{10}: Di Ruang Loker Olahraga

"Arga!" seru Luna begitu ia melihat cowok itu di depan lapangan parkir SMA Sriwijaya.

Arga tampak sangat gelisah. Cowok itu berdiri menyender di tembok dengan kepala menunduk. Rambutnya acak-acakkan. Tangannya dimasukkan ke saku celana. Begitu cowok itu mendengar panggilan Luna, ia segera mengangkat kepalanya dan membalas tatapan cewek itu dengan tatapan gelisah.

Arga berjalan menghampiri Luna. Di belakang Luna, ada keluarga Gentar, serta orangtua Hana.

"Di mana Hana?" tanya Om Andrei dengan cemas.

Arga menggeleng. "Tadi setelah bel pulang sekolah, Hana langsung keluar kelas. Pas saya samperin, dia bilang saya nggak perlu nemenin dia, karena dia mau langsung nemuin Raga. Dia maksa saya buat langsung ke lapangan basket aja, karena saya memang ada ekskul basket," cerita Arga.

"Terus?" tanya Tante Rina, ia tampak sangat khawatir.

"Beberapa menit yang lalu, Raga nanya--dia kira Hana sama saya. Ya jadi saya bilang aja kalau Hana nggak sama saya--justru saya kira dia sama Raga. Jadi yah gitu. Sekarang Raga lagi nyari Hana," kata Arga.

Tiba-tiba, tanpa bisa ditahan, Luna berteriak. Berteriak ala Banshee. Bukan teriakan karena panik. Bukan. Teriakan yang ini lebih panjang dan lebih terdengar seperti ratapan.

Teriakan yang menandakan bahwa kematian akan datang.

{~~}

Tubuh Luna langsung lemas begitu ia selesai berteriak, seperti biasa. Arga, yang berdiri paling dekat dengan Luna, langsung memegangi tubuh cewek itu agar tidak terjatuh.

"Barusan itu ratapan," kata Tante Fiona sambil menjauhkan tangannya yang tadi ia gunakan untuk menutup telinga.

"Ratapan hanya dikeluarkan seorang Banshee bila kematian akan datang," sambung Tante Rina.

"Hana," gumam Om Andrei.

"Maaf saya tadi berteriak," kata Luna. "Padahal nenek saya sudah mengajari bagaimana caranya menahan teriakan, tapi yang tadi--"

"Itu refleks seorang Banshee." Om Rafa tersenyum menenangkan sambil menepuk bahu Luna. "Nggak apa-apa. Itu sama aja kayak refleks seseorang yang menutup mata kalau ada sinar yang kelewat terang."

"Tapi Kanima makhluk supernatural. Kalau yang ngambil Hana itu Kanima, pasti Kanima itu udah pergi jauh-jauh dari sini--karena teriakan saya tadi," gumam Luna.

"Hei, nggak apa-apa. Kita bakal nemuin Hana, dan dia bakal baik-baik aja," kata Arga sambil menepuk-nepuk puncak kepala Luna.

Luna tau bahwa mereka semua juga tidak yakin, tapi semuanya tersenyum menenangkan sehingga Luna menjadi lebih lega.

"Sekarang biar aku dan Fiona berubah. Semua indra kita akan menajam setelah kami bertransformasi," kata Om Andrei.

"Baiklah, hati-hati," pesan Om Rafa.

Om Andrei mengangguk. "Kalian juga," katanya. Lalu dia dan Tante Fiona berjalan pergi.

{~~}

Sekolah memang sudah tidak terlalu ramai, cuman tinggal mereka yang ada ekskul hari ini yang masih ada di sekolah, dan mereka semua sudah mengetahui bahwa Hana hilang dan mereka semua mencari Hana. Namun sampai pukul lima sore, belum ada hasil juga.

"Woi!" seru Raga sambil menepuk bahu Luna. Raga, Arga, dan Luna sedang berada di kantin. Beristirahat setelah mencari Hana di seluruh penjuru sekolah mereka yang luas.

"Apaan?" tanya Luna.

"Lo kan cewek aneh, masa lo nggak bisa sih kayak, apa kek, pake kekuatan pikiran atau apa buat nemuin Hana," kata Raga.

Luna melotot. "Lo ngatain gue apa tadi? Cewek aneh?"

"Ya," jawab Raga. Tiba-tiba ekspresinya berubah serius dan ia berkata, "Pokoknya, kalau ada apa-apa sama Hana, gue bakal nyalahin lo."

"Bukannya gue pengen ada apa-apa sama Hana, tapi lo nggak punya alasan buat nyalahin gue kalau emang ada apa-apa sama dia," balas Luna.

"Lo patut disalahkan." Sekarang Raga berdiri. Ia menatap Luna tajam. "Gue nggak tau kenapa gue pernah tertarik sama lo. Gue juga heran kenapa gue mau minta maaf sama lo. Yang gue tau, gue nyesel ngelakuin hal-hal yang gue sebutin tadi. Karena pada dasarnya, lo nggak berguna. Lo bisa tau kalau Hana bakal mati, tapi lo bahkan nggak tau Hana ada di mana. Lo nggak ada gunanya, Lun."

Luna terdiam. Satu hal yang paling dia benci adalah perasaan tidak berguna.

"Ga, bukan salah Luna kalau dia nggak tau di mana Hana. Nggak ada satupun di antara kita yang tahu. Dan bukan salah Luna kalau dia bisa memprediksi kematian Hana," kata Arga, mencoba meredam emosi Raga.

"Belain dia aja terus," gerutu Raga. "Lo nggak tau gimana perasaan gue, karena lo nggak deket sama Hana."

"Kenapa sih lo tiba-tiba marah gini? Yang gue tau pasti tentang perasaan lo, lo nggak pernah nganggep Hana seserius itu," jawab Arga sambil menaikkan alis kanannya.

"Sebagai pacar, ya. Tapi dia udah gue anggep adek gue sendiri." Dan dengan kata-kata itu Raga pergi meninggalkan Luna dan Arga di kantin.

{~~}

"Nggak usab dengerin dia, Lun," kata Arga. "Dia lagi baper aja, kali."

Luna hanya mengangkat bahunya. "Yah, apa yang Raga bilang itu emang bener. Gue kan emang nggak berguna--seenggaknya kalau takdir nggak memihak ke gue."

"Lo berguna, Luna," kata Arga. "Nggak ada orang yang nggak berguna."

"Gue kan nggak sepenuhnya orang," kata Luna.

"Lun--" Arga baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika tiba-tiba Luna berdiri. Tatapannya menjadi kosong.

Arga bangkit dari duduknya dan meletakkan tangannya di bahu Luna yang sedang menatap kosong ke depan. "Luna? Woi Lun! Lo ngeliatin apaan sih, elah! Halo? Cowok gantengnya di sini! Jangan bengong woi! LUNA! L U N A!"

Luna tampaknya tidak mendengar apa-apa. Ia tiba-tiba bangkit dan berjalan keluar dari kantin. Arga tidak punya pilihan lain selain mengikutinya dari belakang.

"Lun, lo nyeremin sumpah," kata Arga sambil berjalan di samping Luna. Luna tidak merespon, tatapannya lurus ke depan dan kosong. Seolah-olah ia berjalan tanpa sadar ke mana kakinya membawanya.

"Luna, gue nggak tau selera humor lo gini-gini amat. Tapi FYI nih ya, selera humor gue nggak kayak gini dan menurut selera humor gue, ini sama sekali nggak lucu." Arga terus mengoceh sambil mengikuti Luna.

Tiba-tiba Luna berhenti di depan pintu ruang loker olahraga cowok. Ia berusaha membuka pintu itu, tapi pintu itu tampaknya dikunci.

"Lun, lo nggak gila kan? Ruang loker olahraga cowok itu baunya kayak bau kaos kaki Raga yang nggak dicuci sembilan bulan. Tinggal nunggu lahiran, katanya," cerocos Arga sambil menatap Luna dengan heran.

Luna tampaknya tidak mendengar. Ia terus berusaha membuka pintu ruang loker olahraga cowok. Gadis itu bahkan sekarang mencoba mendobraknya.

Arga memutar kedua bola matanya. "Lo nggak mabok kan, Lun? Perasaan gue kantin nggak jual minuman keras."

Tidak ada tanggapam. Dengan tatapan kosong, Luna terus berusaha membuka pintu itu. Akhirnya, Arga menyerah. Ia mendorong Luna ke samping dan dengan beberapa kali usaha, akhirnya ia berhasil mendobrak pintu tersebut.

Dan di depannya, berbaringlah sosok tak berdaya dengan luka tembak di dada yang berlumuran darah. Hana. []

a.n ini kependekan ya lol.-. Sebenernya bisa lebih panjang tapi kalau dipanjangin jadi nggak /ehm/ gantung. Gitu.

Yang di multimedia itu foto Lydia Martin aka Banshee versi Teen Wolf kalau lagi teriak (season 3 episode 3), jadi ya kira-kira begitu kalau Banshee teriak (kayak orang melahirkan, ya. Eh gadeng).

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top