Jimin : 4 O'Clock (Last Chapter)
Bias orange di langit perlahan mulai terlihat. Matahari sebentar lagi akan menunjukan diri, lalu menjulang tinggi. Tapi aku masih berdiam diri di sini, di tempat terakhir kali aku melihat tawa lepasnya.
Udara pagi terasa begitu menusuk, terasa begitu dingin. Andai dia masih di sini, mungkin aku tidak akan merasa sedingin ini. Bukan hanya tubuhku, tapi hatiku juga ikut membeku.
Ia tak pernah ada lagi di jarak pandangku. Tak pernah ada lagi di ramainya dunia, dia hanya hadir dalam khayal. Ia ada dalam ilusi yang aku ciptakan. Ia hanya ada dalam hening, dalam sepinya malam.
Aku beranjak pergi saat matahari sudah menunjukan diri. Aku tak lagi menunggunya, karena tubuhku sudah terasa beku. Dinginnya pagi ini, apa dia juga merasakan apa yang aku rasakan?
"Mari bertemu sebelum matahari menunjukan diri."
Ujarnya kala itu. Saat kita berada di dataran tinggi. Saat itu kita memadu kasih di bias sinar matahari sore. Aku menyanggupi, tanpa tahu itu akan menjadi penantian yang panjang.
Jika rindu ini masih milikmu, ku hadirkan sebuah tanya untukmu. Harus berapa lama aku menunggumu?
Karena aku sudah menunggu sejak hari berganti minggu. Lalu minggu berganti bulan. Dan bulan dengan cepat berganti tahun. Dan dia tak pernah ada, untuk tepati janji yang dia ikararkan, aku terluka.
"Jangan menungguku lagi, karena aku tidak akan pernah temui kamu lagi."
Saat itu hujan begitu lebat, aku tidak bisa mendengar suaranya dengan jelas. Tapi .. Kenapa perasaan ku tidak enak? Wajahnya mengatakan semuanya, binar dalam matanya menceritakan segalanya. Apa kita akan berakhir seperti ini?
Dia melenggang begitu saja, membiarkan aku basah kuyup di guyur hujan. Tak di dengarnya teriakan ku yang menggema memanggil namanya. Dia berlari di bawah hujan lebat, lalu sosoknya hilang di kelokan jalan.
Hari-hari berlalu begitu cepat. Bukankah begitu? Bagiku, entah bagimu. Dia tak lagi muncul di hadapanku, tak lagi ada dalam atensi. Park Jimin hilang sepenuhnya. Seolah ia membuktikan perkatannya waktu itu. Seolah aku menjadi orang bodoh yang masih betah menunggunya pada jam empat pagi hanya karena dia meminta bertemu saat matahari terbit.
Park Jimin. Nama itu tidak lagi aku dengar. Sudah lama sekali rasanya nama itu tak di sebut oleh orang-orang di sekelilingku. Mereka seolah sepakat untuk tidak menyinggung nama itu. Sedikit banyak aku berterimakasih pada mereka. Setidaknya, aku tidak terlalu mengingatnya saat keadaan ramai. Beda halnya jika sepi, maka namanya adalah hal yang terlintas paling pertama dalam kepalaku. Seolah dirinya adalah candu yang tak bisa aku lepaskan. Memang kenyataannya begitu.
Ini sudah hampir lima tahun sejak Park Jimin tiba-tiba menghilang dari pandanganku. Orang-orang bertanya kemana ia pergi. Bagaimana aku bisa menjawab, saat hal itu juga menjadi pertanyaanku. Setiap hari aku mencari, rasanya Kota Seoul sudah aku telusuri sampai ke akarnya, tapi Jimin tak pernah di temukan. Aku mencari ke kampung halamannya, ke tempat yang mungkin berpotensi di datanginya tapi hanya sedikit informasi yang aku terima. Dan itu semua tak bisa menuntunku untuk bertemu dengannya.
Sebenarnya simpel saja. Saat bertemu dengannya aku hanya akan bertanya satu hal padanya. Aku akan menanyakan alasannya pergi tanpa alsan. Hanya itu. Aku perlu tahu alasannya meninggalkan aku. Jika nanti saat bertemu aku bisa melampiaskan rindu yang aku himpun selama ini, itu hanya bonusnya saja. Karena aku hanya perlu tahu alasan ia pergi begitu saja.
Hari ini Seoul kembali di guyur hujan. Aku berdiri di pinggir jalan, menunggu lampu penyeberangan menyala. Di seberangku juga sama. Orang-orang berjajar menunggu. Di antara riuhnya orang-orang dan suara hujan yang bergemuruh, aku melihat seorang pria berdiri dengan payung di tangannya. Ia memakai coat berwarna hitam, rambutnya tampak bergoyang karena angin. Tapi bukan hal itu yang membuatku mendadak ingin berlari dan menghambur dalam pelukannya. Kenyataan bahwa Park Jimin berdiri di sana tanpa menyadari kehadiranku cukup membuat tubuhku serasa tidak bernyawa.
Kakiku mendadak lemas, seperti jelly. Lembek. Rasanya perutku bergejolak, terasa panas dan mual. Aku meraba-raba sekitar mencari pegangan. Tapi aku tidak menemukannya. Dan saat ia berjalan mendekat, aku merasa tubuhku tak lagi bisa bereaksi.
Lampu penyebrangan menyala. Orang-orang di dekatku mulai berlalu lalang, tapi aku masih fokus pada sosok yang perlahan berjalan mendekat. Ia masih tak menyadari kehadiranku. Bahkan hingga sosok itu melewatiku, tak sedikitpun ia menoleh. Aku terdiam, debaran di dadaku menguat seolah meyakinkan bahwa orang itu memang Park Jimin. Tersadar akan sesuatu aku melarikan pandanganku keseantereo jalan, dan ia tidak ada. Park Jimin tidak ada di manapun.
Aku berlarian menyusuri jalan yang mungkin ia lewati, tak memedulikan teriakan orang karena tidak sengaja ku senggol. Aku berlari seperti orang kesetanan, nafasku sudah memburu. Dari jalan satu ke jalan yang lain, aku mencoba mencari jejaknya yang mungkin telah luntur terhapus hujan. Tapi perjuangan tak pernah mengkhianati hasil, aku menemukannya tengah berjalan bersebrangan denganku. Ia tampak berjalan dengan tenang, setiap langkahnya terlihat pasti. Sementara nafasku masih terengah, masih memburu. Tidak sedikitpun mataku terlepas darinya, seolah jika aku lengah sedikit saja maka ia akan hilang, seperti buih di laut.
Dengan modal sedikit nekat aku menerobos jalanan. Orang-orang memakiku, teriakan mereka terdengar penuh akan sumpah serapah. Tapi aku tidak punya lagi waktu, saat ini orang yang tengah berjalan di hadapanku lebih penting. Aku tidak mau lagi menanti lebih lama, aku tidak mau.
"Park Jimin?!" aku memanggil namanya setengah berteriak. Aku takut ia tak mendengar panggilanku karena hujan. Ia bergeming, lalu aku lihat dia berniat meneruskan langkahnya. "Park Jimin! Aku memanggilmu. Park Jimin?!"
Teriakku penuh rasa putus asa. Lelaki di hadapanku masih diam. Hingga ia memutuskan berbalik badan menghadapku.
Lelaki itu berbalik. Payung itu perlahan terangkat memperlihatkan sosok di bawahnya, sesuai dugaanku mata teduh milik Park Jimin menyambutku. Aku tergelak melihatnya di hadapanku, rasanya sangat tidak nyata. Lima tahun tanpa kabar, dan tetiba kini ia berdiri di hadapanku. Aku menatapnya tak percaya, mataku sudah berkaca-kaca siap menumpahkan air mata yang bahkan enggan keluar sejak lima tahun lalu. Dan sekarang tiba-tiba saja aku begitu ingin menangis di hadapannya.
Park Jimin menatapku lembut. Ia berjalan mendekat berdiri di hadapanku, tangannya terulur memayungiku yang bahkan sudah basah kuyup.
"Kenapa kau sangat suka hujan-hujanan?" ujarnya.
Tidak bisa lagi aku tahan. Aku menghambur memeluknya. Aku begitu merindukannya. Sangat. Ia membalas pelukanku sama eratnya. Aku menangis, menumpahkan semua rasa yang lima tahun tidak dapat aku lampiaskan. Berkali-kali aku membisikan kerinduanku, tapi ia hanya membalas, "Aku tahu."
Aku duduk dengan perasaan campur aduk. Setelah bertatap mata seperti ini, rasanya tidak adil jika aku hanya bertanya alasannya pergi. Aku menunggu lima tahun, tidak akan aku gunakan untuk hal yang tidak berguna.
"Kau yakin tidak mau ganti baju? Nanti kau sakit." Tawarannya aku balas dengan gelengan. Aku takut, jika aku ganti pakaian ia akan hilang. Park Jimin mengulum senyum kecil. Senyumanya masih sama dengan yang lima tahun lalu.
"Bagaimana kabarmu? Ini sudah lama sekali yah?"
Hatiku mencelos mendengar pertanyaannya. "Menurutmu apa aku baik-baik saja?" ia tersenyum mendengar aku membalikan pertanyaannya. "Apa kau baik-baik saja selama lima tahun terakhir?" aku butuh jawabannya, akan sangat tidak adil jika dia baik-baik saja.
"Aku baik. Aku ......"
"Aku tidak baik-baik saja!" tanpa bisa ku tahan volume suaraku mengeras, Jimin tampak terkejut. "Bagaimana bisa kau baik-baik saja setelah pergi begitu saja tanpa alasan?" aku menatapnya nanar.
Tanganku bergetar, aku tidak tahu jika rasanya akan segugup ini. "Bagaimana bisa kau melakukan ini semua? Kau tahu berapa banyak waktu yang aku habiskan hanya untuk memikirkan apa kesalahnku padamu?" seruku sengit. Jimin hanya diam, perlahan tatapannya jatuh pada meja. Ia enggan menatapku.
"Apa kau tahu bagaimana aku mencarimu selama ini? Bukankah ini tidak adil. Bagaimana bisa kau baik-baik saja sementara aku tidak." Jimin bungkam, "aku tidak baik-baik saja Jimin. Tidak pernah baik-baik saja." Mataku kembali berkaca-kaca. Hari ini aku benar-benar menjadi perasa sekali. Uhh, aku benci diriku yang rapuh jika di hadapannya.
Jimin mengambil tanganku, di genggamnya dengan sangat erat. Lalu di kecupnya lama. Rasanya hangat dan nyaman. Aku rindu rasa itu, rindu sekali. Namun aku benci bisa luluh secepat itu, aku lemah jika di hadapkan dengan pria ini. Bagaimana pun dia adalah yang mengendalikan diriku. Aku tidak ada pilihan lain selain kembali ke sisinya, menerimanya kembali. Melupakan kesalahannya lima tahun lalu, menghilangkan segala rasa sakit yang aku rasakan dulu. Semudah itu saja aku kembali bertekuk lutut pada seorang Park Jimin.
Tepat pukul 20.00 aku dan Jimin sampai di apartement milikku. Jimin bilang dia akan menginap malam ini dan dengan mudahnya aku mempersilahkan. Seolah Jimin tidak pernah melakukan kesalahan apapun. Aku mendadak melupakan semua rasa sakit yang dia berikan. Tidak apa, asal dia kembali di sisiku.
"(yn), sepertinya aku butuh mandi. Kau juga harus mandi biar tidak flu."
Jimin tersenyum membuatku juga ikut tersenyum. Aku lupa kapan terakhir kali tersenyum seperti ini, rasanya sudah lama sekali.
"Mandilah, aku akan menyiapkan makan malam dulu."
"Kau juga harus mandi jika tidak mau kena flu," hatiku menghangat mendengar nada khawatir dalam ucapannya. "Aku akan mandi setelah kau selesai. Sudah mandi sana, aku mau masak dulu."
Aku menatap punggungnya yang hilang di balik pintu kamar mandi. Segera setelahnya aku menuju dapur untuk memasak. Malam ini aku akan menyiapkan makanan kesukaan Jimin.
30 menit kemudian Jimin keluar dari kamarku. Ia tampak lebih segar setelah mandi. Aku memperhatikan setiap gerak-geriknya. Hingga tidak menyadari dia sudah berdiri di hadapanku. Jimin memasang wajah jahil.
"Aku tahu aku tampan, jadi tolong berhenti menatapku seperti itu." Jimin terkikik kecil melihatku memelotot.
"Aku tidak sedang menatapmu."
"Kau menatapku secara terang-terangan."
"Aku bilang tidak," aku berniat pergi dari hadapannya, tapi tangan Jimin lebih dulu menahanku, "apa yang kau lakukan? Lepaskan. Aku mau mandi."
Jimin menunjuk pipi kirinya, memintaku untuk menciumnya. "Aku tidak mau." Jimin mengeratkan cekalannya, menghela nafas aku mengecup pipinya singkat. Dia tertawa kecil lalu melepas cekalannya, "mandi yang benar," ujarnya sebelum aku masuk ke dalam kamar.
Keluar dari kamar aku mendapati ruang tengah sunyi. Seketika pikiran buruk berkelebatan dalam kepalaku. Tidak mungkin kan jika Jimin kembali pergi meninggalkannya?
"Ji .. Jimin kau di mana?" aku berlarian mencarinya di setiap sudut rumah. Dan Jimin tidak ada di manapun. Tak memedulikan apapun aku berniat keluar mencarinya, baru juga akan membuka pintu, pintu itu lebih dulu terbuka dan menampakan Jimin di baliknya. Ia tampak bingung melihat wajah panikku. Segera aku menghambur dalam pelukannya, membuatnya nyaris terjengkang.
"Hey.. Hey.. Ada apa? Kenapa kau menangis?" tanyanya khawatir. Aku tidak menjawab dan memilih mengeratkan pelukanku, Jimin ikut membalas pelukanku sama eratnya. "Ada apa? Sssst jangan menangis." Sekitar lima menit kami bertahan dalam posisi seperti ini. Jimin merenggangkan pelukannya, ia menangkup wajahku dan menghapus sisa-sisa air mata yang masih setia mengalir.
"Kenapa kau menangis hmm?"
"Aku kira kau pergi lagi. Aku takut."
Jimin tersenyum lembut, "Aku di sini. Apa yang kau takutkan? Aku tidak akan kemana-mana." Ujarnya sambil mencubit kedua pipiku gemas.
"Jangan pergi. Jangan pergi lagi."
"Iya."
Sehabis makan malam aku dan Jimin memilih untuk marathon movie. Dan ini sudah film ke tiga yang kami tonton. Selama itu pula aku tidak fokus menonton, yang aku pikirkan hanya satu. Bagaimana caranya agar Jimin tetap di sini. Aku tidak bodoh, aku tahu jika Jimin juga ikut gelisah. Bahkan 4 botol soju tidak sanggup membuatku dan Jimin mabuk. Sebenarnya aku sedikit mabuk dan mengantuk. Tapi aku tidak mau tidur, aku terlalu takut untuk tidur. Membayangkan aku terbangun sendirian seperti lima tahun lalu membuatku memutuskan tidak akan tidur semalaman.
Melirik Jimin yang masih fokus pada film di hadapannya membuatku betah memerhatikan wajahnya. Dia lebih kurus dari 5 tahun lalu. Pipinya lebih tirus. Wajahnya menjadi lebih tampan. Aku bersyukur dia baik-baik saja. Jimin menoleh dan tersenyum geli mendapati ku tengah memerhatikannya.
"Aku setampan itu ya?"
Aku mengangguk, "Kau tampan." Dia tersenyum kikuk, "aku tahu," katanya.
Lama aku dan Jimin saling menatap. Matanya masih sama seperti dulu. Yang berbeda adalah binarnya. Aku tahu itu sudah hilang. Dengan sangat jelas. Aku mendekat, lalu menempelkan keningku pada keningnya. Hidung kami saling bersentuhan, satu gerakan saja aku bisa merasakan bibir yang dulu begitu menjadi candu.
"Aku merindukanmu. Sangat." Seruku, "jangan pergi lagi menetaplah di sisiku selama mungkin," pintaku setengah berbisik. Tapi Jimin tidak menjawab, yang aku rasakan selanjutnya adalah bibirnya menekan bibirku lembut. Dia menciumku setelah lima tahun lamanya.
Alarm berbunyi tepat pukul 4 pagi. Seperti kebiasaanku sejak lima tahun lalu, aku akan pergi untuk menunggu seseorang yang pernah mejanjikan untuk bertemu sebelum matahari terbit. Aku meraba ranjang di sebelahku dan rasanya dingin. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, mencoba memfokuskan penglihatanku. Dia tidak ada. Jimin tidak ada.
Aku bangkit, mengambil mantel lalu pergi ke luar rumah. Cuaca hari ini sangat dingin, mungkin karena hujan baru saja reda beberapa jam yang lalu. Hanya memerlukan waktu 15 menit untuk sampai ke tempat yang pernah menjadi saksi sebuah janji yang tidak di tepati. Aku diam memandangi air laut yang bergemuruh. Angin berhembus kencang membuat mataku perih.
"Kau membohongi ku lagi."
"Seharusnya dari dulu kau tidak pernah berjanji, Park Jimin. Seharusnya kau tidak pernah hadir dalam kehidupanku."
Aku menarik nafas dan menghembuskannya pelan. Aku merogoh saku jaket dan mengeluarkan sebuah cincin. Aku menatapnya lama, cincin itu tidak pernah aku lepas selama ini. Ini adalah kali pertama aku melepasnya dari jari manisku.
"Kau meninggalkan cincinmu sebelum pergi. Kau ingin kita mengakhiri perjanjian kita. Kau mengembalikan tanda perjanjiannya."
Aku menangis. Kenapa aku jadi cengeng sekali? Sebelum aku pergi ke sini, aku menemukan cincin yang sama persis dengan milikku terpasang di leherku. Itu adalah cincin milik Jimin. Dia selalu menggunakannya sebagai liontin.
"Mari kita akhiri perjanjian kita untuk selalu bersama."
"Terimakasih sudah memberiku hari terakhir yang menyenangkan. Selamat tinggal, Jimin."
Criminal News
Sesosok mayat wanita di temukan mengambang di laut. Di duga mayat wanita tersebut adalah korban bunuh diri. Saat ini polisi tengah menyelidiki penyebab korban bunuh diri.
(Seoul, 05 Mei 2018)
Last chapter 😄 terimakasih sudah mau menyempatkan baca cerita abal-abal ini. Yuk pindah lapak ke Immature.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top