Prolog
Kamu, satu kesalahan yang berujung jutaan masalah.
Pagi yang sedikit berbeda dari biasanya. Hari ini, pertama kalinya Emil kembali menginjakkan kaki di kampus. Hampir dua bulan dirinya terasingkan di sudut kota Bogor untuk merakyat bak wakil rakyat. Ah, lebih tepatnya sebuah misi yang wajib dilaksanakan semua mahasiswa di semester enam. Apalagi kalau bukan Kuliah Kerja Nyata, yang membuat gadis bertubuh tidak tinggi itu semakin menggila karena larut dalam euforia. Pun jauh dari kekangan dua makhluk berjakun yang seringkali semena-mena padanya.
"Kamu nggak kuliah?" tanya Kakak satu-satunya yang Emil miliki saat melewati kamar adiknya.
"Ini mau berangkat, Kak. Masa nggak lihat udah dandan begini," delik Emil sebal.
"Dandan mau kuliah apa mau jadi preman, woy!" Rey setengah berteriak. Masalahnya, dandanan adiknya sering tidak sesuai dengan situasi dan kondisi. "Yang manis sedikit lah, Dek. Ntar orang kira kamu persilangan dua gender," lanjut Rey semakin membuat Emil murka tujuh turunan. Hampir saja Emil melempari wajah songong kakaknya dengan meja rias di kamar, Rey buru-buru mengalihkan perhatian.
"Papa mana?" Rey berjalan masuk dan duduk di tepi ranjang adiknya.
"Ke Bandung buat jemput Mama di rumah Nenek." Emil memang mengetahui rencana bapaknya menjemput Ratu rumah tersebut di Bandung.
"Ngomong-ngomong, pulang semedi dari kampung ... kelihatan dekil, Mil." Tanpa banyak kata, Emil melempar buku yabg sedang dipegangnya--Emil memang sedang menyiapkan buku untuk berangkat--ke arah Rey, hingga laki-laki yang pernah menyandang perjaka akut selama bertahun-tahun itu meringis.
"Busyet! Sadis amat jadi cewek." Rey segera beranjak pergi dari kamar, daripada mendapati ranjang kamar mencumbu keningnya karena menggoda Emil. Dengan napas memburu, Emil menatap nyalang pada sang Kakak yang sudah pergi dari kamar. Inilah yang ia benci kembali ke rumah. Korban empuk salah satu pejantan di rumahnya.
***
Emil menuruni tangga bersiap sarapan. Rumah terlihat sepi karena kedua orangtuanya belum pulang dari Bandung. Sedangkan pembantu rumah tangga yang biasa datang, anaknya sedang sakit. Sehingga seminggu ini absen datang. Melirik meja, Emil memutuskan menghampiri. Dua lembar roti tawar ia ambil dan mengolesi dengan selai coklat. Satu tangkup roti selesai. Sambil menggigiti perlahan, Emil memakai sepatu di ruang tamu.
Ponsel Emil berdering, pertanda sebuah panggilan masuk. Dari layar dapat dilihat bahwa nama Iko, sahabatnya dari orok sedang menari-nari. Iko sendiri, tak sekadar belahan jiwa Emil sejak lahir. Ia pun sudah sah menjadi saudara ipar. Kakak Emil menikah dengan kakak Iko. Terlihat rumit memang, namun ini bukan judul sinetron di televisi.
"Ya, Ko," mulainya.
"Kamu pernah tanya nomornya Pak Hengki, kan?" Emil mengangguk karena mulutnya masih mengunyah. Tak peduli Iko melihat atau tidak. Pak Hengki adalah kepala desa tempat Emil dulu tinggal sementara selama KKN.
"Yoyoi. Kamu punya?"
"Kamu catet nih nomornya, daripada hilang di tanganku." Dengan mengedarkan pandangan ke meja ruang tamu, Emil menemukan lembaran kertas yang disatukan ujungnya dengan penjepit kertas manual. Tanpa pikir panjang, ia menuliskan nomor yang disebutkan Iko di bagian kosong belakang dari lembaran kertas tersebut.
Sambungan terputus, dengan senyum lega Emil melipat asal kertas tersebut. Ia girang sudah mendapatkan nomor kepala desa rasa oppa kuria, yang diketahui sudah duda. Bukan bermaksud daftar menjadi kandidat bidadari sang kepala desa, ia hanya ingin mempermudah komunikasi. Siapa tahu ada perjaka perangkat desa yang tengah mencari gadis manis nan memesona seperti dirinya. Tidak. Emil hanya perlu tanda tangan semata, karena tugas kelompoknya nanti butuh pengesahan.
Meraih tas ransel yang tergeletak di meja makan, kemudian ia berlari keluar rumah. Tak lupa berteriak pada Rey sebagai tanda pamit berangkat.
***
Mata kuliah hari ini semuanya masih belum memasuki tahap berat dan serius, karena memang masih masuk perdana setelah libur panjang semester.
Mata kuliah terakhir yang diambil Emil adalah kelas bapaknya sendiri, Pak Aldari atau biasa disapa Pak Ari. Karena Emil tahu jika kelas akan kosong, ia putuskan tidak masuk dan malah melenggang cantik dengan goyangan pantat setengah kenyal menuju kantin. Bau pisang goreng panas yang baru diangkat dari penggorengan, begitu menggoda air liur untuk membasahi lantai.
Dengan langkah seribu bayangan, Emil berjalan ke arah meja yang berjejer aneka macam gorengan di atasnya. Mengambil piring dan memilih lima macam gorengan, kemudian mencari tempat duduk.
Baru saja ujung pisang goreng yang panas itu menyentuh ujung lidah gadis berpipi gembil dan berambut panjang ekor kuda, suara Ais, temannya menyela. "Berisik kok dipelihara sih, Is! Kenapa? Ada apa?" kesal Emil setengah bertanya pada Ais yang berwajah panik.
"Ayo ke kelas, ada Asdos yang gantiin Pak Ari. Ayo ke kelas. Parah kalau kesan pertama kita malah bikin ulah." Emil menghela napas kecewa.
"Ya udah aku bungkus dulu gorengannya." Ais membantu membusngkus dan mereka berdua berjalan cepat ke kelas.
Suasana kelas terdengar riuh saat Emil dan Ais datang. Emil menoleh ke arah meja yang biasa ditempati dosen mengajar. Di sana ada seorang laki-laki berkacamata sedang menunduk membaca tumpukan makalah.
Apakah dia sedang mengheningkan cipta?
"Baik. Perkenalkan, saya Andika Pradana, Asisten Dosen yang akan sering menyapa kalian saat Pak Ari berhalangan hadir," sapanya pada penghuni kelas yang hadir.
Apa?
Siapa tadi namanya?
Andika Pradana?
Ya ampun ... itu nama mirip sama artis aja.
***
"Ada yang ditanyakan sebelum kelas berakhir?" Andika mengakhiri pertemuan, yang membahas kontrak belajar selama satu semester ke depan.
Kelas selesai, dan Emil masih duduk di dalam kelas menikmati gorengan yang gagal terkunyah tadi, sambil mendengarkan lagu dangdut kesukaannya dari salah satu stasiun radio.
Dering ponsel membuat gadis yang mengaku jatuh cinta dengan bulu keriting menggemaskan milik Ridho Roma, berhenti sejenak dari kegiatan memamah biak. Nama kakak ipar terpampang nyata di ponsel. Dengan jari kelingking--jari satu-satunya yang bebas minyak--Emil menggeser tanda hijau.
"Ya, Kak."
"Kamu masih ada kelas nggak, Mil?"
"Nggak ada lagi, Kak. Ini mau pulang. Ada apaan?"
"Jemput dong di Tanah Abang. Mas Rey sama Iko nggak ada yang bisa jemput nih," keluhnya. Kasihan sekali kan, ibu muda kelayapan sendiri tak ada yang jemput. Kalau begini, mana mungkin nurani Emil tega membiarkannya?
"Kak Rey ke mana? Tuh bapak muda yang udah nggak perjaka lagi, masih aja ... demen kerja lupa bini," gerutu Emil kesal. Memang seperti itulah kakaknya yang gila kerja. Baik saat masih perjaka, sampai sekarang sudah berekor dua.
"Nggak tahu, Mil. Udah, buruan jemput. Kasihan si kembar aku titipin neneknya!" perintah kakak ipar yang langsung dianggugi mantap.
***
Sekian lama aku menunggu.
Untuk kedatanganmu.
Bukankah engkau telah berjanji.
Kita jumpa di sini.
Datanglah, kedatanganmu kutunggu.
"Stop!" teriak Rey yang sedang menggendong putri cantiknya, memperingati Emil dengan kesal. "Nggak usah mulai dangdutan. Kasihan anak-anakku telinganya iritasi," lanjutnya sewot.
"Suka-suka aku lah, Kak. Mau nyanyi apa mau jungkir balik. Nggak mungkin bikin telinga keponakanku yang unyu itu iritasi. Lebay!" bela Emil tak mau kalah.
Rey yang mungkin malas meladeni dan mendengarkan suara memaksa ciamik, memilih berlalu. Semetara Emil sendiri, masih setia berdendang sambil mencatat jadwal mata kuliah yang diambil semester ini. Tidak terlalu banyak, karena dari semester awal dia selalu mengambil dua puluh empat SKS tiap semester.
"Rey nggak tahu, Pa, semalem tidur di rumah Sila. Tanya sama Emil tuh, dia seharian di rumah." Suara Rey terdengar sedang berbincang dengan Ari. Emil mendengarkan dendangan rasa dendeng, begitu namanya disebut oleh dua makhluk berjakun.
"Mil." Emil menoleh pada Ari yang terlihat gusar, kalut dan bingung. Istilah keren zaman sekarang sih ... G-E-G-A-N-A.
"Ya, Pa. Ada apa? Kok kelihatan nggak tenang gitu. Goyang Bang Jali dulu lah, Pa ... biar heppy," guraunya dengan menaikturunkan alis, sambil menggoyangkan kedua ibu jari ke udara.
"Papa tidak ingin bercanda, Mil. Papa mau tanya sesuatu sama kamu." Emil menghentikan goyangan jempol dan menatap serius ke arah Ari. Baik, Tuan Besar sedang tidak ingin disenggol, jika tidak ingin dibacok.
"Kamu lihat kertas di meja ruang tamu tidak tadi pagi?" Pertanyaan Ari langsung dijawab gelengan kepala oleh Emil.
"Beneran kamu nggak lihat? Tadi Andika bilang, ditaruh meja ruang tamu pagi-pagi," ulang Ari penuh selidik.
Ehm .... Emil mulai menarik ingatan tadi pagi. Ia seperti ingat sesuatu. Tapi, apa ya?
"Memang kertas apaan itu Pa?" Emil sedikit penasaran, karena tidak mungkin kertas kucel dicari papanya, sampai lupa mandi dan gosok gigi jika tidak penting.
"Itu daftar nilai rekapan dari Andika yang mau dikasih ke Papa. Semua nilai ujian anak Ekonomi semester lalu juga nilai ujian KKN-mu, ada di situ." Seketika Emil sesak napas dan ingin kejang-kejang, jika berhubungan dengan kertas nilai dan kata hilang.
Kejadian seperti ini pernah Emil alami. Benar, dan waktu itu kertas nilai milik mahasiswa Ari. Tak disangka gara-gara kertas sialan itu, urat malu Emil dipertaruhkan. Efeknya membuat panas dingin tak bisa tidur. Bahkan sampai terngiang-ngiang dalam mimpi, ketika bibirnya menjadi murahan sesaat.
Emil kejang. Ingatan akan insiden kertas hilang beberapa tahun lalu membuatnya kehabisan napas. Emil harap semoga ujung dari peristiwa kertas hilang tidak terulang lagi setelah ini.
"Zaman sekarang ngasih nilai kok pakai kertas. Udah ada email, flas disk juga. Buat apa internet canggih kalau masih pakai manual?" cibir Emil menanggapi berita hilangnya kertas, yang membuat Ari kebakaran jenggot. Padahal, sekedar mengusir kegugupannya sendiri. Emil harap kertas yang dimaksud Ari, bukan kertas yang ia coreti nomor tadi pagi.
"Andika tidak ada laptop buat masukkan data. Dari awal, Papa sudah setuju kalau dia menyerahkan nilai dalam bentuk tulisan saja," bela Ari.
Tunggu dulu ...
Andika?
Apa dia yang datang sebagai Asdos papa tadi pagi di kelas?
Jadi, kertas yang hilang itu ada ... nilai KKN dan nilai ujian semester milikku?
Kertas ... mana tuh kertas?!
Emil lemas saat ingatannya menyeruak dalam keadaan pusing pala Berbi begini. Kertas yang Ari maksud sudah ia ... korbankan dengan sadis. Bahkan darah yang terlihat pada kertas itu pun masih lekat di ingatan Emil.
Kertas yang akan membawa Emil pada kerumitan berikutnya. Kertas sialan yang nantinya akan menuntun gadis itu pada takdir yang menpermainkan hati, jiwa, dan ego. Karena dari kertas itulah, awal kisah dimulai.
__________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top