4


Ratna mengamati lukisan di salah satu dinding di galerinya. Lukisan dua ekor burung yang saling berjauhan dengan wajah saling berhadapan, hinggap diantara pucuk-pucuk padi dengan hamparan langit luas membiru.

"Sedih banget lihat burungnya, terpisah jauh."

Hannan hanya tersenyum, ia terus menggoreskan cat tanpa berkomentar. Ratna mengamati tubuh kekar Hannan dari belakang, hanya menggunakan kaos tanpa lengan, bercelana bahan denim yang banyak terkena cat. Otot lengan Hannan terlihat jelas, dan Ratna hanya bisa menatap laki-laki tak banyak bicara itu dari tempat ia berdiri.

"Aku akan bertunangan Mas, beraku-kamu aja Mas ya, pake saya kok kita kayak nggak bisa dekat."

Lirih suara Ratna, dan Hannan sempat menghentikan gerak jarinya namun tak lama, ia memulai lagi menyempurnakan lukisannya.

"Mas."

"Hmm, ada karyawan Dik Ratna, nggak enak kalo kita ngomong itu."

"Nggak ada, ini ruanganku, ruang kerjaku, gak sembarangan orang masuk ke sini."

"Oh." Hannan menundukkan badannya, meraih cat berwarna kuning dan menuangkan lagi ke palet.

"Aku nggak mau bertunangan, Mas."

Hannan menoleh, ia tatap sejenak wajah Ratna, lalu melanjutkan gerak jarinya.

"Aku sudah merasa menyukai orang lain tapi aku harus sadar jika nggak mungkin terlalu berharap orang itu juga suka padaku, baru kenal sih, paling juga baru lima kali ketemu."

"Laki-laki yang beruntung." Hanya itu suara Hannan lalu senyap lagi ruangan itu.

"Aku nggak kuasa menolak jodoh dari Romo Mas, jadi aku harus mau meski terpaksa."

Hannan diam sejenak, ia memejamkan matanya lalu menatap lagi lukisan yang sejak pagi ia kerjakan dengan sepenuh hati.

"Sudah siang Dik, nggak sholat dulu atau makan siang?" Hannan mengalihkan pembicaraan.

Ratna mendekat dan menarik lengan Hannan hingga mau tak mau Hannan berbalik meski ia kaget, rasanya tak mungkin wanita seperti Ratna mau menyentuh lengannya yang kasar. Ia melihat mata Ratna yang berkaca-kaca.

"Ada apa Dik? Apa yang kamu rasakan sama denganku? Kita baru saja dipertemukan dengan cara yang aneh, aku dihubungi teman sesama seniman, yang mengatakan jika sepupunya butuh pelukis untuk mempercantik galerinya, lalu kita bertemu dan tanpa aku sadari dawai-dawai cinta ini selalu gemuruh tiap melihat wajahmu, tapi kita harus sadar jika kita beda dunia, beda darah dan beda arah, kamu di barat dan aku di timur, kita tak akan pernah bisa bersatu." Hannan bermolog dalam hati.

"Mas Hannan bisa merasakan kan apa yang aku rasa?"

Tanpa sadar Hannan menjatuhkan kuas dan paletnya, ia mendekat ke arah Ratna, mereka berhadapan, Ratna mendongak dengan mata telah penuh air mata dan Ratna hanya bisa diam saat lengan kekar itu memeluk pinggangnya dan tangan Hannan memegang tengkuknya, ia memejamkan mata dengan air mata berurai, saat mereka telah larut dalam kesedihan tak terungkap dengan bibir saling beradu.

Sementara Danu yang baru saja sampai di ruang kerja Ratna hanya bisa melihat keduanya dengan wajah kaget lalu menutup lagi pintu dengan rapat tanpa berbunyi. Ia tertegun sejenak.

"Trus piye iki? Duh!"

.
.
.

"Maaf Bang, tadi itu ..." Danu tak melanjutkan ucapannya.

Danu melihat Hannan yang mengepulkan asap rokok dengan wajah sendu, mereka duduk berdua di sebuah angkringan pinggir jalan, banyak orang di sana, namun keduanya memilih menjauh dari keramaian dan menatap ke arah lain yang gelap gulita.

"Aku tahu kamu di sana tadi siang."

Danu mengembuskan napasnya. Ia tahu laki-laki di sampingnya sedang diamuk rasa resah, rindu dan cinta yang tak akan pernah sampai.

"Jangan terbawa rasa Bang, harus dielak, diusir atau ..."

"Biarlah dia tetap di sini di hatiku, aku menikmati rasa sakitku, kami sama-sama tahu jika kami akan melawan rasa sakit, dan akan aku nikmati sakit ini dalam kangen yang tak akan pernah tuntas."

"Bunuh diri itu namanya Bang."

"Demi wanita yang aku cinta, aku tak peduli, mungkin dia memang diciptakan untuk mengisi kekosongan jiwaku tanpa bisa aku miliki."

"Jadi nggak pake logika ya Bang?"

"Sejak kapan cinta bisa dilogika? Cinderella, Romeo dan Juliet, Bangsacara dan Ragapadmi, Ariel si Putri Duyung, cinta Bandung Bondowoso pada Roro Jongrang, apa semua pakai logika? Nggak kan? Ada yang berakhir bahagia, ada yang tersia dengan meninggal mengenaskan, kalau pun bahagia mereka tak sampai pada momentum pasca pernikahan jadi semua cerita itu berakhir semu, tak jelas ujungnya jadi biarlah cintaku kali ini pun tak berujung."

Danu menatap mata resah Hannan sekali lagi. Ia merasa iba. Setelah sekian tahun bisa jatuh cinta kembali, ternyata cinta Hannan berlabuh pada wanita yang jelas-jelas tak mungkin bisa dimiliki.

"Aku hanya ingin Abang bahagia."

"Aku bahagia dengan caraku."

.
.
.

Pesta pertunangan berlangsung lancar, dua keluarga itu terlihat bahagia. Mengeratkan lagi jalinan persaudaraan yang sempat hampir tak terjangkau. Wajah seringah Seno  saat menyematkan cincin di jari manis Ratna tak dapat disembunyikan. Sementara Ratna mati-matian berusaha terlihat bahagia meski jauh di lubuk hatinya ada rasa sepi di tempat yang penuh kerabat siang itu. Kelebat bayang laki-laki kekar yang telah membawa semua cintanya membuat butiran air mata hampir melompat tanpa ia minta.

"Aku tahu kamu tak ingin pertunangan ini, aku hanya penasaran laki-laki yang membuat kamu terpaksa menerima pertunangan ini." Seno merendahkan suaranya saat mereka duduk berdua setelah saling menyematkan cincin.

"Aku sedang tidak dekat dengan siapapun."

"Tapi kamu menyukai seseorang kan? Hatimu tertambat padanya, tapi kamu jangan khawatir Dik, aku yakin bisa mendapatkan hatimu, kamu akan jatuh cinta padaku tanpa butuh waktu lama!"

"Mas Seno kayak Romo, selalu yakin, yakinnya maksa."

Seno terkekeh pelan, ia tatap wajah cantik Ratna dengan riasan ringan, tubuhnya berbalut kebaya modern dengan riasan rambut yang menarik. Seno bagai mendapatkan durian runtuh, wanita yang pasti masih tersegel sempurna, patuh dan tak banyak menuntut dirinya harus bagaimana, jika memungkinkan ia tetap akan menjalin hubungan dengan Stephanie, tanpa harus menyakiti keduanya. Senyum lebar Seno seolah menggambarkan bahwa semua akan baik-baik saja, hidupnya juga akan penuh kemudahan. Lalu sejenak ia kaget saat ponselnya berbunyi, ia minta ijin sejenak ke taman samping, ia lihat ada nama Stephanie di sana.

"Ya Sayang?"

"Kamu jangan coba-coba lari dari hidupku, di apartemen kita, baju-baju kamu sudah tak ada sisa, akan aku kejar kamu ke manapun kamu sembunyi, kamu milikku! Ingat itu!"

🔥🔥🔥

18 Februari 2023 (12.24)

Double up

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top