{13}: Cerita Raga
"Nggak mungkin," gumam Luna dengan lirih.
Arga berjalan menghampri Luna lalu memeluk cewek itu. Luna membenamkan wajahnya di bahu Arga. Tanpa ia sadari, baju Arga perlahan-lahan basah oleh air matanya. "Gina nggak mungkin udah nggak ada kan, Ga? Gue baru aja dadah-dadahan sambil ejek-ejakkan sama dia sebelum pulang. Dia nggak mungkin udah nggak ada."
Arga hanya diam. Tangannya mengelus-elus pundak Luna dengan lembut.
"Gina bahkan baru tau semua hal tentang supernatural ini. Gina bahkan belum nyelesaiin Once Upon A Time musim ketiga. Gina belum selesai baca serial The Mortal Instruments. Gina juga belum sempet ngeliat Thomas Sangster putus sama pacarnya yang katanya nggak cocok sama Thomas," cerocos Luna sambil terisak. "Gina nggak boleh pergi. Kalau ada apa-apa sama Gina, Raga pasti jagain dia kan? Raga pasti bisa. Buktinya nama Gentar nggak dicoret di sini. Berarti nama Gina yang dicoret cuman kesalahan. Iya kan?"
Arga masih diam.
"Arga! Jawab gue dan bilang ke gue kalau Gina masih ada dan bentar lagi dia bakal nelepon gue sambil teriak-teriak heboh karena habis dianter Raga pulang. Gue bener kan?" tanya Luna dengan lirih.
"Gue nggak tau, Lun," jawab Arga pelan.
Tiba-tiba ponsel Arga berbunyi. Terpaksa, Arga harus menjauhkan dirinya dari Luna untuk menjawab telepon tersebut.
"Halo?" kata Arga.
Luna memerhatikan perubahan ekspresi Arga menjadi lebih muram.
"Oke," kata Arga, mengakhiri panggilan tersebut. Ia kemudian menatap Luna, walaupun beberapa detik kemudian, ia langsung membuang muka. Hal itu membuat Luna yakin bahwa hal apapun yang tadi disampaikan kepada Arga bukanlah hal yang baik.
"Kenapa, Ga?" tanya Luna, memberanikan dirinya untuk bertanya.
"Lun, kita--maksud gue, kalau lo mau ikut--harus pergi sekarang," kata Arga, masih tidak mau memandang Luna. "Ini ada hubungannya sama Gina."
"Mayat Gina?" tanya Luna dengan suara bergetar.
Arga tidak menjawab. Tapi hanya dengan melihat raut wajah Arga, Luna tahu bahwa dia benar.
{~~}
Luna tau ibunya tidak mungkin memberinya izin untuk keluar malam-malam, namun menyadari bahwa Luna sedang sedih karena kehilangan dan sangat ingin melihat Gina, Sarah memberi Luna izin untuk pergi bersama Arga.
Maka di sinilah mereka, di dalam mobil Arga--dalam perjalanan menuju entah tempat apa yang diberitahukan kepada Arga.
Setelah beberapa saat menyusuri jalan-jalan kota yang masih ramai, mobil Arga pun berhenti di lapangan parkir salah satu bangunan rusak yang sudah tidak terpakai. Di lapangan itu sudah terpakir tiga mobil lainnya. Mobil Raga, mobil Om Rafa dan Tante Rina, serta mobil Om Andrei dan Tante Fiona.
Arga dan Luna pun turun dan menghampiri yang lainnya. Mereka semua sedang berdiri dalam diam, mengelilingi sesuatu. Atau tepatnya seseorang.
Begitu menyadari kehadiran Arga dan Luna, semua orang langsung menoleh dan menatap Luna dengan tatapan sedih.
"Luna. Gue minta maaf."
Di antara semua orang yang Luna duga akan memanggilnya, Raga adalah yang terakhir. Namun, dugaan Luna rupanya salah. Justru Raga lah yang pertama kali bicara. Dan itu cukup untuk membuat Luna yakin bahwa ada yang tidak beres.
Luna berjalan melewati keluarga Gentar dan orangtua Hana, dan di situ, di hadapannya, terbaring tubuh Gina yang berlumuran darah. Tubuh temannya. Sahabatnya.
{~~}
"Luna, gue minta maaf," kata Raga lagi sambil berjalan mendekati Luna yang sedang berdiri terpaku menatap tubuh Gina.
"Kenapa?" tanya Luna tanpa mengalihkan pandangannya dari tubuh Gina. "Kenapa lo minta maaf?"
"Karena gue nggak jagain Gina dengan baik, Lun," jawab Raga.
Luna menoleh dan menatap Raga. "Gue nggak nyalahin lo, Ga."
"Raga," panggil Om Rafa dengan suara penuh peringatan. "Ceritakan yang sebenarnya kepada Luna. Dia berhak tahu kalau kamu salah. Dia berhak kecewa sama kamu--seperti yang kami semua rasakan sekarang."
Luna menatap Raga dengan tatapan bertanya-tanya. Tatapan mereka bertemu selama beberapa saat sampai kemudian Raga membuang muka dan mulai bercerita.
Jam baru menunjukkan pukul tujuh malam. Jalanan di kota Jakarta masih ramai. Mobil-mobil berlalu lalang di jalanan--termasuk mobil yang dinaiki Raga dan Gina.
"Ga," panggil Gina.
"Apa?" tanya Raga sambil terus menyetir.
"Lo kenapa sih sebel banget sama Luna? Lo tau kan dia nggak salah apa-apa?" tanya Gina.
"Dia aneh," jawab Raga singkat. "Kayak cenayang."
Gina mengerutkan dahinya. "Ga, gue serius."
Raga tidak menjawab. Ia terus menyetir.
"Tadi waktu kita semua lagi ngebahas masalah ini, lo nggak ada. Tapi begitu gue sama Luna udah mau pulang, lo tiba-tiba muncul. Gue rasa... yah, gue tau gue nggak berhak menghakimi lo, tapi gue rasa lo udah tau semua hal ini dari lama. Pas tau tentang semua ini, gue ngerasa kalau lo yang nabrak Luna, lo yang pas nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba pengen kenalan ke Luna itu terlalu... aneh. Oke, gue tau gue emang terlalu paranoid karena kebanyakan nonton film, tapi gue rasa, kali ini gue bener," kata Gina sambil menatap Raga lekat-lekat.
"Lo ngomong apaan, sih?" gerutu Raga tanpa sekalipun melihat ke atah Gina. Melirik pun tidak.
"Lo tau bener apa yang gue omongin. Beberapa hari yang lalu, gue denger gosip kalau katanya yang motongin bunga di kebun itu lo, bukan Valdi. Tapi lo bilang ke semua orang kalau Valdi yang ngelakuin. Tadinya gue nggak percaya--katena gue pikir itu nggak mungkin, tapi sekarang... gue nggak tau lagi," lanjut Gina.
Raga tetap tidak bersuara.
"Raga. Jawab gue," desak Gina.
Raga mengacak-acak rambutnya. Frustasi. "Oke. Oke. Lo bener. Semua yang lo bilang tadi bener," katanya akhirnya.
"Kenapa? Kenapa lo jadi yang antagonis di sini, Ga?" tanya Gina tidak percaya.
Entah apa yang merasuki Raga saat itu sehingga membuat Raga menceritakan semuanya. Mungkin perasaan tertekanlah yang akhirnya membuat Raga menyerah. "Dulu, nyokap sering ada acara reunian sama beberapa temen SMA-nya. Gue sama Arga selalu diajak, karena katanya banyak anak yang sebaya gue di sana. Nah, lewat reuni-reuni itu, gue kenal banyak temen. Dan salah satunya Eira. Eira anaknya Pak Jamal dan gue cuman pernah ketemu dia sekali, karena Pak Jamal jarang ikut reuni. Tapi sekali ketemu, gue langsung tau kalau gue bakal nyesel kalau nggak kenal lebih jauh sama cewek ini. Akhirnya gue kenalan sama dia.
Eira sering gue ajak main ke rumah. Orangtua gue seneng sama Eira, Arga juga. Jadi gue rasa semuanya oke-oke aja. Sampe gue memutuskan untuk nembak Eira. Lo tau Eira jawab apa? Dia bilang dia nggak punya perasaan apa-apa ke gue. Dan dia bilang, dia punya perasaan ke Arga--yang jelas-jelas nggak pernah peduli sama cewek sebelum dia ketemu Luna, baru-baru ini.
"Jadi Eira minta maaf dan bilang kalau gue sebaiknya nggak deket-deket dia lagi. Dia bilang, dia nggak mau gue lebih sakit atau apalah yang sering dibilang cewek-cewek. Gue nggak ngerti. Dengan dia jauhin gue, gue malah lebih sakit. Gue jadi ngerasa keputusan gue nembak dia itu salah. Jadi gue datengin rumahnya Eira. Dan pas gue nyampe di sana, rumah itu keliatannya kosong, tapi gue bisa denger sesuatu di gudang, jadi gue ke gudang. Dan di sana, gue ngeliat Pak Jamal lagi bersama makhluk aneh, mirip cicak besar yang jelek.
"Pak Jamal kaget banget waktu liat gue. Dia langsung narik gue ke dalem dan ngunci pintu gudang. Dia ngejelasin semuanya ke gue. Tentang rencana dia untuk ngebunuh semua anak dari teman-teman satu angkatannya yang akan dilaksanakan ketika tahun ajaran kelas sepuluh dimulai. Dan dia minta gue rahasiain semua ini dan ngebantuin dia dengan imbalan, dia bakal banguin gue deket lagi sama Eira, ditambah dia nggak akan masukkin nama gue ke daftar orang-orang yang akan dia bunuh. Kalau gue nolak, si Kanima itu bakal langsung ngabisin gue. Buat gue yang saat itu lagi suka banget sama Eira, itu sama sekali bukan pilihan yang sulit, gue sama sekali lupa soal Arga--berhubung saat itu gue agak kesel sama dia gara-gara Eira suka dia.
"Sebelum kelas sepuluh dimulai, Pak Jamal bilang ke gue kalau bakal ada Banshee yang masuk di angkatan gue. Pak Jamal ngasih tau gue ciri-ciri orang itu kayak gimana, dan dia pengen gue deketin dia biar dia nggak curiga sama gue, dan ketika dia udah nggak curiga sama gue, gue harus bisa bikin dia nggak curiga juga sama Pak Jamal. Jadi ya, lo bener. Pas hari pertama masuk itu, gue sengaja nabrak Luna, cuman buat mastiin kalau dia beneran Banshee yang dimaksud Pak Jamal. Dan ya, seperti yang lo liat sendiri, gue berusaha ngedeketin dia. Sampe kejadian Valdi itu.
"Gue emang bantuin Pak Jamal buat bikin Valdi keliatan kayak dihukum sama Pak Dani alias si Kanima itu. Tapi pas gue nemuin Valdi di sana, gue hilang kendali. Seperti yang lo tau, gue marah-marah. Valdi temen gue. Dan gue secara nggak langsung ngebunuh dia. Kesadaran itu menghantam kepala gue begitu dia udah nggak ada dan gue nyesel.
"Besoknya, gue datengin Pak Jamal dan bilang kalau gue nggak mau bantuin dia lagi. Pak Jamal cuman ketawa-ketiwi nggak jelas kayak orang bego. Kalau nggak ada Kanima di sampingnya, udah gue gorok itu leher.
"Kejadian Hana itu sama sekali nggak ada campur tangan gue sama sekali, lo harus tau itu. Dan tadi, gue cuman nguping karena... karena gue takut kalau gue gabung di sana, raut wajah gue ngebocorin semuanya. Dan soal kenapa gue kesel sama Luna... itu karena, gue tetep ngerasa kalau dia yang bersalah pas kejadian Valdi itu. Gue terus-terusan berpikir karena Luna ada di sana, dia yang harusnya bertanggung jawab. Gue tau gue bego banget karena berpikiran kayak gitu. Gue tau Luna nggak salah apa-apa dan justru gue lah yang salah. Tapi... gue nggak tau, Gin, gue nggak tau." Raga menyelesaikan ceritanya dengan tarikan napas yang panjang.
Gina hanya menatap Raga tanpa tahu harus berkata apa. "Raga, gue--"
Raga tidak akan pernah tahu apa yang akan dikatakan Gina karena pada saat itu ada sesuatu yang jatuh di depan kaca mobil Raga. Kanima.
Kanima itu membuat mobil Raga oleng ke samping dan berhenti di lapangan parkir sebuah gedung yang sudah tidak terpakai. Kanima itu memaksa Gina dan Raga ke luar. Raga tau benar siapa yang hendak dibunuh oleh Kanima itu. Gina.
Raga berusaha menjauhkan Gina dari si Kanima ketika suara yang tidak asinh terdengar di telinganya, "Jadi, kamu sekarang lebih memilih Regina Ekajaya itu daripada Eira-ku?"
Pak Jamal.
Raga menoleh dan kemudian membuang muka.
"Raga, kamu tau apa akibatnya kalau kamu terus menghalangi Dani untuk membunuh gadis itu. Kamu tau sendiri. Saya tidak akan membunuhmu, kamu terlalu polos sekaligus berharga untuk itu. Tapi saya akan pastikan kamu tidak akan pernah bertemu Eira lagi," kata Pak Jamal sambil berjalan menghampiri Raga.
Raga pikir perasaannya kepada Eira sudah menghilang--setelah sekian lama ini. Namun ternyata, ketika mendengar nama Eira dan Gina disandingkan, Raga tahu ia harus memilih siapa.
Raga mundur dan berjalan menghampiri Pak Jamal. Membiarkan Kanima itu menyerang Gina yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.
{~~}
Raga bercerita tanpa sekalipun menatap Luna. Dan begitu Raga selesai bercerita, Luna langsung menampar Raga.
"Brengsek," seru Luna. "Lo pengecut! Lo udah tau Pak Jamal bukan orang yang patut dipercaya dan lo masih bisa-bisanya masih percaya sama dia! Cuman dari denger cerita lo aja gue bisa tau kalau Pak Jamal nggak akan ngebiarin lo ketemu Eira sekalipun lo udah ngebantuin dia ngebunuh seratus orang!"
Raga tetap tidak bersuara.
"Lo bener-bener--" Ucapan Luna disela oleh Arga yang menarik Luna dengan lembut sambil mengatakan kata-kata penenang.
Berasamaan dengan itu, sebuah mobil datang, dan keluarlah seorang wanita dan pria yang berlari dengan panik menuju tempat orang-orang yang ada di situ berkumpul. Pasangan Ekajaya.
Begitu melihat tubuh Gina yang sudah tidak bernyawa lagi, tangisan mereka pecah. Mereka menghambur menuju Gina dan memeluk gadis itu. Tidak peduli betapapun Gina berlumuran darah dan penuh luka.[]
a.n itu di multimedia ada foto Stiles lagi meluk Lydia (OMGG STYDIA YASYASYASYASHKNJDEHJWHKJOHDIWJSOHWIDHWIH) dan anggaplah itu Arga yang memeluk Luna di awal chapter ini oke.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top