Jin : Are You My Cure?
"Kukira kau adalah obat yang tepat. Ternyata bukan"
"(yn), apa kau akhir-akhir ini kembali mengonsumsi obat tidur?" tanya dokter lelaki di hadapanku, matanya menatapku menyelidik. Membuatku tidak nyaman.
Aku menggeleng pelan, "Tidak, aku tidak mengonsumsi obat tidur lagi," dokter di hadapanku menghela napas panjang, aku tahu betul mengapa ia begitu khawatir tentang obat tidur itu.
Bagaimana tidak, jika aku sampai kembali bergantung pada obat tidur dan penenang, maka pengobatan selama 2 tahun terakhir yang aku jalani tidak akan ada hasilnya.
"(yn), kau tidak mengalami mimpi buruk lagi 'kan?" tanyanya kembali, aku menunduk menimbang-nimbang apa akan berkata jujur atau bohong.
"Tidak, aku sudah bisa tidur dengan nyenyak. Ini semua berkat dirimu, terima kasih," dustaku, lelaki di hadapanku tersenyum manis. Membuatku mau tak mau ikut tersenyum juga.
"Itu sudah tugasku sebagai psikiater pribadimu," aku hanya tersenyum kecil menaggapi ucapannya.
Kim Seok Jin, adalah dokter muda spesialis kejiwaan. Aku mengenalnya 2 tahun lalu, saat diseret ke rumah sakit oleh kakaku.
Aku tidak gila, itulah yang di katakannya. Satu-satunya orang yang sependapat denganku, satu-satunya orang yang mematahkan asumsi keluargaku bahwa aku gila.
Jin bilang aku mengalami depresi berat, tidak ada yang tahu aku depresi karena apa. Hanya aku dan Jin yang tahu mengenai alasanku terkena depresi. Jin menolongku, dia mengatakan pada keluargaku bahwa aku depresi karena tingginya tekanan yang aku terima selama kuliah. Dan mereka percaya.
"Mau jalan-jalan?" Jin mengulurkan tangannya, seperkian detik aku menatapnya. Sebelum akhirnya aku menerima uluran tangan Jin. Senyum tipis terukir di bibirnya, Jin bangkit dari duduknya sementara sebelah tangannya menggenggam tanganku erat.
"Mau jalan-jalan kemana?" Tanyanya lembut, kujawab dengan gelengan pelan.
"Terserah kau saja."
Jin mengetuk-ngetuk bibirnya yang mengerucut lucu "Bagaimana jika taman rumah sakit? Sepertinya tidak akan buruk," aku mengangguk menerima usulannya barusan.
Kami berjalan dengan lengan saling mengait, sudahkah kudeskripsikan bagaimana tampannya Jin dengan jas putih membalut tubuhnya yang tinggi? Dia tampan, sangat malah.
Surai hitamnya sangat pas dengan kulit putihnya, bibirnya berwarna merah muda karena tidak pernah merokok. Dia tampan dan aku mencintainya. Katakanlah dia obat yang mampu menyembuhkanku secara perlahan.
"Seok Jin! (Yn)!" suara teriakan seorang wanita menghentikan langkah kami. Aku tahu betul suara siapa ini, perlahan Jin melepaskan genggamannya, meninggalkan perasaan kosong di sana.
"Oh! Hye Jin-ah," Jin berbalik dan berlari menghampiri wanita yang berstatus sebagai kakak kandungku sekaligus kekasihnya. dengan berat hati aku berbalik menghadapnya.
Kusunggingkan senyum semanis madu, "Eonni, kau disini?" Hye Jin tersenyum, membuatnya nampak semakin cantik. Tangannya di genggam erat oleh Jin, memberi nyeri tak ketara di hatiku.
"Ne, aku mengantarkan makan siang untuknya. Kau sudah selesai dengan kontrolmu?"
"Aah! Aku sudah selesai. Kalau begitu aku duluan, aku harus ke suatu tempat," bohong, aku tidak punya tempat tujuan setelah dari rumah sakit.
"Kau mau kemana? Ikutlah makan siang bersama kami," ajakan Jin terdengar menggiurkan di telingaku, jika saja tidak sadar akan situsi mungkin aku sudah melompat kegirangan.
Namun yang aku tunjukan hanya senyum tipis, lalu menolak dengan halus, "Tidak usah, aku buru-buru," Hye Jin eonni dan Jin mengangguk paham, dan mereka pergi dengan tawa bergema, tak menyadari bahwa baru saja hatiku kembali patah, atau salah satu dari mereka berpura-pura tak menyadarinya?
Hye Jin adalah kakakku. Kami berbeda 3 tahun, saat ini dia berkerja sebagi Jaksa. Dia adalah kekasih dari Kim Seok Jin, pria brengsek yang sialnya juga aku cintai. Ya, dalam peraturan sudah di sebutkan bahwa pasien dan dokter tidak boleh terlibat hubungan emosional, aku terkekeh geli kala tahu bahwa aku dan Jin melanggar peraturan itu.
Sudah kubilang jika Jin adalah obat untukku, yang dapat menyembuhkanku. Tapi, dia adalah obat yang memiliki efek samping, semakin aku bergantung padanya, maka semakin besar efek samping yang akan aku terima.
*****************
Malam datang dengan cepat, seperti malam-malam sebelumnya aku tidak akan pernah bisa tidur jika tidak mengonsumsi obat tidur. Meski tak separah dua tahun yang lalu, aku tetap membutuhkannya untuk jaga-jaga.
Baru akan terlelap suara ketukan di pintu kembali membuatku terjaga. Aku mendengus pelan, tahu betul siapa yang mengganggu malam-malam begini.
"Ada apa Hye Jin eonni? Aku mau tidur," kepalanya menyembul di balik pintu dengan senyum tiga jari miliknya. "Boleh aku masuk?" dengan malas aku mengangguk pelan, secepat kilat dia masuk dan membaringkan tubuhnya di sampingku. Senyum masih belum hilang dari bibirnya.
"Kau tidak begadang lagi untuk menyelesaikan kasus-kasusmu itu?" senyum Hye Jin semakin lebar, kepalanya menggeleng pelan menjawab pertanyaanku.
"Aku tidak ada persidangan dalam waktu dekat ini. (Yn)?" panggilannya kusahut dengan gumaman pelan, efek obat tidur itu mulai berkerja. Mataku mulai terasa berat.
"Jin mengajakku untuk bertunangan, haruskah aku menerimanya?" samar, namun entah mengapa begitu menusuk di pendengaranku.
Tubuhku menegang, rasanya jantungku berhenti berdetak. Perlahan perasaan panas merangsek, seolah tengah membakar dadaku. Ini menyakitkan. Aku tidak menjawab, memilih diam dengan kerongkongan tercekat.
"Kau tidur?" aku bergeming, masih tetap dalam posisiku. Kurasakan Hye Jin bergerak pelan, dielusnya kepalaku lembut penuh kasih sayang. Perasaan bersalah merayap, berkumpul menjadi satu dalam dada.
"Kau tahu dia adalah milikku. Kau pasti sangat tahu jika aku tidak suka sesuatu yang sudah jadi milikku di ambil, apalagi secara diam-diam," sesak menghantam dadaku, apa yang di katakannya barusan? Tidak mungkin dia tahu hubunganku dengan Jin.
"Aku mencintainya, sangat. Aku juga menyayangimu, maaf aku tidak bisa mengalah kali ini. Jangan ambil dia dariku, akan aku berikan semuanya padamu, tapi tidak dengan dia. Aku yakin kau akan mendapatkan seseorang yang lebih dari dia," Hye Jin eonni menghela napas, suaranya bergetar menahan tangis. Sementara air mataku telah meleleh membasahi bantal, sekuat tenaga aku menahan isakan yang akan keluar.
Hye Jin mengecup kepalaku singkat, "Good night, my beloved sister," bisiknya.
Pintu tertutup dan air mataku mengalir, perkataannya masih terngiang dalam kepalaku, apa yang harus aku lakukan? Aku terduduk, keringat dingin mengaliri tubuhku. Napasku memburu, selama ini Hye Jin eonni tahu. Dia tahu hubunganku dengan Jin. Tangisku pecah seketika, aku terisak pelan. Aku adik yang jahat.
Aku membekap mulutku sendiri agar tidak ada yang mendengar tangisanku, kupukul dadaku berkali-kali agar perasaan sesak itu hilang. Tapi, dia tetap bertahan disana, menyiksaku secara perlahan seolah tengah memberi hukuman atas apa yang telah aku lalukan selama ini.
"Eonni, maafkan . . . aku."
Tangis penyesalanku mungkin tidak akan pernah berguna. Mengapa aku harus menjadi orang jahat? Kenapa aku bisa setega ini? Hye Jin eonni sangat mencintaiku tapi, bagaimana bisa aku membalasnya dengan menikamnya dari belakang? Merebut orang yang di cintainya.
"Aku . . . benci diriku sendiri, eonni aku jahat, Hye Jin eonni . . .maafkan aku."
*******************
Lelaki di hadapanku menatap kertas di tangannya dengan raut wajah tidak terbaca. Jin mengalihkan tatapannya padaku, di ulurkannya kertas tadi padaku.
"Aku tidak tahu harus bereaksi seperti apa terhadap keputusanmu," ujarnya setelah hening panjang yang menyiksa.
"Cukup dukung keputusanku," Jin tertawa pelan, matanya menyipit saat tertawa membawa gelenyar aneh dalam jantungku. Aku tatap lekat-lekat wajah tampannya, seolah tengah menyimpannya baik-baik dalam ingatan. Setidaknya biarkan aku membawa sedikit memori menyenangkan tentang dirinya.
Tawanya reda, Jin kembali mengalihkan perhatiannya padaku, "Kenapa mendadak ingin melanjutkan S2? Dan kau memilih Paris? Itu cukup mengejutkan."
Aku mengedikan bahu acuh, "Aku ingin melupakanmu, dan memulai hidup baru. Sepertinya Paris kota yang tepat untuk aku datangi setelah patah hati, bukankah begitu, Jin-ssi?" tanyaku mencoba bercanda, tapi orang yang aku ajak bercanda tak memberi respon, hanya hening yang tercipta.
Aku medongak dan menemukannya tengah menatapku dengan dahi berkerut halus, kuulurkan tanganku untuk mengurai kerutan di dahinya, dan tepat sebelum aku menarik tanganku Jin lebih cepat menahannya.
"Apa maksud perkataanmu barusan?," terjadi perubahan nada suara yang sangat signifikan, kucoba melepaskan cekalan tangannya, namun sia-sia Jin terlalu kuat menahan tanganku. "Aku rasa kau tidak sebodoh itu untuk memahami perkataanku barusan."
Dia menggeleng hiperbolis, "Aku tidak mengerti, jelaskan maksud perkataanmu barusan."
Aku menghela nafas panjang, aku pandangi lekat-lekat wajah lelaki yang telah mengisi hatiku dalam kurun waktu dua tahun terakhir.
Berat, itulah perasaanku saat ini. Keraguan tak pernah enyah dari hatiku, bisikan setan yang terus membujuk penuh rayu agar mempertahankan hubungan yang jelas tak akan pernah menguntungkan bagiku, dan merugikan bagi orang lain.
"Kau akan bertunangan dengannya, aku sudah tahu. Lanjutkan apapun yang kau inginkan bersama kakakku, dengan satu syarat, jangan pernah sertakan aku dalam cerita yang ingin kau bangun bersama kakakku. Semuanya harus berakhir sampai di sini, aku tidak ingin bergantung terlalu banyak padamu. Dan aku tidak ingin kakakku terluka hanya karena keegoisanku, dia tahu apa yang terjadi di antara kita. Menurutmu sampai kapan dia mampu berpura-pura tidak tahu?"
Wajah lelaki di hadapanku menegang, cekalannya di tanganku perlahan menguat membuatku meringis menahan sakit. Lama Jin terdiam, entah apa yang tengah di pikirkannya. Kuharap apapun keputusannya semoga dia tidak bertindak bodoh.
"Bagaimana bisa aku mempercayaimu? Bisa saja ini akal-akalanmu untuk pergi dariku. Apa aku melakukan kesalahan? Atau kau-" dia menjeda, netra segelap malam itu menatapku lekat, cekalannya makin menguat seiring dengan rahang yang mengeras, "kau menemukan pria lain?" ucapannya terdengar seperti bisikan, namun aku tidak tuli untuk mendengar perkataannya yang begitu menohok hatiku. Terdengar begitu mengintimidasi dengan tekanan kuat di setiap katanya.
"Benarkan? Kau menemukan pria lain!! Pertunanganku dengan kakakmu masih sebatas wancana. Kau jadikan itu alasan untuk pergi dariku!!" aku terhenyak mendengar perkataan Jin, suaranya meninggi dan matanya berkilat marah. Lagi, dia mematahkan hatiku. Aku menatapnya tak percaya. Mata seteduh musim semi itu berganti, hilang menguap entah kemana. Berganti dengan tatapan tajam menusuk.
Tidak pernah aku banyangkan jika Jin akan berpikir sedangkal ini, bagiku setiap apa yang ada padanya adalah sempurna. Dia selalu pintar dan cerdas dalam melakukan pekerjaannya, dia slalu bijaksana dalam menanggapi persoalan. Tapi, kali ini aku harus puas dengan melihat sisi lain dari lelaki yang begitu kupuja.
Aku tanggapi perkataan Jin dengan senyum sinis, "Lalu, apa ada masalah jika aku bersama pria lain? Siapa aku bagimu?" tanyaku tenang. Wajahnya mengeras karena emosi yang meluap, buku-buku jarinya memutih dalam kepalan. Kenapa dia harus semarah ini? Kurasa hubungan kami tidak pernah mencapai kata serius.
"Siapa kau bagiku? Kau adalah kekasihku," tawaku pecah seketika, apa katanya tadi? Kekasih? Sejak kapan dia menganggapku jadi bagian hidupnya? Setahuku aku hanyalah seorang pelampiasan ketika dia bosan. Ini lucu sekaligus menyakitkan di saat bersamaan.
Dahi Jin berkerut halus saat meilihatku tertawa, "Apa kau sedang melawak? Tadi sangat lucu. Bukankah seharusnya, seorang pria dan wanita menjadi sepasang kekasih jika mereka berdua sama-sama punya komitmen untuk bersama? Tapi, jika hanya satu orang yang menginginkan adanya komitmen, sementara yang satunya tidak. Bukankah itu berarti keputusan sepihak?"
Jantungku berpacu dua kali lebih cepat, memukul rongga dadaku. Tak pernah aku berbicara begitu berani kepada Jin, selama ini aku slalu menghormatinya, kucoba mengatur detak jantung dan deru napasku. Tak dapat kupungkiri bahwa ini menyakitiku. "Kita tidak pernah menyetujui bentuk komitmen apapun."
Jin menatapku nyalang, sekejap aku melihat keterkejutan dan perasaan terluka di matanya. Namun, bukan itu yang aku butuhkan saat ini. Aku harus terlepas darinya secepat mungkin lalu pergi ke Paris seperti rencana awalku.
"Bukankah dari awal aku sudah mengatakan jika hubungan ini tanpa komitmen. Kita menjalaninya seolah hubungan ini terjadi begitu saja, kita sudah sepakat akan hal itu semenjak awal. Baik aku maupun kau bukannya sudah tahu, resiko macam apa yang akan kita terima. Seharusnya kau ingat akan hal itu."
Jin berkata dengan tenang, sepertinya dia sudah dapat mengendalikan diri. Perkataannya barusan berhasil menyentil perasaanku, ya, seharusnya aku ingat itu. Sejenak aku terdiam memikirkan perkataannya. Jika memang tidak pernah ada komitmen maka seharusnya cukup mudah untuk mengakhiri semua ini.
Bibirku tertarik membentuk garis simetris, aku mencondongkan tubuhku, sehingga lebih dekat dengan Jin, "Kalau begitu, mari akhiri hubungan ini seolah-olah tidak pernah terjadi," aku menjauhkan tubuhku, Jin masih bergeming di tempatnya.
Hening kembali tercipta, tak ada satupun dari kami yang berniat membuka suara. Hingga deheman Jin menginterupsi lamunanku yang entah kapan tercipta. Dia akhirnya melepaskan cekalannya di tanganku. Irisnya menatapku tenang. Jin yang aku kenal telah kembali.
"Baik, mari akhiri hubungan ini seolah-olah tidak pernah terjadi. Jika ini yang kau inginkan, maka dengan senang hati akan aku berikan," dan seluruh tembok baja yang kubangun selama dua tahun terakhir runtuh seketika, mimpi buruk akan kehilangan dia akhirnya menjelma menjadi nyata, merangsek dalam otak, membekukan semua sistem sarafku.
Tak ada yang aku katakan, selain anggukan pelan menyetujui keputusan final Jin, bahkan sampai dia meninggalkan tempat kami bertemu pun aku masih bergeming, terdiam. Entah ekpresi atau emosi macam apa yang harus aku tunjukkan, hatiku sudah mati rasa hanya untuk sekedar merasa sakit, maka yang kulakukan setelah kerterdiaman yang panjang, yang begitu menyiksaku dan memenjarakan dalam ingatan tak bermutu. Aku memilih bangkit, menatap langit dengan angkuh, berkata pada Sang alAngung,
Jangan buat aku sakit lagi, semua sudah berakhir sampai disini. Bisakah Kau beri aku sedikit kebahagian? Tak perlu dengannya, karena dia bahagia bukan untukku. Beri aku obat, yang mampu menyembuhkan bukan hanya sekedar mampu meredakan. Tuhan.
Yessss, Jin imagine beres^^ maaf jika mengecewakan hehe. Bagaimana sudah puitis blm kata2nya???
Ingat vote dan commentnya jangan lupa😂
Next chap Yoongi😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top