Bab 1
Kabar Mengejutkan Saat Masih Berduka
Pengajian baru saja selesai. Para santri yang kami undang satu-satu meninggalkan ruangan sambil membawa bingkisan. Sejak beberapa tahun lalu seminggu sekali kami rutin mengundang warga dan para santri untuk mengaji di rumah, mendoakan keluarga kami yang telah wafat maupun yang masih hidup agar mendapatkan keberkahan.
Bi Imah dan Mang Sodik sigap membereskan tikar dan karpet sisa pengajian tadi. Dan aku masih duduk di pojok ruangan. Mengingat banyak kenangan tentang almarhumah ibuku. Dulu almarhumah Mamah paling semangat mengadakan acara seperti ini.
"Ngelamun aja, dipanggil Bapak tuh, ke atas!"
Tepukan di bahu menyadarkanku. Kutoleh kakakku satu-satunya yang memakai baju koko putih serta sarung. "Ada apa, Bang?"
"Katanya ada hal penting yang mau dibicarakan."
"Soal warisan?" Tanyaku.
"Mungkin. Ayok! "
Aku mengangguk dan segera berdiri, lalu menyusul abangku yang berjalan beberapa langkah di depan.
Di lantai 2, bapak duduk di sofa ruang keluarga. Ruangan ini penuh kenangan dengan almarhumah Mamah. Di sinilah kami sering berkumpul dan berinteraksi.
Melihat kami datang, bapak menaruh rokok di tangannya ke sebuah asbak di hadapannya.
"Duduk!"
Aku dan Bang Ega duduk di sofa depan bapak yang masih memakai baju koko seperti Bang Ega. Kami diam menunggu bapak yang memulai pembicaraan. Sejak dulu bapak adalah tipe orang yang tak banyak bicara dan sedikit otoriter.
Bapak mengambil napas dalam-dalam sebelum mulai bicara. "Sudah 2 minggu ibu kalian wafat, bapak sendirian sekarang,"
"Bapak nggak sendiri ada aku dan Vera yang akan terus mengurusi Bapak." Sela Bang Ega.
"Bapak tahu soal itu, tapi Bapak butuh teman."
"Aku bisa jadi teman bicara Bapak." Giliran aku yang menyela.
"Bukan teman bicara, maksud bapak teman hidup,"
"Istri maksud Bapak?" Bang Ega bertanya dengan nada yang lumayan tinggi.
Bapak mengambil rokoknya, menyesapnya lalu memberi anggukan sebagai jawaban dari pertanyaan Bang Ega.
Hatiku bergemuruh mendengar jawaban bapak. Orang yang kuduga akan mencintai ibuku sepanjang hidupnya ternyata tak sanggup ditinggal sebentar saja. "Tapi Mamah baru dua minggu meninggalkan kita, masa Bapak tega langsung mau nikah lagi?" protesku.
"Bapak punya kebutuhan yang kalian tidak bisa penuhi, kamu paham maksud Bapak 'kan, Ga?"
Dengan wajah cemberut Bang Ega mengangguk. "Tahan dulu lah, Pak. Apa kata tetangga kalau Bapak yang baru kehilangan Mamah udah buru-buru nikah lagi?"
Aku tahu yang bapak maksud adalah kebutuhan biologis. Hanya segitukah batas cinta bapak pada almarhumah mamah? Bukankah cinta seharusnya sepanjang hidup kita?
"Orang lain malah istrinya masih hidup banyak yang nikah lagi." Bapak menjawab dengan nada yang tak kalah tinggi dari Bang Ega.
"Bapak nggak sayang sama almarhumah mamah sampe mau nikah lagi?" tanyaku dengan nada bergetar. Air mata ini serasa mau tumpah, mengingat begitu besar pengabdian Mamah pada Bapak.
"Mamah kalian kan sudah meninggal, bapak sudah jadi duda, jadi boleh dong bapak nikah lagi, ajaran agama juga tidak melarang." kilah Bapak.
"Tapi Pak, kita ini masih berduka masa mau adakan pesta pernikahan?!" protes Bang Ega.
"Bapak nggak perlu pesta, yang penting sah secara agama."
Tanganku mengepal kuat, ingin rasanya aku marah. "Pak, tahan dikit kenapa sih nafsu Bapak itu. Jangan buru-buru nikah!"
"Kamu belum nikah, mana ngerti kamu soal kebutuhan biologis laki-laki!" hardik bapak padaku.
Bang Ega mengambil napas dalam-dalam lalu melontarkan pertanyaan, "Emang Bapak udah punya calon?"
"Sudah, dan minggu depan akan Bapak lamar." jawabnya ringan.
Minggu depan? Secepat itu? Apa selama mamah sakit bapak sudah punya hubungan spesial dengan perempuan itu?
Berbagai pertanyaan menghantui benakku.
"Bapak mau lamar dia minggu depan? Memangnya sudah kenal dia berapa lama?" Pertanyaan Bang Ega seakan mewakili pertanyaan di benakku.
"Belum lama, tapi bapak udah cocok sama dia."
"Gak bisa, Vera gak setuju!" protesku.
Bapak bangkit sambil memegang rokoknya. "Bapak tidak perlu restu kalian untuk menikah lagi." Lalu pergi setelah mengucapkan kalimat yang sangat menyakitkan itu.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top