mengikat rambutnya itu baru menyadari satu hal. Dia hanyalah adik kecil di mata para orang dewasa itu. Dunia mereka sangat jauh berbeda. Dia pergi keluar kafe.
"Kok, di sini?" tanya Raka yang menyusul Veni.
Veni menghirup udara malam sambil memandangi langit. "Gue merasa tersingkir ketika orang dewasa kumoul bareng."
"Tenang, masih ada gue."
Veni dan Raka saling menatap sambil tersenyum.
Jumlah kata: 1237
Bersambung
~~~
Tenang, Ven. Masih ada Raka.❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top