{11}: Arga Berhasil

"Lun?" tanya Arga terkejut ketika Luna tiba-tiba terjatuh.

Belum sepenuhnya pulih dari keterkejutannya, Arga berlutut di samping Luna yang sekarang jatuh terduduk di lantai. Tangan pemuda itu menggoyang-goyangkan bahu Luna.

"LUNA!" panggil Arga.

Tiba-tiba mata Luna mengerjap terbuka. Ia menatap Arga dengan heran. Kemudian Luna menoleh ke samping dan mendapati mayat Hana berada di sana. Seketika, ekspresinya langsung berubah mual.

"Ga, gue tadi jalan ke sini?" tanya Luna.

Arga mengangguk, bingung. "Padahal gue udah manggil-manggil lo, nanya ini-itu. Tapi kayaknya lo nggak denger, ya?"

Luna menggeleng. "Gue bahkan nggak inget gue jalan ke sini."

Arga terdiam. "Ini normal?" tanyanya. Ia buru-buru menambahkan, "Maksud gue, untuk ukuran Banshee, ini normal?"

Luna menoleh dan menatap tubuh Hana dengan nanar. "Ya. Kadang gue kayak gini. Gue nggak sadar dan pas sadar, di depan gue udah ada mayat."

Luna menoleh kepada Arga dan berkata, "Sebaiknya lo kasih tau ke yang lain kalau Hana udah ketemu."

Arga mengangguk. "Oke," katanya.

{~~}

Tante Fiona dan Om Andrei tampaknya sudah menduga hal ini sebelumnya, namun mereka tetap tampak sangat terpukul ketika melihat mayat Hana. Tante Rina dan Om Rafa sibuk menenangkan mereka. Sementara Raga terus menatap Luna seolah Luna adalah orang yang patut disalahkan.

Setelah Hana dibawa ke rumah sakit, orang-orang mulai pulang ke rumah masing-masing. Ketika Luna hendak berjalan ke lapangan parkir, Tante Rina menepuk bahunya.

"Kenapa, Tante?" tanya Luna.

"Ini bukan salah kamu, oke?" kata Tante Rina sambil tersenyum.

Luna berusaha membalas senyumnya dan mengangguk. "Oke."

"Oh iya, ngomong-ngomong Tante udah dapet balasan email dari, kamu tahu--seseorang di balik semua ini," kata Tante Rina sambil menghela napas.

Mata Luna membulat. "Kapan? Kapan Tante menerima email itu?"

"Barusan," jawab Tante Rina sambil mengacungkan ponsel yang sedang digenggamnya.

"Dan apa katanya?" tanya Luna, khawatir.

"Tiga kata," jawab Tante Rina sambil menghela napasnya. "Kuncinya adalah namaku."

{~~}

"LUNA!" seru Gina heboh, keesokan paginya. Gina melangkah memasuki kelas dan menghampiri Luna yang sudah duduk manis di bangkunya.

"Hmm?"

Gina melempar tasnya dan duduk di sebelah Luna. "LO HARUS NYERITAIN GUE SEMUANYA. OKE? SEMUANYA."

Luna menghela napas. "Iya. Tapi lo nggak usah heboh, gitu."

"GIMANA GUE NGGAK HEBOH?! KATANYA HANA MENINGGAL DAN YANG NEMUIN MEREKA TEMEN GUE DAN ARGA! HA! GIMANA BISA?"

"Iya, ini mau gue ceritain. Makanya lo diem," kata Luna. Ia sudah memutuskan untuk menceritakan semuanya kepada Gina. Ya, semuanya.

"Oke," kata Gina sambil berusaha untuk tenang.

"Lo nonton Teen Wolf kan?" tanya Luna.

Gina memutar bola matanya. "Lun--"

"Jawab dulu."

"Iya, gue nonton. Kenapa emang?" tanya Gina.

"Lo percaya nggak kalau gue bilang makhluk supernatural kayak gitu beneran ada?" tanya Luna.

Gina mengerutkan keningnya. "Maksud lo apaan sih, Lun?"

"Lo percaya nggak kalau gue bilang, gue adalah salah satu dari makhluk supernatural itu?" tanya Luna, tidak memedulikan perkataan Gina.

"Lun, gue kan nanya, kenapa lo sama Arga bisa ada di situ," kata Gina dengan kesabaran yang dilebih-lebihkan. "Gue nggak minta lo bercanda."

"Gue nggak bercanda," kata Luna. "Gue Banshee."

Gina teridam. Lalu beberapa saat kemudian ia tertawa terbahak-bahak. "Lucu, lo. Katanya lo nggak suka Banshee. Katanya waktu itu, lo milih jadi Kitsune."

Ketika Luna tidak menjawab apa-apa, tawa Gina berhenti. Ia menatap Luna dengan campuran tatapan ngeri, senang, tidak percaya, dan kagum. "Serius, lo?"

Luna mengangguk. "Itu kenapa gue bisa tau kalau Valdi sama Hana mau mati. Kenapa gue bisa ada sama mayatnya Valdi dan Hana."

"Tapi gue nggak pernah denger lo teriak," kata Gina, masih ragu.

Luna memutar kedua bola matanya. "Ya kan nggak mungkin gue teriak-teriak setiap saat, Gin."

Gina masih sangsi, Luna tahu itu.

"Gini aja deh. Gue nanti pulang sekolah mau ke rumah keluarga Gentar. Nanti di sana ada orangtuanya Hana. Ayahnya Hana werewolf. Ibunya were-cayote. Kalau lo nggak percaya, lo ikut gue dan yah, lo liat sendiri nanti."

Gina mengangguk. "Oke. Tapi kenapa lo sebegitu pengennya gue tau? Kalau lo emang jujur dan nggak bercanda, berarti selama ini lo nyembunyiin fakta itu dari gue, dan kenapa? Kenapa sekarang lo malah ngotot biar gue percaya sama lo?"

Luna menghela napas. "Lo tau kan Banshee teriak kalau mau ada kematian?"

Gina mengangguk. "Gue liat si Lydia Martin kayak gitu."

"Semalem gue teriak-teriak kayak gitu. Dan setelah itu, kata orangtua gue, gue dalam keadaan nggak sepenuhnya sadar, terus-terusan manggil-manggil lo, Gin."

{~~}

Sepulang sekolah, sesuai janjinya, Luna mengajak Gina ke rumah keluarga Gentar. Semalam, setelah Luna selesai berteriak-teriak, orangtuanya langsung menghubungi keluarga Gentar dan berkata bahwa Luna terus-terusan memanggil nama Gina. Keluarga Gentar berkata bahwa sebaiknya, Luna mengajak Gina untuk pergi ke rumah keluarga Gentar keesokan harinya, sepulang sekolah.

"Anjir, gue nggak nyangka gue bisa menginjakkan kaki gue di rumah si ganteng Raga dan Arga," bisik Gina di telinga Luna dengan penuh semangat ketika mereka sudah sampai di rumah keluarga Gentar.

Luna memutar kedua bola matanya. "Raga lagi marah, lho, sama gue. Lo nggak kesel sama dia?"

Gina menggeleng sambil nyengir. "Itu sih gue maklum. Dia kan habis kehilangan pacarnya. Ya dia pasti sedih, lah. Lo biarin aja. Ntar juga minta maaf sendiri."

Luna memutar kedua bola matanya. Kemudian ia mengetuk pintu rumah keluarga Gentar. Tak lama kemudian, pintu dibuka oleh Om Rafa. Ia tersenyum kepada Luna dan Gina.

"Gina, ya?" tanya Om Rafa sambil menjabat tangan Gina.

"E-eh, iya, Om," jawab Gina malu-malu.

"Ayo, masuk."

Mereka pun diantar menuju ruang keluarga. Di sana sudah ada Tante Rina, Om Andrei, dan Tante Fiona. Orangtua Hana itu tampaknya masih agak terpukul dengan kepergian anaknya, namun setidaknya mereka sudah bisa tersenyum ketika Luna dan Gina memasuki ruang keluarga.

Setelah berbasa-basi singkat, Tante Rina bertanya, "Jadi, Gina sudah tahu semuanya, Nak?"

"Eh, semuanya apa, Tante?" tanya Gina.

"Yang tadi gue kasih tau ke lo," jawab Luna.

"Hal-hal supernatural itu?" tanya Gina ragu-ragu.

Tante Rina mengangguk.

"Tadi Luna udah ngasih tau saya, Tante," jawab Gina. "Tapi saya, eh, masih agak ragu. Kata Luna dia ngajak saya kesini soalnya, orangtuanya Hana--"

Perkataan Gina disela oleh mata Om Andrei yang berubah menjadi warna merah. Mata seorang Alpha. Dan mata Tante Fiona berubah menjadi warna biru.

Gina terkesiap. Ia menatap Luna dengan tatapan tidak percaya. "Jadi lo nggak bercanda," katanya.

Luna memutar kedua bola matanya. "Siapa juga yang bercanda."

"Tapi tunggu, kalau lo Banshee dan lo teriak-teriak terus manggil nama gue berarti...." Gina membiatkan perkataanya menggantung di udara.

"Belum tentu, Sayang," kata Tante Fiona. "Itu tergantung takdir. Dan nggak ada satupun di antara kita yang bisa menebak jalannya takdir. Yang bisa kita lakukan hanya berharap."

"Tapi kenapa harus saya?" tanya Gina tidak mengerti.

Om Rafa menghela napas. "Itu yang sedang kami cari tahu--motif di balik semua ini."

Tiba-tiba terdengar pintu yang terbanting membuka dan suara Arga yang berteriak-teriak.

"GUE BERHASIIILLL!" seru Arga sambil berlari menuju ruang keluarga. Dengan napas terengah, ia mengacungkan sesuatu yang sedang digenggamnya. Ponsel lama Luna, yang layarnya dipenuhi kode--Arga memang meminjam ponsel itu kemarin, katanya ia ingin coba-coba mengetikkan kunci untuk memecahkan kode--mengingat keluarga Gentar berkata bahwa kode kali ini tidak hanya Banshee yang bisa memecahkannya.

"Kenapa, Ga?" tanya Luna, heran.

"Gue berhasil buka kodenya," jawab Arga. "Padahal gue asal ketik."

Semua orang di ruangan itu terkesiap--kecuali Gina tentunya, yang tidak mengerti apa-apa.

"Emangnya kamu ngetik apa?" tanya Tante Rina.

"Jamal. Arga ngetik namanya Pak Jamal."[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top