04
Mataku sembab, gila kalau aku nekat kembali ke perjamuan dengan wajah acak-acakan.
Jadi aku duduk jauh dari keramaian, menatap bintang dari perkarangan gedung.
Gaun paling mahal yang kubeli, ternyata tidak lebih baik dari apron kafe tempatku bekerja. Sama tidak mampu menahan angin dingin yang menerpa kulitku.
"Menyedihkan sekali," bisikku pada diri sendiri.
Setelah ini, aku harus mengambil lebih banyak shift kerja.
"Sudah kuduga kau akan kemari."
Aku diam, takut untuk menoleh. Suaranya terlalu familiar.
"Lama tidak jumpa."
Rambut hitamnya melambai pelan.
"Kau ini, masih sama seperti dulu, ya."
Dan matanya yang menyimpan banyak cerita melirikku hangat.
"Apa kabar?"
Jangan lemparkan senyum itu padaku.
"... kamu ngapain di sini?" tanyaku ragu-ragu, "baji."
Ia duduk di sebelahku.
"Mengejarmu. Aku mencarimu," jawabnya enteng.
"Kenapa?"
"Karena kamu lari."
Aku diam, menelungkulupkan kepalaku di antara lengan.
"Kenapa tidak menyapaku tadi?" Iris cokelatnya tidak pernah meninggalkan sosokku.
"... kamu mengalihkan pandanganmu."
"terus?"
"Aku pikir kamu membenciku."
Suara decakan terdengar dari bibirnya, jengkel. "Kau ini sangat suka membuat kesimpulan sendiri, ya?"
"Padahal saat itu aku hanya sedang berpikir."
Aku kembali diam, masih belum berani menatap langsung wajahnya yang biasa memasang ekspresi galak.
"Terakhir kali kita bertemu, bukan kah kau menyampaikan sesuatu yang penting padaku."
Aku tercekat, seperti baru mengecap rasa pahit.
"Tolong jangan ingatkan memori memalukan itu," gumamku meminta lirih, tapi Baji yang kutahu keras kepala.
"Saat itu kau juga lari juga, padahal aku belum sempat bilang apapun," dia menggerutu.
"Kamu minta maaf, sudah jelas kemana arahnya itu," sahutku lagi.
"Kau ini bisa sama dungunya dengan Chifuyu," celetuknya. Seperti sudah menahan sangat lama untuk bisa mengejekku.
"Berhenti berspekulasi dan biarkan orang lain menyelesaikan kalimat mereka, jangan lari."
Menaikkan kepalaku, kubiarkan mata sembabku terekspos. "... Baji, apa yang mau kamu coba sampaikan?"
"Aku punya kesibukan sebagai ketua divisi satu, mana bisa meluangkan waktu untuk berpacaran," terangnya tanpa ragu, sebelum menatapku dengan wajah dongkol. "Tapi aku belum bilang bagaimana perasaanku kan?"
Air mata hampir kembali jatuh, aku tidak cukup bodoh untuk tidak memahami maksudnya. "Baji, itu sudah bertahun-tahun yang lalu."
"dan?"
Suaraku bergetar, akhirnya sebuah pertanyaan terlontar.
"Apa kamu masih sama?"
Sebuah senyum melekat di wajahnya.
"Sama.
Kali ini, jangan lari. Dengar jawabanku."
.
fin
fic yang satu ini memang jauh lebih ga jelas dari biasanya, karena stress yang menumpuk, aku membuat buku satu ini dengan tujuan mengeluarkan unek-unek. Bagi yang membaca sampai sini, terima kasih sekali, aku sangat mengapresiasi kalian ᵕ᷄≀ ̠˘᷅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top