{16}: Rumah Pohon
Luna membanting tubuh ke kasurnya. Ia berbaring menatap langit-langit sambil mengingat-ingat apa yang baru saja ia lakukan--ia baru saja menyelamatkan nyawa seseorang--orang yang tidak ia kenal. Akhirnya, kemampuan Bansheenya bisa berguna juga.
Lamunan Luna diinterupsi oleh dering ponsel Luna, menandakan ada pesan masuk. Luna bangkit dengan malas dan berjalan mengambil ponselnya yang tergeletak di meja belajarnya.
Angkasa Arega Gentar: Siap siap ya. Gue jemput lo bentar lagi
Luna: hah?
Angkasa Arega Gentar: Gue bakal jemput lo bentar lagi, jadi lo siap-siap, ya. Jelas kan?
Luna: Tapi lo baru aja nurunin gue di rumah...
Angkasa Arega Gentar: Ada sesuatu yang mendadak yang perlu dibicarain orangtua gue
Luna: Ooh
Angkasa Arega Gentar: Iya. Buruan ya. Gue udah mau nyampe, nih.
{~~}
Jadi, di sinilah Luna, di dalam mobil Arga yang tengah melaju di jalanan. Namun, bukan jalanan menuju rumah Arga.
"Ga, kita mau ke mana?" tanya Luna bingung.
Arga tersenyum miring. "Liat aja nanti."
"Bukannya tadi lo bilang kalau ada yang mau orangtua lo bicarain?" tanya Luna sambil menyipitkan matanya.
Arga terkekeh sambil melambaikan tangannya. "Gue kan udah bilang, gue nggak suka bohong, jadi tenang aja, gue nggak bohong, kok. Emang ada yang perlu dibicarain orangtua gue--tapi gue kan nggak bilang kapan."
"Maksud lo?" tanya Luna.
"Maksud gue, ya, orangtua gue masih ada kerjaan. Nanti, waktu mereka udah selesai, baru kita ke rumah gue," jawab Arga sambil nyengir.
Luna memutar kedua bola matanya. "Terus ngapain lo nyuruh gue cepet-cepet? Lo tau? Gue capek. Abis ngikutin Eira, bla bla bla, gue pengen tidur."
"Ya udah, tidur aja sekarang," kata Arga. "Tenang. Nggak bakal gue apa-apain," tambahnya.
Luna menggeleng. "Gue nggak bakal tidur. Gue nggak bakal lengah. Nanti kalau gue tidur, bangun-bangun gue udah ada di tempat aneh-aneh lagi."
Namun pada kenyataannya, beberapa menit kemudian, Luna terlelap.
{~~}
"Lun, bangun. Udah nyampe," kata Arga sambil mengguncang-guncangkan bahu Luna dengan lembut.
Mata Luna mengerjap terbuka. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia berada di pekarangan sebuah rumah sederhana yang tampak asri.
"Lo bawa gue ke mana?" tanya Luna sambil turun dari mobil.
"Rumah lama gue," jawab Arga sambil nyengir.
"Dan kenapa lo bawa gue ke rumah lama lo?" tanya Luna bingung--bukan berarti dia tidak senang, rumah ini terlihat sangat nyaman, namun tetap saja kan--aneh.
"Ada yang pengen gue tunjukkin ke lo," jawab Arga. Ia mengamit lengan Luna dan menggiring cewek itu masuk ke dalam rumah lamanya.
Luna mengikuti Arga sambil menerhatikan keadaan rumah lama cowok itu. Rumah itu bisa dikatakan nyaris kosong, nyaris tidak ada perabotan lagi di dalamnya kecuali beberapa meja dan kursi.
"Kenapa rumah ini nggak dijual aja?" tanya Luna penasaran.
"Karena gue nggak mau. Yah, sebenernya orangtua gue udah berencana buat ngejual rumah ini dan gue ngamuk. Gue sampe kabur dari rumah," jawab Arga.
"Lebay banget," komentar Luna. "Emang kenapa lo sampe segitunya saking nggak mau rumah ini dijual? Emang ada apa sama rumah ini?"
Arga membuka pintu yang menuju ke halaman belakang rumah sambil berkata, "Ada ini."
Pada awalnya, Luna tidak mengerti apa yang Arga katakan, sampai pandangannya terjatuh pada sesuatu di pojok kanan halaman. Rumah pohon--satu-satunya yang tersisa di halaman belakang itu.
"Rumah pohon?" tanya Luna tidak percaya. "Lo nggak mau rumah ini dijual cuman karena rumah pohon? Lo nggak mikir kalau orangtua lo butuh uang atau gimana gitu?"
Arga mengangkat bahu. "Orangtua gue nggak pernah kekurangan. Gue tau itu," jawab Arga. "Dan rumah pohon itu bukan sekadar rumah pohon."
Luna menatap Arga dengan bingung. "Maksud lo apa?"
Arga tidak menjawab. Ia hanya mengamit lengan Luna dan menuntun gadis itu menuju rumah pohon.
"Gue manjat duluan, ya," kata Arga sambil mulai menaiki tangga menuju rumah pohon. "Gue kan bukan tukang pencari kesempatan dalam kesempitan."
Luna memutar bola matanya. "Gue kan gak pakai rok."
"Tetep aja."
"Kalau gue kepeleset gimana?" tanya Luna sambil mulai memanjat.
"Ya... jatoh."
Luna menutar kedua bola matanya lagi. Beberapa saat kemudian, ia akhirnya sampai di rumah pohon Arga.
Rumah pohon itu sederhana. Di dalamnya hanya terdapat sebuah meja, dua buah kursi, dan sebuah rak buku kecil.
Arga duduk di salah satu kursi sambil melambaikan tangannya ke kursi satunya. "Duduk di situ, Lun."
Luna pun duduk di kursi satunya sambil memandang ke sekeliling. "Well, bagus, sih. Tapi gue nggak ngerti kenapa rumah pohon ini bisa sampe bikin lo ngamuk karena nggak pengen rumah ini dijual."
"Karena gue punya cita-cita," jawab Arga. "Cita-cita mulia yang berhubungan dengan rumah pohon ini."
"Apaan? Lo mau jadi dokter yang buka praktik di rumah pohon?" tebak Luna asal.
Arga memutar kedua bola matanya. "Bukan. Jadi gini, dulu pas masih kecil--mungkin SD--gue sama Raga berandai-andai tentang apa yang bakal kita lakuin ke cewek yang kita suka pas udah gede. Jangan ketawa, Lun, tolong. Nah, Raga bilang dia pengen kata-kata terakhirnya sebelum mati itu dtujukan buat cewek itu. Dan gue berpikir gue nggak mau yang seserem itu, jadi gue minta Papa buat bikin rumah pohon," cerita Arga. "Dalam pikiran seorang anak SD bego bernama Arga, dia nggak bakal ngebolehin satupun orang masuk ke rumah pohon ini. Arga kecil nyiapin dua kursi. Satu buat dia, dan satu buat cewek yang dia suka. Tapi anehnya, pikiran bego itu bertahan. Gue nggak mau suka sama cewek sembarangan--gue mau yang duduk di kursi satunya di rumah pohon ini cuman dia. Arga kecil berpikir kalau kursi satunya cuman buat satu cewek. Seseorang yang spesial. Dan gue nggak mau terburu-buru ngajak cewek buat duduk di sini bareng gue. Tapi sekarang lo duduk di kursi itu, Lun. Jadi, bagi gue, lo orang yang spesial."
"Spesial. Haha. Lo kira gue nasi goreng?" gerutu Luna.
"Lun, serius, dong," balas Arga sambil menggaruk tengkuknya. "Gue udah ngelatih ucapan gue barusan semaleman. Tolong hargai."
"Oke," kata Luna. "Gue cuma--kaget. Gue nggak nyangka lo nganggep gue sespesial itu."
"Gue emang nggak pinter nunjukkin perasaan gue sendiri. Tapi seenggaknya gue bisa ngomong--dan yang seperti gue bilang--gue nggak suka bohong," kata Arga sambil menatap Luna.
Sebelum Luna bisa menjawab apa-apa, telepon Arga berdering, menandakan adanya pesan masuk. Arga mendesah sambil mengambil ponselnya. Ia membaca pesan yang ditujukan padanya, lalu menoleh kepada Luna.
"Orangtua gue udah selesai kerja," kata Arga sambil meletakkan kembli ponselnya di saku. "Tapi sebelum berangkat, gue mau bilang--gue mau lo nggak usah nganggep apa yang gue omongin tadi beban, oke? Gue nggak mau kita jadi canggung. Kalau ngelupain bisa bikin lo nggak canggung ke gue, ya lupain aja. Gue harap kita bisa ngelanjutin percakapan ini lain waktu--kalau lo mau, pastinya."
Luna mengangguk. "Oke, tenang aja."
Arga tersenyum. "Yuk, orangtua gue udah nunggu."[]
a.n waa maaff ini satu part pendek banget dan emang sengaja nggak ada konflik beratnya, soalnyaa Luna-Arga harus punya satu part sendiri yay
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top