2


Hannan sadar sejak awal ia melihat tatapan mata laki-laki bertubuh gempal dengan kumis tebal itu tak suka kepadanya dan sekali lagi ia tahu diri, sadar jika kehadirannya di rumah megah itu tak akan pernah diterima dengan ramah.

"Pak De memang gitu Bang, ke siapa aja, ke aku sebagai keponakannya saja su'udzon tok, jarno lah Bang, biarkan saja."

Ratna ke luar membawa nampan berisi kopi dan jajanan tradisional, sore seperti ini biasanya Mbok Tun rutin membeli kudapan itu untuk bapaknya dan tak ada salahnya ia suguhkan pada tamu yang memang ia harap kehadirannya.

"Monggo, Mas."

"Dik, kok tahu aja kalo kami sangat mengharapkan kopi." Danu terlihat semringah.

"Yo tahu pasti kan Mas Danu sama Mas Hannan ngerokok, kayak Romo pastinya lebih suka kopi kalau perokok."

Danu terkekeh sementara Hannan hanya tersenyum. Ratna akhirnya duduk tak jauh dari Danu. Ia melihat dua laki-laki yang duduk tak jauh dari tempat ia duduk mulai menyesap kopinya.

"Mulai besok akan saya kerjakan Dik Ratna."

"Oh iya Mas, jam berapa ya? Biar saya pindah barang-barangnya dan Mas akan mulai dari bagian mana?"

"Biar saya saja dan teman yang akan bantu saya mindah-mindah barang, dijamin nggak akan rusak kok Dik."

"Waaah makasih banget ya Mas." Mata Ratna berbinar indah dan Hannan hanya tersenyum melihat binar indah di mata Ratna, ia hanya bisa mengembuskan napas dan berusaha membuang sejauh mungkin perasaan aneh yang timbul sejak awal bertemu Ratna karena ia tahu Ratna tak akan pernah bisa ia raih, dari Danu akhirnya Hannan tahu jika Ratna dijodohkan dengan laki-laki yang bernama Suseno, masih ada hubungan keluarga dengan Ratna dan Danu.

Dari ekor matanya berkali-kali Ratna melihat kelebat bapaknya yang pura-pura lewat tak jauh dari teras. Akhirnya Hannan paham jika ia harus segera pulang, setelah kopinya tandas, ia pamit dan besok berjanji akan mulai mengerjakan apa yang diinginkan Ratna. Di pagar depan Hannan berbalik sekali lagi.

"Matur suwun sanget, Dik Ratna, kopinya manis."

"Kayak yang bikin ya Bang." Dan Danu terkekeh.

.
.
.

Suseno baru saja menerima telepon dari bapaknya, Suryo Sumirat yang mengabarkan jika Seno harus menyempatkan pulang, karena kondisi bapaknya yang sedang tak sehat dan perusahaan yang harus segera diambil alih, satu hal yang Seno tak suka karena ia harus dijodohkan dengan wanita kuper seperti Ratna, karena di tempat ia menyelesaikan studinya, ia sudah memiliki kekasih, bahkan mereka sudah hidup bersama sejak awal Seno di negara itu hanya tiap kali keluarganya datang, ia ungsikan ke tempat aman, dan Stephanie lama-lama tak tahan juga, ia ingin Suseno tak menyembunyikan dia dari keluarganya. Sebenarnya Seno sudah menyelesaikan studinya hanya ia selalu mengulur waktu untuk kembali ke tanah air, lebih-lebih sejak Stephanie mengajaknya bekerja di perusahaan properti milik keluarganya.

"Aku nggak mau jadi wanita nggak dianggap Seno, tunjukkan aku pada keluargamu!"

"Nggak semudah itu Steph, kita berbeda, darah kita berbeda itu yang nggak akan bisa diterima oleh keluargaku."

Stephanie mengeratkan gerahamnya menahan marah. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena ia sangat mencintai Seno, laki-laki yang bisa membuatnya nyaman, laki-laki yang tak mudah berpindah dari satu wanita ke wanita lain.

"Katakan pada keluargamu jika mamaku orang Indonesia, papa yang asli Melbourne, katakan juga pada orang tuamu jika harta orang tuaku tak akan bikin kamu miskin."

"Nggak akan ngaruh Steph, mereka lebih mengagungkan kemurnian keturunan dari pada sekadar harta dan lainnya."

"Aneh saja, di jaman modern kayak gini masih ada pemikiran seperti keluargamu, padahal kamu dan adikmu, Galih sudah mengenyam pendidikan di luar Indonesia, kuno pemikiran orang tuamu."

Seno memeluk Stephanie, ia dekap erat wanita yang sangat ia cintai, tapi ia tak kuasa menolak permintaan bapaknya, ia juga tak ingin kehilangan hak atas harta bapaknya yang melimpah.

"Aku janji, tubuhku hanya untuk kamu kalau pun aku harus menikahi Ratna, tak akan aku jamah tubuhnya, akan aku ceraikan dia setelah kami menikah selama enam bulan atau paling lama satu tahun, tunggu aku Steph, aku pasti kembali padamu, di sini."

Stephanie kembali hanyut pada ucapan Seno, ia percaya cinta laki-laki yang kini memeluknya dengan erat tak akan tergoyahkan dengan wanita pilihan orang tuanya karena berulang kali Seno mengatakan tak suka pada wanita itu.

.
.
.

"Mas Suryo Sumirat, jangan lupa perjodohan anak-anak kita."

"Mboten to Dik Joyo, pasti itu, tadi malam sudah saya telepon Seno agar segera kembali ke Indonesia, lah wong sudah selesai kuliahnya, dan agar segera menggantikan saya memimpin perusahaan keluarga, saya sudah ndak sehat Dik, jantung ini sudah minta istirahat dari segala rutinitas saya."

Joyo Hadi Kusumo, bapak dari Ratna yang sore itu berkunjung ke kediaman orang tua Seno terlihat lega.

"Mohon maaf loh Mas, bukan saya mekso agar segera diresmikan, anak-anak jaman sekarang kalo Ndak kita sebagai orang tuanya yang mengarahkan ke jalan yang benar siapa lagi?"

"Ndak masalah to Dik, jenengan mengingatkan saya, saya maunya secepatnya Ratna dan Seno dinikahkan tapi tetap ada proses tunangan, baru ke proses selanjutnya, dari tunangan ke proses nikah yo jangan lama-lama, saya selak momong cucu, lah wong adik Seno, si Galih juga betah melajang dan ada di Inggris sana, saya lak bingung to Dik, jadi ya Seno nanti tak pekso secepatnya nikahin si Ratna, enam bulan dari bertunangan mereka harus menikah."

"Setuju, Mas, matur nuwun sanget."

"Ya wes Dik, nanti kalau Seno sudah pulang saya akan secepatnya ke rumah Dik Joyo."

.
.
.

Seno menatap resah ke arah jalan, mobil yang ia tumpangi bersama bapak dan ibunya melaju dengan kecepatan sedang menuju rumah orang tua Ratna.  Secara resmi hari ini pihak keluarga Seno akan meminta Ratna untuk menjadi menantunya.

"Kamu akan terpana saat melihat Ratna yang sekarang." Rukmini, ibunda Seno menepuk bahu anaknya yang sejak tadi melamun.

"Halah, Bu paling yo gitu itu, diam, nunduk nggak banyak omong, isinan, kuno lagi dengan rambut panjang se pinggang."

"Leh Pak, piye anakmu, ki, gimana Seno loh Pak."

"Wes biar Bu, biar dia berjalan dengan pikirannya." Suryo Sumirat hanya bisa bersandar sambil memejamkan mata.

Sesampainya di rumah orang tua Ratna, Seno terlihat enggan turun. Pikirannya terus teringat pada Stephanie yang setia menunggunya nun jauh di sana.

"Ayo turun! Malah diem saja!"

Rukmini dan Suryo Sumirat, menatap ke arah Seno yang enggan bangkit dari duduknya, lalu mulai menggerakkan badannya setelah Rukmini dan Suryo mulai meninggalkannya.

"Den Seno, sana turun, biar tahu wajah uayu calon istrinya." Sopir keluarganya ikut-ikutan menggoda Seno.

"Halah Pak Sukri, paling yo tetep wae."

Suara riuh terdengar di telinga Seno, akhirnya ia melangkah pelan dan tertegun di mulut pintu saat ia melihat wajah cantik nan lembut seorang wanita berkulit langsat. Wanita itu masih berdiri sambil tersenyum, menatapnya sekilas lalu menunduk.

"Senooo, ayo masuk, itu Ratna loh, diem aja kamu, ayu kaaan, lain kaaan sekarang."

Seno tak menjawab pernyataan ibunya, ia hanya berpikir, alangkah berbedanya Ratna yang ia lihat terakhir sekitar lima atau enam tahun lalu.

17 Februari 2023 (12.14)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top