Chapter 2 - Keingintahuan

Barbie and The Legend of Erythrina

C H A P T E R 2

***

Wanita yang telah berambut putih seluruhnya itu mengibaskan telapak tangan ke udara. Membuat ribuan debu emas bercahaya yang sejak tadi selalu bergerak untuk membentuk suatu gambaran peristiwa menjadi berhamburan, kemudian menghilang.

Myristi mengerjap. Berbagai ekspresi muncul di wajah gadis muda itu. Takjub, bingung, terpukau, dan heran. Semua bercampur menjadi satu di rautnya. Namun, yang paling pekat dari semua ekspresi itu tentu saja adalah rasa ingin tahu yang sangat besar. Mendengarkan cerita-cerita lama selalu berhasil membangkitkan rasa penasarannya. Apalagi saat ini, ketika dia akhirnya diizinkan untuk mengetahui tentang legenda Erythrina-negeri tercintanya-dengan lengkap. Tidak ada yang dapat menyuruhnya untuk berhenti bertanya.

Myristi memiringkan kepala dan menatap lurus ke arah seorang nenek tua yang sedang tersenyum. "Banyak pertanyaan yang memenuhi pikiranku. Aku rasa masih banyak yang belum Wahine ceritakan kepadaku. Wahine, apakah aku boleh bertanya?"

Nenek tua yang penuh dengan keriput itu semakin melebarkan senyumnya. "Tentu saja boleh. Aku tahu kau selalu penasaran. Bahkan aku merasa proses ini belum sempurna jika kau menerima ceritaku tadi tanpa bertanya tentang apa pun."

Myristi melengkungkan bibir membentuk senyuman. "Aku menyimpan banyak pertanyaan. Tapi, aku akan bertanya satu per satu agar kau tidak kebingungan saat menjawabnya nanti, Wahine."

Perempuan tua yang sering dipanggil dengan sebutan "Wahine" itu tertawa kecil. "Baiklah. Beri tahu aku apa pertanyaanmu. Karena ini hari ulang tahunmu, maka aku akan berusaha menjawabnya hingga kau bisa memuaskan rasa penasaranmu itu."

"Kau memanglah yang terbaik, Wahine. Aku penasaran, karena apa Ratu Erythrina Cristagalli membuat peraturan bahwa para pengikutnya tidak boleh memiliki hubungan asmara dengan laki-laki? Apakah tidak ada salah satu dari pengikut sang Ratu yang tidak setuju kepada Ratu Erythrina Cristagalli saat peraturan itu dikemukakan? Menurutku, itu peraturan yang sangat aneh, Wahine."

"Peraturan itu sudah ada sejak lama. Kau mengetahuinya bahkan sejak kau masih kecil. Namun, kenapa kau baru bertanya tentang hal itu sekarang, Myristi?"

Myristi menyipitkan mata, lantas menggeleng. "Aku sudah berulang kali menanyakan hal itu kepada Ibu saat kecil. Tetapi, dia selalu mengatakan bahwa dia tidak mengetahui apa pun soal aturan itu. Dia hanya taat pada aturan dan tradisi Erythrina yang sudah ada sejak lama seperti rakyat lainnya. Dan Wahine, kau adalah orang pertama yang menceritakan sejarah Erythrina dengan cukup lengkap kepadaku. Maka, mungkin kau bisa menjawab pertanyaan lamaku itu."

Wahine tersenyum kecil. Pondok kayu kecil yang meneduhi mereka saat ini tiba-tiba terasa lengang. Keadaan langit biru yang terbentang luas, dapat dilihat dengan jelas dari bawah pondok. Mata Wahine yang telah melihat banyak hal semasa hidupnya, sekarang sedang memandang langit biru dengan awan putih itu cukup lama. Dia merenungkan tentang sesuatu.

"Entahlah. Tidak ada yang tahu apa alasan Ratu Erythrina Cristagalli mengeluarkan peraturan yang sangat aneh itu. Hal itu masih terus menjadi misteri hingga saat ini. Dan tentu saja tidak ada satu pun dari pengikutnya yang menyanggah peraturan itu. Ratu Erythrina Cristagalli adalah sang bijak. Dialah yang terbijak pada masa itu. Maka, apa pun yang telah diputuskan dan ditetapkan oleh sang Ratu, selalu dianggap sebagai hal yang paling tepat untuk dilakukan."

"Kalau begitu, mengapa sekarang aku melihat banyak laki-laki di Erythrina?" tanya Myristi.

"Perubahan terjadi. Seiring dengan perkembangan waktu, Ratu Erythrina Cristagalli pun melonggarkan peraturannya. Ia memberikan izin kepada laki-laki dari negeri lain yang ingin hidup di Erythrina dengan syarat: mereka harus bersedia melakukan pekerjaan berat dan rendahan, atau bahkan menjadi pelayan."

"Aku merasa bahwa itu sedikit tidak adil."

"Ya, tapi bukankah apa yang disebut dengan kebijakan, terkadang memang tidak adil?"

Myristi mengernyitkan kening. Mendengar jawaban Wahine baru saja, membuat semua terasa semakin membingungkan. Rasa penasaran itu semakin menyelimuti dirinya.

"Wahine, kau memberikan jawaban yang membuka pertanyaan baru dalam pikiranku."

Wahine tersenyum. "Aku sudah menduganya. Memang sangat sulit untuk memuaskan rasa ingin tahumu yang luar biasa besar itu."

Myristi menghela napas dan mengangkat bahunya dengan sedikit tidak peduli. "Entahlah, Wahine. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membuang kebiasaan buruk itu. Tetapi, bukankah itu adalah hal yang baik? Aku penasaran karena aku selalu ingin belajar dengan mengetahui banyak hal-hal baru."

"Kau benar, Myristi. Keingintahuan yang kau tumbuhkan dalam dirimu, sangat berguna untuk mempelajari hal-hal baru. Tetapi, terkadang ada beberapa hal yang sebaiknya tidak kita ketahui. Terlalu banyak yang telah kau ketahui, maka akan semakin menyulitkan dirimu."

Bukannya resah ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Wahine, Myristi malah tersenyum. "Tetapi, hingga saat ini aku belum menemukan kesulitan apa pun, Wahine."

Wahine tersenyum dengan senyum penuh artinya yang khas. "Sudah, lupakanlah. Kini, beri tahu aku tentang pertanyaan-pertanyaan ajaibmu yang lain."

Myristi begerak untuk memperbaiki posisi duduknya dan sedikit bergeser ke arah Wahine. Myristi mendekatkan wajahnya kepada Wahine dan berbicara dengan nada berbisik juga seulas senyum. "Bagaimana cara para perempuan di Erythrina bisa mendapatkan keturunan hanya karena memiliki niat pada sebuah air?"

"Eh?" Wahine sedikit terkejut, lantas tertawa kecil. "Aku sedikit tidak menyangka kau akan menanyakan hal seperti itu. Tetapi, maaf, aku tidak bisa menjawabmu untuk yang satu itu. Kau harus mengalaminya sendiri agar dapat mengerti cara kerjanya. Dan seperti yang kau tahu, aku sendiri tidak pernah datang ke air itu demi untuk mendapatkan keturunan.

"Lagipula, bukankah kau ada di sini sekarang karena niat ibumu kepada sebuah air? Mengapa kau mempertanyakan tentang sesuatu yang telah menghidupkanmu?"

Myristi memundurkan wajah. Pupil kuning kehijauan miliknya berkedip beberapa kali. "Aku hanya penasaran, Wahine. Dan rasa penasaran terkadang melewati batas. Tidak peduli jika itu berarti aku harus mempertanyakan perihal asal-usul dan tentang unsur yang menghidupkanku," ujar Myristi sembari tertawa.

Wahine tersenyum dan menggeleng. "Aku tetap tidak bisa memberi tahu kepadamu bagaimana prosesnya, Gadis Manis."

Myristi mengerutkan keningnya. Ia memang sangat ingin segala pertanyaannya terjawab, namun mendesak nenek tua di depannya itu tentu saja bukan solusi yang tepat.

Tutu Wahine, atau yang biasa hanya akrab disapa Wahine adalah seorang nenek tua di desa tempat Myristi tinggal, yang telah menjadi penyampai kisah sejarah Erythrina kepada para gadis selama beratus-ratus tahun. Di seluruh Negeri Erythrina, jika ada gadis yang telah menginjak usia 15 tahun, maka ia telah dianggap sah dan layak untuk mendengarkan kisah tentang sejarah terbentuknya Negeri Erythrina. Mereka berhak meminta Tutu Wahine di desa mereka masing-masing untuk menceritakan kisah itu.

"Myristi, ayo bantu aku untuk berdiri."

"Baik, Wahine."

Wahine tersenyum, beliau bergerak hingga sampai ke posisi seperti ingin berdiri. Namun, tulang-tulang tuanya menolak untuk berdiri sendiri tanpa bantuan. Sehingga ia pun meminta Barbie untuk membantunya berdiri.

Myristi berdiri dan meninggalkan banyak kertas-kertas yang sejak awal dipegangnya terus-menerus tanpa pernah terlepas sebentar saja. Gadis itu mengambil tongkat kayu milik Wahine dan memberikannya kepada sang pemilik agar dapat menjadi tumpuan. Myristi memegangi kedua kedua lengan Wahine dan menuntun perempuan itu hingga keluar dari pondok kayu kecil yang menaungi mereka.

Setelah memastikan Wahine dapat berdiri di tanah dengan seimbang dan dapat berjalan, Myristi kembali ke dalam pondok dan merapikan kertas-kertas juga perkamen-perkamen miliknya yang masih bertebaran di sana. Myristi membawa semuanya lalu segera keluar untuk menyusul Wahine yang sudah mulai berjalan agak jauh.

"Wahine, tunggu." Myristi menyejajarkan posisinya dengan Wahine dan menyamakan kecepatan langkah kakinya dengan perempuan tua itu yang tetap gesit walaupun telah berumur. "Wahine, aku belum mengemukakan semua pertanyaanku. Kenapa kau pergi? Aku masih merasa sangat penasaran."

Wahine menoleh ke arah Myristi dan tersenyum. "Katakan saja kepadaku, apa pertanyaan yang masih belum kau beri tahu itu. Aku akan berusaha menjawabnya. Bukankah aku sudah berjanji? Ini adalah hari ulang tahunmu, kau bebas untuk bertanya apa pun."

Myristi tersenyum dan menatap kertas dan perkamen yang ada di genggamannya. Mata Myristi seperti sedang menerawang sesuatu. Wahine yang melihatnya hanya bisa tersenyum simpul.

"Para gadis serta jutaan mimpi besar mereka. Oh, aku selalu menyukainya."

"Kau mengetahui apa yang ingin aku tanyakan kepadamu, Wahine?"

"Setiap gadis yang baru saja aku kisahkan tentang sejarah Negeri Erythrina ini tentu memikirkan hal yang sama. Ini tentang dua asrama itu, bukan?"

Myristi tertawa kecil menanggapi pernyataan Wahine yang sesuai dengan isi pikirannya. "Kau benar, Wahine. Aku penasaran, bagaimana dengan kedua asrama yang dibangun oleh Ratu Erythrina Cristagalli?"

"Apa yang ingin kau ketahui? Aku rasa aku sudah menjelaskan semua tentang kedua asrama dengan jelas tadi. Anaphalis Javanica yang berdiri di sebelah timur. Dan Delonix Regia yang dibangun di sebelah barat. Aku juga telah mengatakan sifat-sifat keduanya. Apa aku melewatkan sesuatu? Hal yang mana lagi yang ingin kau ketahui?"

Myristi sedikit tersipu. Dan hal itu tidak luput dari penglihatan Wahine. Perempuan tua itu tersenyum dan merangkul pundak Myristi. Tentu saja ia mengerti apa yang diinginkan setiap gadis yang mulai menanyakan tentang dua asrama kebanggaan Erythrina itu. Namun, Wahine hanya ingin menguji Myristi. Sudah sejauh mana Myristi memahami mimpi dan keinginannya sendiri.

Myristi mengangkat wajah dan menatap lurus ke depan. Jalanan berbatu yang sepi dengan hutan di kanan dan kiri mereka adalah pemandangan yang menyambut matanya saat itu. Tidak ada siapa pun selain Wahine dan Myristi di sana. Sesekali suara cicit burung yang saling bersahutan juga ikut menemani mereka berdua. Dengan semua ketenangan yang disediakan alam siang itu, Myristi seperti dapat melihat visi dan masa depan yang selalu diharapkannya. Tampak jelas sehingga membuat Myristi tidak bisa untuk berhenti tersenyum.

"Wahine, kau tentu tahu, sejak dulu aku selalu ingin menjadi seorang putri Erythrina yang cerdas. Aku juga ingin menjadi seorang pejuang Erythrina yang tangguh. Aku menginginkan keduanya, Wahine. Bukan salah satu. Aku sering melihat diriku di masa depan, saat aku menduduki satu dari ketujuh kursi di Dewan Pemerintahan Erythrina. Tetapi, aku juga sering menemukan diriku sedang berada di barisan terdepan dalam sebuah perang untuk membela Erythrina. Keduanya terasa sangat nyata, Wahine. Aku menyukai keduanya. Aku ingin menjadi keduanya."

Wahine mengerutkan keningnya yang memang telah keriput. Dia menatap Myrist sambil tersenyum. Namun, seperti sedang menyimpan suatu keresahan kecil. Untungnya, Myristi yang masih sibuk menatap visi masa depannya, sepertinya tidak sadar akan keresahan yang tampak pada raut wajah Wahine.

"Tetapi, aku yakin kau telah mengetahui aturan yang dikeluarkan oleh para Dewan tentang dua asrama itu, Myristi. Bahwa setiap gadis hanya boleh masuk di satu asrama. Tidak boleh berada keduanya."

Alih-alih merasa kehilangan harapan, Myristi malah tersenyum semakin lebar. "Tentu saja, Wahine. Aku telah mengetahui tentang satu lagi aturan aneh yang ada di Negeri Erythrina itu sejak kecil. Ibu memberi tahu hal itu kepadaku. Dan sejak saat itu, aku selalu memikirkan asrama mana yang cocok untukku. Jadi, kau tenang saja, Wahine. Aku sudah menentukan pilihan jauh sebelum ulang tahunku ini."

"Apakah itu benar? Beri tahu aku. Apa pilihanmu?"

Myristi tersenyum. Matanya berkilat dengan rasa semangat dan antusias. "Tentu saja aku ingin masuk ke Anaphalis. Aku tidak tahu apa sebabnya. Tetapi, asrama itu begitu memikat ketika aku mengetahuinya dari cerita-cerita yang sudah pernah kudengar sejak kecil. Sangat sulit bagiku untuk melupakan Anaphalis, Wahine. Dan ketika aku mendengar caramu berkisah tentang Anaphalis tadi, aku semakin yakin bahwa pilihanku sudah benar. Tetapi, Wahine, aku tetap membutuhkan pendapatmu tentang keputusan itu. Jadi, bagaimana menurutmu?"

Wahine tersenyum. Ia melambatkan langkah kakinya. "Kau harus mengenali dirimu sendiri, Myristi. Memang, kau tentu saja dapat bertanya kepadaku. Tetapi, ada hal baru dan berbeda yang akan kau rasakan, ketika kau berhasil mengenali dirimu sendiri. Apa cita-citamu. Apa mimpimu. Apa ambisimu. Dan apa tujuanmu dalam hidup ini. Yang harus kau tahu, jika aku menjawab semua pertanyaan tadi, akankah kau merasa puas?"

Myristi menggeleng. "Tidak, Wahine. Aku harus mengenali diriku sendiri. Bukan mengetahuinya lewat dirimu atau pun orang lain."

"Aku senang kau mengerti apa yang kumaksud. Jadi, carilah jati dirimu sendiri."

"Ya. Aku akan menemukan jati diriku di Asrama Anaphalis."

Wahine hanya tersenyum dan menggeleng kecil. Perempuan tua itu merenggangkan otot dan tulang-tulangnya hingga mengeluarkan suara, kemudian ia kembali berjalan dengan cepat. Myristi berusaha menyejajarkan langkah mereka dengan sedikit kerutan di keningnya.

"Wahine, bolehkah aku bertanya satu hal lagi?"

Wahine menoleh heran. "Ternyata pertanyaanmu belum habis, huh?"

"Tentu saja. Pertanyaanku tidak akan pernah habis. Tetapi, aku janji ini benar-benar pertanyaan terakhir untuk hari ini."

"Baiklah, apa itu?"

"Bagaimana jika sumber air itu, Air Terjun Asteria Forbesi, memberikan seorang bayi laki-laki kepada gadis-gadis. Apa yang akan terjadi, Wahine?"

"Tetap saja, Myristi. Kau tidak boleh mengetahuinya sampai kau merasakannya sendiri."

***

29 Desember 2018,

D I L A T A S I

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top