1


"Assalamualaikum, spada, permisi!"

Seorang laki-laki muda beserta temannya masuk ke sebuah hunian cantik dan nyaman, sebuah art gallery yang menawarkan bermacam karya seni berupa batik, patung bernuansa jawa, dan bermacam kerajinan tangan lainnya.

Saat akan masuk ke ruang tengah, Hannan terpaku pada patung loro blonyo yang menyambutnya dengan baju adat Jawa. Patung yang dikenal sejak masa kepemimpinan Sultan Agung dari Kerajaan Mataram pada tahun 1476. Patung wanitanya adalah simbolisasi dari Dewi Sri atau dikenal dengan Dewi Kesuburan. Sedangkan patung lelakinya adalah representasi dari Dewa Wisnu. Beberapa orang penyuka patung ini biasanya meletakkannya di ruang tamu sebagai pajangan.

Hannan terhenyak saat lengan berototnya ditepuk Danu, temannya yang akan mengenalkannya pada saudara sepupunya, sang empunya art gallery cantik ini dan kini tengah berdiri di depannya, sejenak Hannan terpaku, merasa baru kali ini melihat wanita ayu khas Jawa yang mampu membuatnya terpana.

"Wa Alaikum salam, eh Mas Danu? Monggo Mas silakan masuk." Suara renyah ke luar dari bibir berwarna baby pink dari seorang wanita cantik, berkulit langsat, dan Hannan betul-betul terpesona pada kecantikan khas Indonesia yang ada di depannya, wanita cantik kecil mungil berbanding terbalik dengan dirinya yang tinggi besar.

"Kenalkan ini saudara sepupuku, Dik Ratna, dan ini Hannan temanku yang akan melukis beberapa bagian di art gallery milikmu Dik, silakan kalian bicarakan bagaimana enaknya."

"Oh iya iya Mas, Monggo duduk saja ya."

Ratna menyadari tatapan Hannan yang tak lepas dari wajahnya dan ia merasa canggung, tapi Ratna berusaha tetap ramah pada laki-laki yang tak kunjung bersuara itu. Dan saat duduk barulah Ratna berbicara lagi.

"Begini Mas Hannan."

"Hannan saja, tidak usah Mas."

Dan Ratna merasakan suara bariton Hannan yang seolah masuk ke dalam jiwanya.

"Keren yo Dik, suarane, aku saja sing laki-laki sering terpaku kalau dia ngasi materi sana-sini tentang seni, suarane koyok bisa menghipnotis orang." Danu terkekeh dan Ratna hanya tersenyum, sementara Hannan hanya menarik bibirnya sedikit.

Tak lama Ratna menjelaskan apa yang ia inginkan, lukisan seperti apa saja yang harus dilukis Hannan, di dinding mana saja dan keduanya berjalan bersama mengitari gallery, sementara Danu terlihat asik dengan beberapa penjaga gallery yang sudah sangat ia kenal.

Hannan yang agak pendiam hanya menganggukkan kepalanya saat ia paham penjelasan Ratna.

"Ada yang perlu Mas tanyakan ke saya?"

"Tidak biar nanti jika ada apa-apa, saya nelepon ke Dik Ratna, tidak usah Mas sajalah, Hannan saja." Permintaan kedua Hannan tetap tak bisa dituruti oleh Ratna.

"Mas panggil saya Adik lah kok saya yang mau manggil nama saja, ndak sopan itu namanya, eh iya masalah biaya ..."

"Nanti setelah pekerjaan saya selesai."

"Oh iya, Mas."

Hannan semakin yakin bahwa hatinya tidak baik-baik saja dipertemuan pertamanya dengan wanita mungil nan cantik ini.

.
.
.

"Bang, tumben senyum-senyum sendiri? Biasanya juga pasang wajah datar."

Danu dan Hannan sudah berada di ruang opera milik Hannan, Hannan menyebutnya begitu, karena di ruangan yang cukup besar itu semua seni bisa diaplikasikan, dan teman-temannya sesama seniman sering mampir ke tempat yang dianggap cozy itu, tiap sudut bisa di jadikan tempat mencari ide, ada banyak lukisan Hannan di sana, yang kadang meski tidak ada niat untuk menjualnya ada saja yang tiba-tiba saja membelinya.

"Kamu kok Ndak bilang kalau punya saudara sepupu semanis itu." Hannan merebahkan tubuhnya di tempat yang biasa dijadikan tempat nongkrong, sebuah balai-balai dari bambu berukuran besar yang ia lapisi dengan kasur tipis yang terbuat dari kain tebal dan di dalamnya berisi kapuk pohon randu yang saat ini sudah jarang ada. Saat ini orang-orang kebanyakan lebih suka dan praktis dengan menggunakan darkcrwon.

"Waaah ... Alhamdulillah kalau Mas Hannan sudah jadi laki-laki normal lagi."

"Ck, kamu ini, aku sejak dulu laki-laki normal, tidak punya orientasi aneh-aneh." Hannan memejamkan mata.

"Alah Baaang, seniman di Jogja sini semua tahu kalau Abang setua ini nggak nikah-nikah kan karena patah hati ditinggal mati."

"Ralat ucapanmu! Aku belum tua, usia 34 itu matang, kalau kata orang Jawa 'mengkal' dan kata orang Madura 'maddhan', dan aku tidak patah hati karena Endang meninggal, aku hanya merasa jika jiwanya masih tertinggal di sini, itu saja dan perlahan-lahan dia menghilang, tak pernah datang lagi."

Hannan masih memejamkan matanya.

"Alah alesan Bang! Eh Bang, bangun Bang itu ada yang datang, kali aja ada yang laku lagi lukisan Abang."

Hannan bangkit, dan matanya menoleh ke arah pintu berukir yang menghiasi pintu gallerianya.

"Ah bukan, dia teman-temanku dari Sumenep sana, kami janjian akan pulang, ada upacara 'nyadar' di desaku di Pinggir Papas sana. Sik ya aku tak menemui mereka."

"Eh Baaang ikut kalau Abang pulang ke Sumenep ya!? Apa sih upacara nyadar itu Bang?"

"Nanti aku jelaskan, sik aku tak menemui mereka, paling juga janjian menentukan kapan kami akan pulang."

"Naik apa ke Sumenep, Bang!"

Danu berteriak agak keras saat tubuh jangkung Hannan semakin menjauh karena mendekati lima orang yang datang. Hannan menoleh.

"Naik kulit kacang! Ya naik buslah, atau mobil jelekku itu lak ada sih gitu aja tanya."

"Kali aja naik pesawat!"

"Eh ngece kamu, bisa naik pesawat kalo uangmu lebih, ada Bandar Udara Trunojoyo di Sumenep, dah lah nanti lagi ngocehnya."

.
.
.

"Siapa laki-laki urakan di depan sana Ratna? Bertato pula, rambut dikuncir, tumben kamu punya teman nggak aturan gitu?"

Langkah Ratna terhenti ia menunduk tanpa berani menatap bapaknya.

"Dia seniman Romo, yang akan melukis di beberapa dinding, di gallery milik keluarga."

"Apa ndak ada seniman lain yang lebih 'gennah' tampilannya, nggak biasanya kamu bawa teman laki-laki ke sini, awas kamu jangan macem-macem, ingat kalau Suseno adalah calon yang tepat untuk kamu, saat ini dia masih mengejar S-3nya di Australia sana, ndak usah aneh-aneh kamu atau aku larang kamu ke luar rumah lagi kayak dulu."

Ratna menatap mata bapaknya sekilas lalu menunduk lagi.

"Saya masih muda Romo, baru saja selesai berkuliah, saya ingin melebarkan pengetahuan saya dulu hingga cukup pengalaman saya."

"Pinter mbantah saiki, apa diajari sama temanmu yang tatoan itu?"

"Di luar ada Mas Danu juga Romo, tiap kali kami bertemu pun selalu ada Mas Danu, kami tidak pernah bertemu berdua, saya masih ingat semua pesan Romo untuk menjaga martabat keluarga."

"Bagus kalau kamu masih ingat, aku ndak ingin darah ningrat kita dikotori oleh darah dari keturunan yang ndak jelas!"

Dan hati Ratna betul-betul sakit, karena sejak awal bertemu entah mengapa Ratna merasakan aura berbeda pada laki-laki bertampang urakan dan sangar namun bersikap sangat lembut itu.

💔💔💔

16 Februari 2023 (05.21)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top