Chapter 4 - Welcome to Delonix Regia

Barbie and The Legend of Erythrina

C H A P T E R  4

***

Selama 14 hari terakhir, adalah hari-hari terpanjang yang pernah Myristi rasakan. Ia selalu tidak sabar untuk menunggu seorang kurir yang akan mengantarkan sebuah surat padanya. Tetapi, sekarang masa penantian Myristi telah berakhir. Para kurir sudah mulai mengantarkan surat yang telah dibuat oleh Dewan Nomor III ke setiap gadis yang mengirimkan kertas pendaftaran asrama mereka tahun ini.

Ternyata, tidak butuh waktu yang lama bagi para kurir itu untuk sampai dan menjangkau desa Myristi. Setelah empat belas hari yang panjang, di hari kelima belas, pagi itu juga, seorang kurir akhirnya sampai di depan rumah Myristi

"Surat! Surat!"

Myristi yang mendengarnya langsung berlari keluar dari rumah dan mengambil surat itu dari tangan sang kurir.

"Oh, terima kasih!"

Myristi mengamati surat putih yang sekarang dipegangnya. Ia memutar-mutar, membolak-balik, dan mengelus-elus surat itu. Tetapi, setelah beberapa lama Myristi masih belum membuka isinya.

"Suratmu sudah sampai?"

Myristi berbalik dan menemukan ibunya berdiri di depan pintu rumah mereka. Gadis itu tersenyum dan mengangkat surat yang ada di tangannya. "Ya, Bu," jawab Myristi.

"Lalu kau menunggu apa? Kenapa belum membukanya?"

Myristi menggeleng. "Tidak ada. Hanya saja, tiba-tiba aku merasa ragu. Bagaimana jika Dewan Nomor III tidak memasukkanku ke Anaphalis?" tanya Myristi ragu.

"Kau belum membuka suratmu. Cobalah buka dulu surat itu sebelum memikirkan hal yang buruk," perintah ibunya.

"Baiklah."

Myristi mengikuti perintah ibunya. Dan membuka surat itu. Ia membaca kata-kata yang terdapat di sana dengan cermat. Beberapa detik kemudian, raut wajah Myristi berubah total. Gadis muda itu terus-menerus menunjukkan senyum. Ia kemudian memeluk ibunya sambil menunjukkan isi surat itu kepada beliau.

"Aku diterima, Bu! Dewan Nomor III memasukkanku di Anaphalis. Aku diterima di Anaphalis!" seru Myristi dengan girang.

Isi surat itu mengatakan bahwa Myristi diterima sebagai salah satu murid di Asrama Anaphalis Javanica. Tahun ajaran baru akan segera dimulai, Dewan Nomor III akan segera mengirimkan kereta-kereta kuda ke seluruh Erythrina untuk menjemput para gadis dan mengantarkan mereka ke asrama di mana mereka diterima. Kereta-kereta kuda itu akan sampai besok lusa. Untuk itu, para gadis diharapkan sudah mempersiapkan segala yang akan mereka bawa untuk tinggal di asrama.

"Aku tahu kau memang pantas di sana, Anakku," ucap Ibu Myristi dengan bangga.

"Bu, aku akan pergi dan memberitahukan bahwa aku diterima di Anaphalis pada Wahine. Setelahnya, aku akan mempersiapkan barang-barangku untuk tinggal di asrama nanti."

"Pergilah dan beri tahu hal ini pada Wahine. Perempuan itu pasti senang sekali saat mengetahuinya."

"Baiklah. Aku pergi!"

Myristi pun pergi untuk memberi tahu kabar itu kepada Wahine.

Setelah pagi itu, dua hari selanjutnya berjalan sangat sibuk bagi Barbie dan ibunya. Myristi terus menyusun dan memilih benda-benda mana saja yang akan dibawanya ke asrama. Ia memilih pakaian-pakaian, buku-buku, serta barang-barang lain, kemudian menyusunnya di dalam beberapa koper besar.

Semua teman-teman Myristi di Desa Gamma memberikan ucapan selamat dan perpisahan kepada Myristi.

Hingga dua hari berlalu dengan cepat tanpa terasa. Di hari itu, Myristi membuka pintu rumahnya dan menemukan sudah ada kereta kuda yang terparkir tepat di halaman depan rumah.

"Aku adalah sais yang ditugaskan oleh Dewan Nomor III untuk mengantarkan Anda, Nona," kata sang sais kepada Myristi.

Myristi menaikkan koper-kopernya ke atas kereta dengan dibantu oleh sang sais. Myristi berpelukan dan berpisah dengan ibunya sebelum menyusul masuk ke dalam kereta kuda.

"Aku akan merindukanmu, Bu. Aku akan menjadi lulusan yang terbaik dan membanggakan semua orang," janji Myristi.

"Jaga dirimu dengan baik, Myristi."

"Baik, Bu."

Myristi masuk ke dalam kereta kuda. Setelah sang sais menutup pintu dengan benar, mereka pun memulai perjalanan panjang itu.

***

Sepanjang perjalanan, Myristi selalu merasa antusias dengan semua tempat yang dilalui. Ia melihat banyak hal dari balik jendela kereta kuda. Sebelum ini, Myristi tidak pernah sekali saja meninggalkan desanya. Ia tidak pernah bepergian ke tempat-tempat yang jauh. Atau bahkan untuk berkunjung ke pusat kota di Sektor I Beethoven saja Myristi belum pernah. Desanya, Desa Gamma benar-benar begitu terpencil dan seperti terisolasi dari Erythrina.

Myristi juga belum pernah melihat atau mendengar bagaimana bentuk Asrama Anaphalis. Ia hanya mengetahui bahwa asrama itu berada di timur. Entah bagaimana bentuk, warna, tinggi, dan kemegahannya, Myristi belum pernah mendengar tentang hal itu. Karenanya, apa pun yang dilewati dan baru kali itu dilihat Myristi, selalu menumbuhkan rasa penasaran pada diri gadis itu.

Ketika rumah-rumah penduduk di Desa Myristi berganti menjadi hutan-hutan tempatnya bermain, Myristi mengingatnya. Ketika hutan-hutan yang tidak lebat itu berganti menjadi tanah kosong serta padang yang luas, Myristi mulai memasuki daerah baru yang tidak diketahuinya.

Matahari sudah mulai tenggelam untuk digantikan oleh bulan. Tanah kosong serta padang yang luas tadi, kini telah tergantikan oleh hutan lebat yang sangat gelap. Tetapi, perjalanan Myristi ke Asrama Anaphalis belum juga sampai. Karena penasaran, akhirnya Myristi menanyakan tentang hal itu kepada sang sais yang membawa kereta kuda.

"Apakah perjalanan ini masih jauh? Malam telah tiba, tapi kita belum juga sampai. Apa tidak sebaiknya kita mencari rumah penduduk dan melanjutkan perjalanan besok pagi?" tanya Myristi.

"Maaf, Nona. Kita harus sampai hari ini juga, itu telah menjadi perintah. Anda tidak perlu khawatir. Kita akan tiba tidak lama lagi. Tidak perlu berhenti," jawab sais itu.

"Oh, baiklah."

Ternyata apa yang dikatakan oleh sang sais memang benar. Tidak lama setelah itu, hutan lebat mulai tertinggal di belakang. Dan mulai banyak kereta-kereta kuda lain yang tampaknya juga baru berdatangan dari segala penjuru Erythrina. Kereta kuda milik Myristi melaju pelan memasuki halaman asrama. Myristi mengintip dari balik jendela keretanya dan tersenyum lebar saat melihat bagaimana bentuk fisik dari Anaphalis Javanica, mimpinya sejak lama.

Asrama itu dibangun di atas tebing batu yang ada di pinggir laut. Debur ombak yang memecah karang terdengar jelas dari bawah sana. Gelapnya langit di atas laut di kejauhan sangatlah pekat. Kepekatan langit malam di tengah laut bahkan terasa seperti menyelimuti bangunan asrama.

Kereta kuda yang dinaiki Myristi berhenti. Sang sais membukakan pintu dan membantu Myristi untuk turun di depan pintu masuk asrama yang sangat ramai dengan para murid baru dari seluruh negeri. Setelah sang sais membantu menurunkan semua koper-koper Myristi, sais kereta itu pun berlalu pergi dari sana.

Myristi memperhatikan asrama itu secara keseluruhan. Bangunan tuanya yang tinggi dan megah disusun oleh balok-balok hitam berukuran besar. Ada satu menara yang paling tinggi dari salah satu bagian yang menjulang hingga ke atas. Di bagian teratas, bendera yang bergambar pedang juga serigala putih berkibaran tertiup oleh angin laut. Obor-obor yang dipasang di dinding asrama secara acak, memberikan penerangan yang tidak terlalu terang, namun cukup untuk melihat dan mengetahui arah.

Adanya sulur-sulur hijau yang menjalar di beberapa bagian di dinding bangunan asrama sempat membuat Myristi heran. Sedikit tidak menyangka bahwa bentuk Asrama Anaphalis Javanica adalah seperti itu. Sedikit berbeda dengan apa yang selama ini dibayangkannya.

Halaman asrama semakin dipenuhi oleh gadis-gadis yang baru saja datang. Dan dari mereka semua, tidak ada yang Myristi kenal. Beberapa di antara gadis-gadis itu mungkin sudah saling mengenal sehingga dapat berbicara dengan akrab. Cukup lama Myristi hanya mangamati gadis-gadis itu dan mencermati kembali bangunan asrama. Hingga sebuah suara dari arah pintu masuk asrama mengalihkan perhatian Myristi juga semua murid baru yang tiba-tiba saja menjadi diam.

"Perhatian! Untuk seluruh murid yang sudah hadir, diharapkan untuk segera berkumpul di sebelah sini!"

Kalimat itu langsung menjadi perhatian seluruh murid baru yang langsung berkumpul di titik yang sudah ditentukan oleh sang gadis yang tadi memberi perintah. Myristi juga ikut berkumpul di depan gadis itu bersama dengan gadis-gadis lainnya.

Gadis di depan sana tersenyum lebar. "Mohon tenang semuanya!" perintahnya. "Selamat datang bagi kalian para murid baru! Perkenalkan, namaku adalah Elena. Murid tingkat enam. Tahun ini, akulah yang akan menuntun semua murid dalam perjalanan pertama kalian malam ini! Aku harap kalian bisa langsung mendapatkan seorang atau bahkan beberapa orang teman malam ini juga."

Kata-kata sambutan dan pidato singkat yang disampaikan oleh gadis bernama Elena itu masih terus berlanjut. Namun, Barbie tidak kelihatan tertarik untuk mendengarkannya hingga selesai. Myristi lebih tertarik untuk memperhatikan seorang gadis yang berdiri di sebelahnya. Yang kelihatannya juga tidak memiliki teman dan belum mempunyai kenalan di sini.

"Hai," sapa Myristi pada gadis di sebelahnya. Membuat gadis itu menolehkan kepalanya dan menatap heran ke arah Myristi yang sedang tersenyum.

"Hai," balas gadis itu dengan singkat.

Myristi mengulurkan tangannya. "Aku Barbie. Dan kau?" tanya Myristi, masih berusaha memiliki seorang teman atau hanya kenalan.

"Odette," jawab gadis itu tanpa membalas uluran tangan Myristi.

Melihat bahwa Odette tidak membalas ulurannya, Myristi langsung menurunkan tangan dan mengangkat bahu dengan sedikit tidak peduli.

"Kulihat, kau tidak memiliki teman dan belum menemukan kenalan di sini. Jadi aku mengajakmu berkenalan tadi," jelas Myristi yang hanya dibalas dengan sebuah gumaman. Hingga akhirnya Myristi memilih menyerah saja. "Oh, baiklah."

Myristi kembali melihat ke depan dan memperhatikan Elena yang ternyata telah selesai menyampaikan kata-kata sambutannya.

"Baiklah, para gadis. Aku akan membawa kalian semua ke aula asrama. Untuk itu, pastikan tidak ada seorang saja yang akan tertinggal atau kalian akan tersesat."

Elena membalikkan tubuhnya dan mulai berjalan. Semua murid baru pun langsung mengikuti Elena.

Ketika Myristi masuk ke dalam asrama, dia melihat bahwa asrama bagian dalam tidak terlalu berbeda dengan bagian luarnya. Cahaya-cahaya dari obor yang tergantung di dinding hanya mampu menerangi beberapa bagian saja.

Karpet berwarna merah yang menutupi lantai terlihat tidak terlalu serasi jika disandingkan dengan bentuk asrama ini. Lukisan-lukisan serta gambar lain yang diletakkan pada kedua sisi dinding juga selalu bergerak dan berbicara. Lukisan-lukisan itu juga ada yang bertengkar satu dengan yang lain. Beberapa orang murid baru mengeluarkan decak kagum saat melihat semua itu.

"Kalian boleh melihat-lihat semua yang ada di asrama ini, tetapi ingatlah perkataanku. Jangan ada yang tertinggal, berbelok ke lorong mana pun, atau menyentuh benda-benda yang bukan milik kalian. Jadi, ayo kita lanjutkan perjalanan ini."

Semua murid baru berbelok di beberapa belokan sebelum keluar di sebuah lorong yang sangat menyilaukan. Hampir semua gadis tidak dapat menahan dan menyerukan decak kagum mereka. Lorong ini memang adalah sebuah lorong yang sangat sulit untuk ditolak.

Di sisi kanan dan kiri dinding, di meja-meja panjang yang menempel pada tembok, bahkan hingga langit-langitnya pun, penuh dengan berbagai macam perhiasan. Kalung dengan bandul semerah delima yang bersinar di dinding sebelah kiri dan cincin dengan kristal putih bersih yang tergeletak manis di meja sebelah kanan sangat memesona. Seperti ingin memanggil setiap gadis untuk menggunakan mereka.

Myristi memutar kepalanya ke kanan dan melihat ada seorang gadis yang mengambil cincin dengan kristal putih itu, lalu mencoba memakainya di jari. Tidak ada murid lain yang menyadari apa yang sedang dilakukan oleh gadis itu. Namun, belum sempat Myristi berseru untuk menyuruhnya melepaskan cincin itu, sang gadis telah lebih dulu berteriak kencang dan seperti kesakitan. Teriakan kesakitannya langsung mengundang seluruh perhatian dari para murid baru.

Elena yang juga mendengar teriakan itu langsung mendekat ke arah sang gadis sambil mengarahkan telapak tangannya yang terbuka ke depan dan mengucapkan sebuah mantra.

"Latu veriverdiousa!"

Teriakan gadis itu menghilang bersama tubuhnya. Menyisakan kesunyian dan keresahan yang mendadak muncul di antara para murid baru. Elena berbalik ke arah murid baru dan memasang senyum.

"Kalian tidak perlu takut, para gadis. Hal seperti tadi memang sering terjadi saat semua murid baru melewati lorong ini. Selanjutnya, jika kalian mengikuti laranganku agar tidak menyentuh apa pun yang ada di sini, sekecil apa pun itu, maka kalian bisa tenang. Tidak akan ada hal buruk yang akan terjadi pada kalian."

Elena kembali ke depan para murid untuk melanjutkan perjalanan yang tadi sempat tertunda. Elena terus memandu para murid baru masuk semakin jauh ke dalam asrama. Selama itu, ada banyak jalan, lorong, serta pintu yang para gadis itu lewati. Hingga akhirnya mereka sampai di depan sebuah pintu kayu yang sangat besar.

Elena mengarahkan telapak tangannya ke depan dan mengucapkan sebuah mantra yang membuat pintu kayu besar itu terbuka, memperlihatkan apa yang ada di baliknya dengan jelas. Elena mempersilakan seluruh murid baru untuk masuk ke dalam ruangan itu.

"Selamat datang di ruang makan asrama, para gadis!" seru Elena.

Ruangan itu adalah sebuah ruangan yang sangat luas dengan meja-meja panjang yang telah diisi dengan berbagai jenis hidangan. Langit-langitnya yang tinggi menambah kesan besar pada ruangan ini. Ruangan ini juga lebih terang jika dibandingkan dengan bagian-bagian asrama sebelumnya yang hanya diterangi oleh cahaya obor. Lampu-lampu sihir berbentuk bulat yang bersinar sangat terang terus bergerak ke sekeliling ruangan untuk menyinari bagian mana saja yang mereka inginkan. Di depan ruangan ada sebuah podium yang cukup tinggi sehingga dapat terlihat hingga ke seluruh ruangan.

Elena menuntun para murid baru ke sebuah meja panjang yang ada tepat di tengah-tengah ruangan.

"Gadis-gadis, kalian isilah meja ini. Nikmati hidangan yang telah kami sediakan, ambil sebanyak yang kalian mau. Kita akan menunggu hingga kepala asrama hadir di sini."

Myristi segera duduk di meja panjang itu, dan kebetulan mendapatkan tempat di sebelah Odette. Myristi pun kembali mencoba untuk mengakrabkan dirinya dengan Odette.

"Oh, hai, Odette. Aku tidak menyangka bahwa kita akan bertemu lagi di sini," sapa Myristi.

"Hai," balas Odette.

Myristi menikmati hidangan yang tersaji di depannya. Suasana begitu riuh di ruang makan itu. Semuanya saling berbicara satu dengan yang lain. Hingga tidak beberapa lama kemudian, sebuah bunyi nyaring dan cukup memekakkan dari sendok yang dipukulkan ke gelas membuat seluruh perhatian murid baru tertarik ke arahnya.

Di depan ruang makan, di atas podium yang tinggi itu, ternyata telah berdiri seorang wanita tua dengan kacamata yang menggantung di lehernya. Bunyi nyaring itu berhenti begitu sang wanita tua mendapatkan seluruh perhatian dan suasana ruang makan yang tiba-tiba menjadi diam.

"Aku adalah Kepala Asrama. Malam ini kita akan mengadakan acara penyambutan untuk semua murid baru. Untuk itu, kuucapkan selamat kepada senua gadis yang berhasil masuk ke asrama ini. Selamat datang di Asrama Delonix Regia!"

Wanita tua itu merentangkan kedua tangannya yang membuat dua tirai panjang di kanan dan kirinya jatuh dari atas. Dua tirai yang memuat kata-kata "Selamat Datang di Delonix Regia".

***

29 Desember 2018,

D I L A T A S I

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top