{5}: Ponsel Luna Memuntahkan Kode

Pintu gudang terbuka dengan keras, membuat ruangan yang remang-remang itu menjadi lebih terang. 

Mata Luna mengabur oleh rasa sakit, namun ia tetap sadar bahwa banyak orang yang berkumpul di sekitar gudang dan mereka semua histeris.

Beberapa orang membantu Luna, sambil menggumamkan kata-kata penenang. Mereka bermaksud untuk membawa Luna pergi dari gudang ketika sebuah tangan dengan kasar mendorong Luna sehingga ia terjatuh, membuat tubuhnya terasa seperti terbakar.

"Lo ngapain Valdi?!" bentak orang itu. Luna berusaha memfoukskan pandangannya, dan akhirnya dia sadar siapa orang itu, Raga.

"G-gue nggak ngapa-ngapain dia. Gue--"

"Bohong! Mana mungkin lo nggak ngapa-ngapain dia?! Di gudang ini cuma ada lo sama V-valdi," bentaknya lagi. Luna merasakan sebuah tangan menamparnya. Tangan Raga.

"Lo buta apa gimana sih?! Lo nggak liat apa gue juga babak belur kayak gini? Lo pikir kalau gue bunuh Valdi gue bakal nyakitin diri gue sendiri? Kalau gue bunuh Valdi, gue bakal manggil lo? Punya otak kan?!" bentak Luna sambil memegangi pipinya yang sakit.

Raga tampaknya tidak mendengar. Ia baru saja hendak membentak lagi ketika beberapa orang muncul dari gudang. Guru-guru dan beberapa murid.

Para guru memerintahkan para murid untuk segera pergi meninggalkan gudang dan membawa Luna ke UKS. Namun Raga tampaknya masih tidak terima. Ia kembali menampar Luna.

"Lo bilang sama Valdi kalau dia harus jauhin mesin pemotong rumut. Gimana lo bisa tahu, ha?! Itu peringatan dari lo buat Valdi kalau lo mau bunuh dia, dasar--"

"Ga, udah!" bentak seseorang yang langsung menghampiri Raga dari ambang pintu, Arga.

"Saya perintahkan sekali lagi, bagi para murid, segera tinggalkan tempat ini. Dan tolong bawa Luna ke UKS," kata Pak Jamal dengan tegas.

Dengan itu, para murid pun langsung meninggalkan gudang. Kecuali Raga. Yang sedang menangisi kepergian sahabatnya.

{~~}

Kata seorang guru yang mengunjungi Luna di UKS, luka yang diderita Luna cukup parah, jadi gadis itu harus dibawa ke rumah sakit.

"Orangtuamu akan datang sebentar lagi," kata guru itu. "Mereka yang akan membawamu ke rumah sakit. Oh ya, eh--beberapa pihak ingin berbicara denganmu juga. Tapi sebelum itu, berisitirahatlah dulu."

Luna mengangguk. "Terima kasih."

Guru itu pun berlalu pergi. Beberapa saat kemudian, seseorang memasuki UKS dan mendekat ke ranjang tempat Luna berbaring.

"Lo pasti Arga," gumam Luna. "Bukannya gue bisa bedain atau apa, tapi Raga nggak mungkin ke sini."

Arga terekekeh. "Iya ini Arga." Ia kemudian menarik kursi dan duduk di sebelah ranjang Luna.

"Lun, maafin Raga, ya. Dia--"

"Nggak."

"Lun, ayolah. Dia cuman lagi terpukul," kata Arga.

"Iya tapi nggak perlu kan bentak-bentak gue sampe nampar gue gitu? Dia pikir gue nggak sakit apa? Dia pikir gue nggak kaget apa, gue tau gue salah tapi--"

"Lo nggak salah, Lun," potong Arga. "Mana ada sih orang yang bisa memprediksi kematian?"

Kalau tidak cukup kesakitan, Luna pasti terbahak-bahak dengan sinis sekarang.

Untungnya Luna tidak perlu menjawab pertanyaan Arga karena kedua orangtuanya tiba-tiba menghambur masuk dan membuat Arga harus pergi.

"Luna," kata ibunya dengan panik. "Kamu KBT lagi, Sayang?"

"Lebih parah," jawab Luna.

"KBT dan Ada-Di-TKP?" tebak ayahnya.

Kejadian ini memang sudah tidak asing lagi. Dulu, ketika Luna masih belum terlalu bisa mengendalikan keBansheeannya, ia sering sekali berteriak-teriak setelah itu, tiba-tiba--tanpa ia sadari--ia sudah berada di TKP kasus yang berkaitan dengan kematian.

"Ya, seperti itulah," jawab Luna. Walaupun itu tidak sepenuhnya benar. Sebab, ia telah ada di TKP sebelum tempat itu merenggut nyawa seseorang--kejadian yang belum pernah dialami olehnya sebab ia selalu ada di TKP dan menemukan mayat.

Ibunya memeluk Luna. "Kamu tadi ke rumah nenek, ya?"

Luna mengangguk. "Ada yang aneh aja rasanya. Jadi aku ke rumah nenek."

Ibunya mengangguk. "Baiklah. Ayo, Sayang, kamu harus ke rumah sakit."

{~~}

Beberapa hari kemudian Luna kembali bersekolah dan ia langsung diserbu banyak pertanyaan.

"Kenapa lo bisa ada di sana?"

"Ngapain lo di sana?"

"Digebok pake garpu rumput sakit nggak, Lun?"

"Emang beneran Pak Dani yang bunuh si Valdi? Ih padahal selama ini gue bantuin Pak Dani nanemin bunga."

Luna memang telah memberikan kesaksian kepada pihak-pihak yang menanyainya macam-macam. Ia nyaris jujur sepenuhnya, hanya saja, ia kan tidak bisa bilang bahwa ia datang ke sana karena ia Banshee yang bisa meraskan kematian. Jadi, ia hanya berkata bahwa ia dulu punya pengalaman buruk dengan mesin penggunting rumput dan begitu tahu Valdi disuruh bekerja dengan mesin itu, Luna langsung panik dan datang ke sekolah.

"Bohong!" bentak Raga waktu itu, masih tidak terima.

Luna sudah sering menghadapi yang seperti Raga ini. Selama ini ketika ia sampai di TKP--tempat seseorang meninggal--lebih dulu dari orang lain, beberapa orang menganggapnya pembunuh lah, orang aneh lah, pokoknya hal-hal yang menyebalkan. Padahal, kalau tidak ada Luna, mayat itu bisa saja belum ditemukan sampai sekarang.

"Mereka akan berterima kasih padamu kalau mereka tahu," kata neneknya waktu itu--berusaha membesarkan hatinya.

"Tapi mereka nggak akan pernah tahu," balas Luna kepada neneknya.

"Halo!" sapa Gina sambil nyengir-nyengir. Ia langsung duduk di sebelah Luna di kelas. "Lo udah nggak apa-apa kan?"

Luna tersenyum. "Nggak apa-apa kok."

"Sumpah ya, gue jadi kesel banget sama Raga sekarang," gerutu Gina sambil memukul-mukul meja dengan mata berapi-api--bukan secara harfiah, tentunya. Dia kan bukan naga terbang atau apa. "Masa nyalahin lo sih? Gila kali tuh anak."

Luna terkekeh. "Udah biasa."

"Biasa?" tanya Gina heran.

Yah, keceplosan.

"Eh iya, gue emang kadang secara kebetulan suka ada di tempat TKP kematian gitu, deh. Terus yah, orang kayak Raga udah biasa gituin gue," jawab Luna akhirnya.

"Serius? Keren banget lo. Udah kayak Banshee aja," komentar Gina sambil terkekeh.

Lunya nyaris tersedak.

Untungnya Luna tidak perlu menjawab karena tiba-tiba, Maya, pacar--atau mantan pacatr--Valdi datang menghampiri Luna dengan wajah masam.

"Kenapa lo bisa ada di sana?" tanyanya dengan nada suara monton. Membuat Luna bergidik.

"Gue udah jawab pertanyaan kayak gitu ratusan kali, May. Masa lo belum denger?" tanya Luna tidak percaya.

Maya mengangguk. "Gue tahu. Lo takut mesin pemotong rumput. Tapi, gue masih merasa itu terlalu mengada-ngada. Gue nggak nyangka pihak kepolisian dan kawan-kawannya percaya sama omong kosong lo. Jadi, gue mau nanya sekarang. Kenapa lo bisa ada di situ?"

"Lo mau gue ngomong apa lagi? Orang emang beneran itu kok alasannya," jawab Luna kesal.

Maya memutar kedua bola matanya. "Gue bakal nyari tau sampe gue tau alasan yang sebenarnya. Gue nggak akan nyerah."

Luna terkekeh merendahkan. Ia berdoa dalam hati semoga rasa paniknya tidak tampak dengan jelas. "Ya udah, terserah."

Tanpa berkata apa-apa lagi, Maya berbalik dan melangkah ke luar kelas.

{~~}

"Ngeselin banget anjir si Maya. Pengen gue makan," gerutu Gina begitu Maya pergi meninggalkan kelas mereka.

Luna terkekeh. "Makanlah."

Gina tidak memedulikan ucapan Luna, ia terus mengomel. "Lo tau nggak sih, Maya itu sahabatnya Hana. Nah, Hana pasti kesel sama lo, karena--"

"Hana?" tanya Luna bingung.

"Lo nggak tahu Hana?" tanya Gina.

Luna menggeleng.

"Anak kelas sebelas. Pacarnya si Raga. Nah, karena pacar dan sahabatnya kesel sama lo, dia pasti ikut-ikutan kesel sama lo," kata Gina.

"Buset. Nggak punya pendirian amat, komentar Luna.

Gina mengangguk setuju. "Emang. Nah, karena Raga, Hana, dan Maya itu adalah sekumpulan anak-anak populer, lo bisa aja disebelin sama satu sekolah."

"Oke, kayaknya semua murid di sekolah ini kayaknya nggak punya pendirian, ya," komentar Luna.

Gina terkekeh. "Kecuali lo, gue, dan segelintir orang yang benci sama popularitas."

"Lo bukannya dulu sangat menggemari Raga, Arga, dan kawan-kawannya yang tergolong populer?" tanya Luna.

"Males," jawab Gina. "Mereka nggak punya otak."

"Semua orang punya otak," koreksi Luna sambil terkekeh. "Bedanya otak mereka nggak kepake."

Gina terkekeh.

"Eh, ngomong-ngomong, gue masih nggak percaya lho Pak Dani ternyata pembunuh," kata Gina sambil bergidik. "Padahal dia baik banget."

Luna mengangkat bahu. "Gue juga kaget."

"Kenapa ya dia bunuh Valdi?" tanya Gina.

Sebelum Luna bisa menjawab, ponselnya berbunyi. Ia pun merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Begitu melihat layar ponselnya, ia menahan napas.

Di layar ponselnya, terdapat banyak kode. Seperti yang pernah ditunjukkan oleh neneknya beberapa tahun silam. Dan Luna tidak bisa melakukan apa-apa kecuali ia tahu kunci untuk membuka kode yang seperti ini:

8719073H^820N614236(*&NHUIHBJU&%%

GUSGYUGYUW76179081&(&()*_0JHSIHSKAJS

gugGSIUGQU717iuty*&^&*&^(JMKASH879W871

8719073H^820N614236(*&NHUIHBJU&%%

GUSGYUGYUW76179081&(&()*_0JHSIHSKAJS

gugGSIUGQU717iuty*&^&*&^(JMKASH879W871

8719073H^820N614236(*&NHUIHBJU&%%

GUSGYUGYUW76179081&(&()*_0JHSIHSKAJS

gugGSIUGQU717iuty*&^&*&^(JMKASH879W871[]

a.n Raga ngeselin ya, pengen dimakan aum.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top