Pagi Setelah Dipecat

Di kursi teras kos, Dayat Sudrajat bergelut dengan pikirannya untuk menghasilkan uang. Satu malam di kamarnya yang ber-AC tidak mampu meredakan panas yang bergejolak karena frustrasi. Di sisi lain, suhu panas Jakarta Selatan juga tidak mampu mencairkan sirkulasi otaknya yang tersendat kala memikirkan hal apa yang harus dirinya lakukan kedepannya.

"Apa mending urang depo judi online aja kayak kata Saipul, ya? Tapi masa urang harus main barang haram, sih? Lamun(8) Umi sama Abah hapal urang main barang haram gitu, kira-kira bakal gimana, ya? Lamun Umi sama Abah kebawa masuk neraka gara-gara urang main judi online gimana?"

Pria itu merobohkan tubuh ke punggung kursi sembari melihat Pak Alfian, satpam kos yang tengah menyapu halaman. Senin ini adalah pagi terakhir di minggu keduanya tinggal di Arsha Kos, itu artinya tinggal dua minggu bonus lima hari lagi bayar kos akan jatuh tempo. Semangat membara yang menuntunnya untuk memutuskan merantau ke Jakarta telah sepenuhnya padam.

Ponselnya yang tidak memiliki secercah pun semangat hidup ada di pangkuannya, membuat aura kelam Dayat semakin kuat kala meraba wujudnya. Di perutnya ada sebuah lambung yang harus dinafkahi. Di rekeningnya ada dana yang harus di isi. Dan di pundaknya ada harapan besar orang tua yang ingin ia dipenuhi. Jika tidak kerja, bagaimana Dayat harus menyuapi semuanya?

Di saat pikiran buruknya makin menggumpal, pintu kos yang terbuka berhasil membuyarkan fokus pada lamunan paginya. Dayat menoleh ke sosok wanita karir yang bekerja sebagai kru di salah satu program televisi itu. Almira, yang sibuk nerapikan poni lantas menampakkan senyum karirnya ke sosok Dayat Sudrajat yang putus asa.

"Pagi, Mas Dayat."

"Pagi juga, Mbak Almira."

Almira melengos, ingin segera mengakhiri percakapan dengan menatap layar ponsel. Ia meniup poninya yang lepek dan membetulkannya kembali sebelum melanjutkan langkah.

"Oh iya, Mbak. Di kantor Mbak ada lowongan gak?"

"Lowongan? Kemarin aja kerjaan jadi cleaning service Mas Dayat langsung minggat. Baru sehari lho itu." Wanita itu berhenti lalu melirik Dayat sembari mengernyitkan alis. "Yang kena tegur Mas Dayat kabur itu saya, lho!"

"Maaf, atuh, Mbak. Waktu itu saya kan langsung dapet panggilan dari agensi pemasaran." Dayat tertawa canggung. "Tapi, beneran gak ada lowongan lain gitu, Mbak?"

Almira membetulkan tasnya yang sedikit merosot. "Gak tau, Mas. Kalau ada nanti saya WhatsApp."

"Ah, iya atuh kalau gitu mah. Makasih, Mbak."

Wanita itu pergi setelah mengangguk. Pak Alfian yang menjadi satu-satunya tontonan Dayat di teras kos telah kembali ke posnya. Seandainya ponsel Dayat saat ini masih berfungsi, ia pasti akan mencari ide untuk keluar dari kondisinya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya selain sibuk mematung dan menyimak keributan Bu Wati di depan kamar Neng Emma Wati.

Saat Dayat akan terlarut kembali dengan pikirannya, Saipul yang berwajah dekil tiba-tiba muncul sembari menggondol tas hitam lapuk di pundaknya. Dayat tidak perlu bersikeras berpikir mengenai apa isi dari tas itu. Ia sudah paham dengan kebiasaan Saipul yang gemar nebeng di kamarnya. Pria jangkung kurus itu berbincang sejenak dengan Pak Alfian lalu menghampiri Dayat.

"Maneh gak jaga parkiran?"

"Gue teh juga butuh libur, atuh!" Ia mengeluarkan rokok dari kantong depan tas dan langsung memasukkannya kembali saat mata tajam Pak Alfian tertuju padanya. "Elu teh kan juga liat kalau gue dapet 4 juta kemaren. Jadi kalem aja. Masih ada junior gue yang jaga."

"Terus maneh mau ngapain ke sini? Bayar uta—"

"Ah, elu mah. Kalem dulu atuh." Saipul duduk dan melanjutkan, "yakali gue teh gak nemenin sobat perantauan bongsor gue yang lagi galau?" Ia mengeluarkan Iphone-nya dan melihat lambang wi-fi yang masih belum tersambung. "Ini password wi-fi kos diganti, Yat?"

Dayat melempar ponselnya ke meja dan menunjuk ponselnya secara sopan santun. Dengan poin kecerdasan yang sangat rendah, Saipul membutuhkan waktu lebih dari sepuluh detik sebelum menyadari maksud Dayat yang menunjuk ponselnya dengan kedua jari jempol.

Bara keluar dari kos sembari menenteng ranselnya. Pria bertubuh atletis itu refleks menyipitkan mata saat melihat wajah sobat Dayat. Kala melihat pakaian lusuh Saipul, pria yang wajahnya hampir menyerupai personel boyband Korea itu menggaruk leher, tak kuasa membayangkan kain yang kualitasnya berbeda jauh dengan pakaian trainingnya itu menempel di tubuhnya. Keningnya turut berkerut kala melihat tas tipis nan buluk di pangkuan Saipul, menyiratkan rasa jijik yang teramat mendalam seperti melihat tumpukkan sayuran busuk di bak sampah.

"Mira udah keluar, Yat?"

"Udah, Bang. Tadi gue teh ketemu dia pas mau masuk sini," jawab Saipul saat Dayat baru akan membuka mulut. "Password wi-fi apa, Bang?"

"Lo siapa, sih? Kok suka banget sok asik? Ngekos di sini juga enggak, malah nanya password wi-fi. Gue nanya Dayat, tapi malah lo yang jawab. Gue laporin ke Bu Wati sama Bu Airin mampus lo."

"Udah lah, Bang. Mainannya jangan lapor-laporan ... kayak anak kecil aja. Gue cuma nanya password wi-fi ribet amat. Lagian, percuma juga gue mandi, orang kontrakan gue teh airnya kayak comberan, bau. Mau pake sabun mahal juga tetep bau."

"Oh, pantesan," jawab Bara yang membuat tawa Saipul seketika terhenti. "BTW, Yat. Lu gak cek grup WA kos? Bu Airin dari kemarin nanyain lu."

"Elu gak bisa liat, Bar?" Saipul meniru Dayat yang menunjuk ponselnya dengan sopan, "hape si Dayat rusak kena banting mangkok antipecah tipu-tipu."

Bara berkacak pinggang dan mendengkus kesal. Saipul mengangkat pundaknya lalu membuka Tiktok yang menyuguhkan tarian jedag-jedug gadis remaja cantik dengan pakaian seadanya.

"Rusak apanya, Yat? LCD-nya?""Gak tau, Bar. Tapi kayaknya mah kalau retak gini emang LCD-nya yang kena."

Bara mengangkat kedua tangan dan mulai meregangkan tubuh. "Lo coba aja cek ke konter deket gym gue. Kata klien gue yang pernah benerin hape di sana, konternya bag—"

Kalimat Bara terhenti saat mahasiswa laki-laki yang juga menghuni lantai dua keluar kos keluar dengan wajah melas. Bara mengerling lalu melanjutkan pemanasan ke otot kaki.

"Tumben rame begini. Lu semua bahas tagihan kos yang naik?" tanya Miko. "Padahal lagi inflasi, tapi Bu Kos kepikiran aja buat naikin harga."

"Hah? Harga kos naik?" Dayat melongo mendengar pernyataan yang baru di dengarnya. "Yang bener ini teh?"

"Gue duluan, ya, Yat."

"Eits, jangan dulu pergi, Bar!" Miko meraih pundak pria itu. "Kalian lagi bahas tagihan kos yang naik jadi 1,7 juta, kan?"

"Astagfirullah, Mik. Naiknya beneran jadi 1,7 juta?"

"Sotoy, lo, Mik. Ngapain juga bahas uang kos naik jadi 1,7 juta? Bukannya dari awal udah tau kalau 1,5 juta itu harga promo dari Bu Airin?"

"Kita teh lagi bahas hape Dayat yang kena banting sama bahas Dayat yang baru kena dipecat, Bang Mik."

Miko mengangguk seolah memahami semua jawaban yang keluar secara bersamaan dari mulut Dayat, Bara, dan Saipul. "Oh, begitu. Gue masuk sini dibayarin Marlo, jadi gak tau kalau Bu Wati bilang 1,5 juta itu harga promo. Makanya gue kaget waktu dapet info kos harus bayar 1,7 juta bulan depan. Terus apa? Ah, nyari kerja, ya?

"Gue kerja jadi barista hari Senin sampai Jumat terus kerja jadi tukang servis elektronik hari Sabtu sama Minggunya. Gue ngerti kok kalau nyari kerja itu susah, Yat, soalnya gue juga pernah tinggal di warnet." Miko menyilangkan tangan dan mengangguk dengan takzim.

"Kunci buat dapet kerja itu yang penting itu lu niat dulu kayak gue. Lagian, kalau dipikir-pikir miris banget gak sih sistem tata negara kita yang sekarang? Padahal tugas pemerintah mengatasi pengangguran, tapi rezim pemerintahan malah—"

Bara yang terlalu kesal mendengar ocehan Miko menarik kerah bajunya, membuat laki-laki berambut agak keriting itu bergidik takut.

"Lu mabok apa lagi, hah! Masih bocil sok bacot rezam-rezim pemerintahan, muak gue dengernya!"

***

(8) Lamun: Kalau.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top