{12}: Motif
"Jangan bercanda, Arga," kata Om Rafa sambil menatap anaknya dengan tajam.
"Arga nggak bercanda!" Cowok itu memberikan ponsel Luna kepada ayahnya--di situ terdapat daftar nama-nama orang--dengan nama Valdi dan Hana yang sudah dicoret--dan di atasnya ada sebuah kotak bertuliskan: JAMAL: KUNCI DITERIMA.
"Jamal? Pak Jamal? Guru BK itu?" tanya Luna sangsi.
Arga mengangkat bahu. "Lo tau kan, gue pernah bilang kalau gue agak nggak suka Pak Jamal. Jadi, gue asal ketik aja nama dia, eh bener."
"Jamal Tirtawijaya?" Om Andrei mengerutkan keningnya.
"Kamu kenal dia?" tanya Tante Fiona.
Om Andrei mengangguk. Lalu dia menatap Tante Rina. "Iya. Rina juga kenal. Dulu kita satu angkatan sama Jamal, waktu SMA."
Tante Rina mengangguk. "Aku kenal Jamal. Dan nggak mungkin Jamal yang mengendalikan si Kanima ini. Dia kelewat baik untuk bahkan memikirkannya."
"Kanima?" sela Gina yang dari tadi diam karena tidak mengerti apa-apa. "Kanima kayak si Jackson itu?" tanya Gina menyebutkan salah satu tokoh Teen Wolf.
Luna mengangguk. "Iya, kayak dia."
"Jadi, bahkan Kanima beneran ada?" tanya Gina tidak percaya. "Kalau gitu, Kanima-nya siapa?"
"Pak Dani. Yang dulu bekerja sebagai tukang kebun di sekolahmu," jawab Om Rafa.
Gina melongo. Kemudian dia menunjuk ponsel Luna yang menampakkan daftar nama orang-orang. "Itu daftar orang yang mau mati, ya?"
Luna mengangguk. Ada untungnya juga Gina menonton Teen Wolf--jadi tidak susah untuk menjelaskan kepadanya.
"Apa ada nama saya di situ?" tanya Gina sambil menunjuk ponsel lama Luna yang ada di tangan Om Rafa.
Om Rafa membaca daftar nama-nama orang yang ada di situ lalu bertanya, "Regina Ekajaya?"
Gina mengangguk gugup. "I-iya."
Om Rafa menghela napas lalu mengangguk.
"Apa motifnya?" tanya Arga sambil menatap ayahnya.
Om Rafa memerhatikan daftar itu lagi lalu mengangkat bahunya. "Entahlah. Coba kalian lihat sendiri."
Bersama-sama semua orang mengamati ponsel itu.
"Nggak semuanya anak SMA Sriwijaya," komentar Gina setelah mengamati daftar itu. "Walaupun kebanyakan, emang dari SMA Sriwijaya. Ada yang kelas sepuluh, sebelas, dua belas, bahkan alumni."
"Andrei," panggil Tante Rina, matanya terpaku ke satu nama. "Itu anaknya Darian yang anak ekskul basket, kan?"
Om Andrei ikut memerhatikan. "Iya. Itu emang anaknya Darian. Nama keluarganya sama." Kemudian mata Om Andrei berpindah ke nama lain. "Kalau yang ini anaknya si Fia kan? Nah yang ini, anaknya Wanda."
Tante Rina ikut memerhatikan kemudian matanya melebar. "Ini nama anak temen-temen satu angkatan kita, Andrei."
Om Andrei buru-buru kembali memerhatikan daftar itu. Beberapa saat kemudian ia mengangguk. Kemudian Om Andrei menoleh kepada Gina dan bertanya, "Ekajaya? Kamu anaknya Miranda Ekajaya itu, ya?"
Gina mengangguk. "Iya, itu nama ibu saya."
Tante Rina tampak sangat tidak percaya. "Tapi kenapa--"
Tiba-tiba Luna teringat perkataan Arga tempo hari. "Kata Arga dulu Pak Jamal sekolah di SMA Sriwijaya juga."
Om Andrei mengangguk. "Jamal malah sekelas sama Om di kelas sepuluh dan sebelas."
"Dan Arga bilang Pak Jamal sering ditindas," kata Luna melanjutkan perkataannya.
Mata Arga membulat. "DAN GUE JUGA BILANG KALAU DIA KAYAK MAU BALES DENDAM!" serunya.
"Oke, iya. Tapi Arga, kamu nggak perlu teriak-teriak," kata Tante Rina.
"Jamal emang dulu kadang-kadang ditindas," kata Om Andrei. "Tapi nggak sering. Selain itu, dia juga nggak parah-parah banget ditindasnya. Nggak sampe dipukulin gitu. Paling cuman dikucilin, diejek dikit, dan yah, yang gitu-gitu aja."
Luna mengerutkan alisnya. "Apa Pak Jamal pernah suka sama cewek yang notabenenya sahabatnya dari kecil, tapi ceweknya naksir sama cowok yang nggak dia suka?"
Gina memutar kedua bola matanya. "Lun, lo tau kan, ini bukan waktu yang tepat buat ngomongin Severus Snape?"
"Ya kan kali aja," gumam Luna.
Om Andrei menggeleng. "Jamal kayaknya pernah deket sama cewek, tapi itu juga nggak sampe dua bulan, soalnya cewek itu pindah sekolah."
"Oh! Si Rere, ya?" tanya Tante Rina.
Om Andrei mengangguk. "Iya." Kemudian ia mengamati daftar nama yang ada di ponsel lama Luna. "Dan di sini nggak ada nama anaknya Rere," lanjutnya sambil menghela napas.
"Saya nggak nyangka Pak Jamal bisa ngelakuin hal kayak kakeknya si Allison Argent itu," komentar Gina.
Tante Rina mengangkat bahu. "Nggak ada yang nyangka. Walaupun sering ditindas, Jamal nggak pernah marah. Dan justru keliatan oke-oke aja. Makanya dia jadi sasaran empuk banget buat anak-anak yang sok jagoan."
Semuanya terdiam. Kemudian Tante Fiona angkat bicara, "Jadi berikutnya siapa?"
Mereka semua memerhatikan daftar yang ada di ponsel lama Luna. "Nggak ada petunjuk mengenai urutannya. Hana bahkan ada di urutan yang terbilang termasuk akhir, sedangkan Valdi di tengah," kata Om Rafa.
"Mama dulu seangkatan sama Pak Jamal, kan? Kalau gitu, berarti ada nama Arga juga?" tanya Arga tiba-tiba.
Om Rafa memerhatikan nama itu satu-persatu, kemudian mengerutkan keningnya. "Cuman ada nama Gentar. Nggak ada namamu ataupun nama Raga."
"Mungkin maksdnya salah satu di antara Raga atau Arga," kata Gina. Ketika merasakan tatapan semua orang kepadanya, Gina langsung salah tingkah.
Tante Rina menepuk bahu Gina dengan lembut. "Nggak apa-apa. Mungkin kamu emang benar. Nggak ada yang tau."
"Jadi, apakah sudah pasti bahwa saya akan mati?" tanya Gina, raut wajahnya menunjukkan kegelisahan.
Tante Fiona tersenyum. "Nggak ada yang tahu. Tapi kita semua berharap untuk yang terbaik kan? Kamu nonton Teen Wolf, kan?" tanyanya.
Gina mengangguk. Cukup terkejut dengan pertanyaan itu.
"Nah, nggak semua orang di daftar kematian itu mati," lanjut Tante Fiona, membicarakan Teen Wolf musim keempat. "Jadi yang harus kita lakukan hanyalah waspada dan berusaha. Tapi jangan panik. Karena panik itu membuat kita semua lengah."
{~~}
"Makasih, Ga," kata Luna begitu mobil Arga berhenti di depan rumah Luna.
Arga tersenyum. "Santai aja."
Jadi, berhubung Pak Ilham sudah pulang terlebih dahulu, Arga menawarkan tumpangannya untuk Luna. Sementara Raga, yang tiba-tiha datang entah darimana, menawarkan tumpangan untuk Gina--yang tentu saja langsung menyanggupi dalam hitungan sepersekian detik.
"Ga," panggil Luna.
"Hmm?"
"Raga masih marah sama gue, ya?" tanya Luna.
Arga menoleh dan menatap Luna. "Kayaknya sih gitu. Tapi santai aja kali. Dia mah emang baper orangnya. Gue kasih tau ya, masa dia dulu pernah ngediemin gue selama dua bulan gara-gara gebetannya naksir gue."
Luna mengerutkan dahinya. "Kok gitu? Lo berdua kan kembar, mukanya kembar. Kalau gebetannya naksir lo, berarti kan dia sama aja naksir Raga."
"Naksir orang nggak cuman dari tampangnya aja, Luna," jawab Arga sambil terkekeh. "Gue kan baik hati, lucu, unyu, tidak sombong, rajin menabung. Lah Raga? Anak bayi aja sampe nangis digendong sama dia."
"Tapi ini kan lebih serius dari itu," kata Luna. "Maksud gue, Hana--"
Arga memutar bola matanya. "Gue lebih tau Raga daripada lo, Luna. Dia bukan orang yang ngambek sampe gini-gini amat bahkan kalau dia kehilangan seseorang yang berharga--dan Hana nggak seberharga itu buat dia. Lo tau? Dia bahkan ngejek-ngejek Hana dengan kata-kata yang nggak pantes gue contohin ke lo kalau Hana ngajak dia belanja, misalnya."
"Terus kenapa dia marah banget sama gue?" tanya Luna.
"Lagi PMS kali. Au dah. Nggak jelas emang orangnya," jawab Arga asal.
"Arga! Gue serius," desis Luna.
Arga terkekeh sambil menepuk-nepuk puncak kepala Luna. "Udah lah, nggak usah dipikirin, jangan nambah-nambahin beban hidup lo. Sana masuk. Udah malem."
Namun sebelum Luna bisa turun, tiba-tiba ia berteriak. Berteriak ala Banshee, yang terdengar speeti ratapan yang menyeramkan tapi sekaligus menyedihkan.
Dan di benaknya hanya ada satu nama.
Gina.
{~~}
Begitu Luna selesai berteriak, Arga buru-buru turun dari mobil dan memapah Luna menuju rumahnya. Setelah menunggu beberapa saat, pintu rumah dibuka oleh ibunya Luna, yang sangat terkejut dengan keadaan Luna.
"Luna kenapa?" tanya Sarah, ibunya Luna.
"Luna teriak lagi, Tante," jawab Arga.
Sarah buru-buru membuka pintu lebih lebar sambil berkata, "Tolong bawa Luna ke kamarnya dulu, ya. Tante mau bikin minum dulu."
"Luna nggak apa-apa," kata Luna tiba-tiba. Sarah menatapnya sebentar, kemudian melemparkan tatapannya kepada Arga. Seolah mengerti, cowok itu membawa Luna ke kamarnya.
"Lun, lo pucet banget," kata Arga, terdengar agak cemas.
"Gue nggak apa-apa," kata Luna. "Gina, Ga."
Arga membuka pintu kamar Luna dan membantu cewek itu duduk di kasurnya.
"Gina kenapa?" tanya Arga sambil melempar tas yang Luna bawa ke kursi.
"Perasaan gue nggak enak," kata Luna. Ia bangkit dan merogoh tas yang tadi dilempat Raga. Setelah mencari-cari selama beberapa saat, Luna mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama Gina sudah tercoret.[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top