Page 3
.
.
.
Dengan dress putih biru yang dikenakannya, dia terlihat seperti sosok yang indah, meski wajah gadis berambut biru muda itu pucat pasi. Dia berjalan mondar-mandir, mencoba berusaha menenangkan perasaan gelisah yang kian menumbuh seiring waktu. Di tangannya, terdapat plushie kelinci, dapat dikatakan sebagai jimat yang menemani kehidupannya selama ini.
Iris biru tua dengan shade teal itu bergulir, memperhatikan ruangan yang tiap detik semakin bertambah kehadiran penghuninya. Semakin ramai. Resah, rasanya ingin lari. Tetapi, sosok yang ditunggunya masih sibuk bercengkrama dengan yang lain.
"Aah ... aku takut," gumamnya seraya meremas dress-nya sendiri, "event oshi game-ku akan segera berakhir."
Nagi, yang memperhatikan gadis itu dalam diam sembari bermain game, melemparkan pertanyaan padanya, menyadari kalimat tipuan di akhir tersebut, "Apa yang Kumi takutkan? Keramaian, kah?"
"Hm ... kurang lebih."
Aku takut Niichan dan Rin akan memarahiku, lelah diomeli terus-menerus, batinnya sambil menghela napas pasrah. Lantas, ia mengambil tempat duduk di samping Nagi, mengayunkan kedua kakinya guna menghilangkan keresahan yang masih hinggap.
Mengenai penampilan, ia tidak begitu ambil pusing. Reo telah menyiapkan segalanya dengan matang, sampai-sampai penata rambut pun ia sewa. Model rambutnya diurai seperti biasa. Namun, helaian rambut biru muda itu terasa sangat lembut dan harum. Benar-benar, Kumiko tidak terbiasa dengan perlakuan orang kaya, walaupun kakaknya sendiri mempunyai banyak uang. Tetapi, karena hidup terpisah semenjak SMA, Kumiko tidak begitu menikmati kekayaan sang kakak.
Ia menghela napas.
Padahal, gadis itu telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak terlalu dekat dengan siapa pun semenjak hubungan renggang antara Sae dan Rin. Hanya saja, apa ini?
Kumiko menertawakan dirinya sendiri, membuat Nagi memandangnya aneh dan sedikit merinding.
"Ada yang salah dengan kepalamu?" tanya Nagi, menghentikan permainannya. Bisa-bisa, Reo mengomeli dirinya karena tidak memperhatikan gadis tersebut saat Reo sedang sibuk. Kumiko tak menjawab, membuat Nagi mengembungkan pipinya, "kau tahu, aku tidak seinisiatif dan sehebat Reo. Kalau ada yang kau pikirkan, lebih baik bilang langsung. Aku tidak pandai bermain tebak-tebakkan dengan manusia."
"Oke, tapi jangan bilang-bilang, ya."
"Hn."
"Aku mau kabur."
"Sama."
Mereka berdua mengerjap, bertukar pandang satu sama lain. Lantas, Kumiko mengernyit seraya menunjuk pemuda berambut putih itu, "Hei, kau tidak boleh kabur! Nanti siapa yang menemani Reo kalau aku pergi dari pesta?!"
"Lho, kau sendiri bagaimana? Kumi tidak berhak melarangku, tahu."
"Baiklah, sana kabur saja! Tapi, latihanmu di Blue Lock nanti kutambah diam-diam."
"Buu, curang," gerutu Nagi, mengerucutkan bibirnya.
Kumiko menghentakkan kakinya, sebal. Ia menghela napas, mencoba mengurangi amarahnya. Lalu, ia bangkit, mengedarkan pandangan pada taman belakang balkon tempat mereka berdua menghabiskan waktu. Senyum lebar ia ulas tatkala menemukan sesuatu yang mengunci perhatiannya.
Gadis itu berbisik pada dirinya sendiri sembari mengepalkan tangan dengan penuh percaya diri, "Aku harus ke sana ...."
Nagi tidak mendengar bisikan itu karena terlalu fokus pada game-nya. Tak menyadari hawa kehadiran yang telah menghilang sejak beberapa detik lalu. Saat kalah, Nagi merengek sembari menolehkan kepalanya, mencoba memanggil gadis tersebut, "Kumiiiー"
Nihil, sosoknya telah tak ada.
"Ah." Nagi membeo, menyadari keteledorannya. Ia menutup mulutnya, rapat, merutuki pikirannya yang mengira bahwa gadis itu hanya ingin mengecek sesuatu di arah sana. Jikalau ia tidak menemukan gadis itu segera, bisa tamat riwayatnya. Ia menaruh konsol game-nya, lalu bangkit dengan malas, berniat untuk mencari.
Namun, belum sempat ia melangkah, pemuda berambut ungu memanggil namanya dengan antusias. Iris ungu yang berbinar, penuh kegembiraan, lalu merangkul bahunya dengan ringan, "Nagi! Maaf menunggu lama!"
Reo mengerjap, menyadari bahwa dirinya dan Nagi lagi tidak dalam keadaan bersahabat. Lekas saja, rangkulan tersebut ia lepaskan, "Oh, maaf. Kebiasaan."
"Reo ..."
"Hm, kenapa kau terlihat lesu seperti itu?"
"Soal itu ... Kumi."
Nagi menghentikan kalimatnya, enggan untuk berbicara lebih jauh. Energinya terkuras, bahkan untuk memikirkannya saja, ia sudah muak. Gadis itu sudah besar, pasti mampu melindungi dirinya sendiri, meski terkadang buta arah. Lantas, Nagi menghempaskan diri pada bangku, memilih untuk tak melanjutkan obrolan. Beberapa detik setelahnya lah, Reo tersadar akan keheningan suasana antara dia dan Nagi.
"Nagi ... di mana Kumiko?" tanyanya dengan nada sedikit melemah.
Akhirnya, Reo paham yang ia maksud tanpa menjelaskan sepenuhnya.
Reo berpikir keras dengan suasana hati yang penuh kabut. Tidak mungkin gadis itu tahan dengan suasana ramai. Seharusnya, Mikage Reo paham betul akan itu. Tetapi, keinginan hati untuk memperkenalkan sosok menggemaskan itu sebagai pasangan hidupnya tak bisa lagi terbendung. Menjalani hubungan rahasia itu melelahkan.
Benar saja, kala di tengah keramaian yang meriah, ia bahkan tak mendapati siluet sang pujaan hati melalui iris ungu miliknya. Reo menghela napas kasar, mengepalkan tangannya. Bukan marah kepada gadis tersebut, melainkan pada dirinya sendiri.
Apakah saat ini ia sangat egois hingga kekasihnya sendiri memilih untuk kabur?
Reo menunjukkan ekspresi yang tidak Nagi sukai, membuat pemuda berambut putih itu mencoba mengingat kembali memorinya tadi di kala ia tak memperhatikan. Mulut yang sebelumnya terkatup rapat, kini terbuka mengangkat suara, "Reo, aku melihat Kumiko ke arah sana. Kau tak ingin mengejarnya?"
"Baiklah, terima kasih, Nagi!"
Sontak saja, Reo berlari menuju arah yang ditunjuk oleh Nagi, keluar dari balkon lantai satu dan masuk ke dalam taman. Jantungnya berdetak dengan cepat. Sementara, iris ungu itu mencuri-curi pandang, berusaha mencari sang gadis pemilik helaian rambut biru muda tersebut dengan tergesa-gesa.
Lagipula, mengapa gadis itu seperti kelinci yang selalu melompat-lompat dan berusaha bersembunyi, sih?
Reo heran akan seleranya sendiri.
Langkah pemuda bermarga Mikage itu pun terhenti saat menemukan sosok yang dicarinya dengan penampilan terkena sedikit debu dan dedaunan. Lekas saja, ia mencengkram erat gadis itu, menatapnya lekat dengan iris ungu penuh emosi, "Kumiko!"
"Kau ingin lari dari pesta?! Jangan bercanda!" bentaknya, mengabaikan napasnya yang terengah-engah, "apa kau ... sebegitu tidak sukanya kalau kita akan mengumumkan hubungan kita?"
Kumiko, yang tengah mendekap seekor kucing tersentak kaget. Namun, ia tidak membalas balik, membiarkan Reo memahami situasi dengan sendirinya melalui kucing tersebut. Reo mengerjap, perlahan melepaskan cengkramannya.
"Ku-kucing?"
"Sou, kupikir kau akan senang kalau aku membawakan kucing ini padamu. Lihat, dia mirip dengan Nagi, bukan?" tanya Kumiko dengan tawa kecil di wajahnya, "pemalas tapi lari dan responnya sangat bagus."
"Ah ... itu, maaf karena membentakmu."
Reo mendesah, menjatuhkan kepalanya pada bahu kecil tersebut sembari bergumam, "Kau ... benar-benar bisa membuatku mati karena jantungan."
"Apa kau masih ingin mengumumkan perihal itu?"
Masih dalam posisi yang sama karena tak berani , Reo lantas menjawab, "Aku janji tidak akan melakukan hal yang tidak kau sukai, Kumiko. Jika kau tidak menyukainya, maka tidak perlu. Sekalian saja, pesta ini juga akan kubatalkan."
"Oh, aku sendiri sih, tidak masalah kalau Reo mau mengumumkannya."
Kucing itu berlari, lepas dari dekapan Kumiko tepat saat ia menyelesaikan kalimatnya. Kumiko memegang pipi Reo, membuat pemuda berambut ungu itu mengangkat kepalanya. Kini, kedua iris berbeda warna itu saling bertatapan, lekat.
"Tapi, sebagai gantinya, lindungi aku dari omelan Niichan dan Rin," ujarnya dengan serius, terasa seperti tengah menghadapi hidup dan matinya.
"Eh?" Reo kebingungan sesaat. Lalu, memasang senyum pasrah. Percuma luapan emosinya tadi. Ia terlalu sibuk dengan pemikiran negatifnya hingga tak memperhatikan dari sisi sang gadis.
Suasana ramai, ketinggian, gelap, pahit, pedas, belajar, dan kesepian. Selain itu semua, Kumiko juga membenci diomeli oleh orang lain, terlebih orang terdekatnya. Rasanya, Reo selalu menjadi orang bodoh jika menyangkut Itoshi Kumiko. Ia menghela napas, mengulas senyum seraya mendekapnya kembali dengan erat, "Baiklah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top