SCARS #3

'Cause I have no right to love you
When I chose to walk away
I have no right to miss you
When I didn't wanna stay
And I have no right to need you
And I knew what my heart was gonna lose
I have no right to love you

(Rhys Lewis - No Right To Love You)

*****

Melihat Inara yang terus menangis kencang, Narendra jadi tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian. Rasanya ada yang salah ketika menemukan Inara serapuh ini. Inara yang Narendra kenal selalu tersenyum lebar, apalagi saat menemaninya menunggu senja bersama. Tapi, malam ini, hanya karena seorang pria ini datang, Inara kehilangan senyumnya.

Tanpa sadar Narendra mendesah. Begitu memindahkan Inara ke sofa, Narendra bergegas menuju dapur. Diambilnya gelas kosong serta sebotol air mineral dari kulkas. Narendra tahu, menangis tanpa henti selama satu jam pasti membuatnya kehausan, meskipun dia tidak mengatakannya.

Buru-buru Narendra kembali seraya menyodorkan gelas tersebut di depan mata Inara. Gadis itu relfkes mendongak. Hanya saja dia tidak berbuat apa pun, malah menatap kosong Narendra. Saking gemasnya, Narendra terpaksa meraih tangan Inara agar gadis itu menggenggam gelasnya.

"Minumlah, Inara," perintahnya.

Inara tidak menjawab. Tapi tatapannya terkunci pada sosok Narendra yang kini telah duduk bersamanya di sofa. Pria itu menatap Inara. Kedua mata mereka bersirobok, namun keduanya tidak berusaha untuk memutuskan kontak.

Sekali lagi Narendra meminta Inara minum dan kali ini gadis itu pun menurut. Untuk beberapa saat keheningan menyelimuti keduanya. Narendra yang mengawasi Inara, sedangkan Inara yang sibuk dengan pikirannya sambil menenggak minumnya lambat-lambat. Begitu air di gelasnya tandas, gadis itu berusaha kembali ke dunia nyatanya.

Dia menyunggingkan senyum tipis. "Terima kasih ... Pak."

Narendra tanpa sadar berdecak pelan, lalu menggeleng.

"Kamu tahu, berapa banyak terima kasih yang kamu ucapkan hari ini?" tanyanya yang langsung dibalas gelengan cepat Inara. "Sebagai balas budi, tolong berhenti memanggil saya Pak. Saya hanya lima tahun lebih tua dari kamu dan kita sedang tidak di kantor, Inara."

Sedikit ragu Inara mengangguk. Gadis itu seolah terlalu sulit mengeluarkan suaranya, Narendra mengerti itu. Kesedihan yang Inara rasakan pasti menghilangkan kata-kata yang ada di kepalanya. Narendra juga paham betul bahwa apa pun yang gadis itu rasakan saat ini jelas berhubungan dengan pria bernama Robi tadi. Tidak perlu seorang peramal ataupun pembaca pikiran handal untuk bisa membaca situasi yang terjadi antara Inara dan Robi.

"Kamu tahu ... tawaran saya di restoran tadi masih berlaku, Inara. Saya di sini dan saya mau mendengarkanmu. Kamu tidak sendirian."

Mata Inara melirik Narendra. Sorot matanya terlihat ragu. Pegangan pada gelasnya juga tampak menguat. Narendra bisa menarik kesimpulan sederhana, mungkin kisahnya dengan pria bernama Robi itu terlalu berat untuk diceritakan atau mungkin Inara ragu untuk mempercayai Narenda. Hanya saja, Narendra tetap diam sambil menunggu Inara dengan sabarnya.

Inara menghela napas dalam, lalu mengangguk singkat. "Tapi ... Bapak —,"

"Narendra, Inara."

Lagi-lagi Inara mengangguk pelan. "Narendra .... Kamu ... tidak akan menghakimi atau mencemooh kisah saya, kan?"

Narendra menggeleng dengan tegas. Setiap orang memiliki kisahnya sendiri, lalu untuk apa dia menghakiminya? Tanpa kisah yang Inara lalui sekarang, mereka mungkin tidak pernah bertemu.

Menyadari bahwa Narendra cukup untuk dia percaya, Inara segera menghela napas dalam. Cerita kesakitannya itu perlahan mulai meluncur seperti air bah dari mulutnya. Inara berusaha untuk mempersingkat semuanya, tapi tetap tidak ada yang dia tutupi. Runtut, mulai awal perasaannya muncul, hingga patah hati yang Narendra lihat sekarang.

"Robilah alasan saya di sini. Saya gila ... mengejarnya dan berharap seluruh pengorbanan ini sepadan untuk mendapatkan balasan cintanya. Tapi ... menemukan pria itu begitu mencintai kekasihnya. Saya sadar, perjuangan saya di sini sia-sia."

Tanpa bisa Inara cegah, dia kembali terisak pelan. Buru-buru dihelanya napas panjang berulang kali, agar tidak kembali menangisi Robi serta kebodohannya. Tapi, Inara tidak bisa. Kepalanya merunduk dan lagi-lagi membiarkan dirinya terisak tanpa jedah.

"Inara ...." Narendra kembali bersuara. Salah satu tangannya terangkat untuk mengusap lembut pundak Inara. "Jatuh cinta kadang memang seperti itu. Orang pintar sekalipun akan menjadi bodoh karena jatuh cinta. Kamu tidak salah, Robi juga. Kedatanganmu ke sini juga tidak akan sia-sia, Inara. Kita tidak tahu apa rencana yang Tuhan berikan di balik semua yang telah kamu lakukan."

Narendra terdiam sejenak, membiarkan Inara menangis sejadi-jadinya. Pria itu sadar, yang dibutuhkan Inara malam ini bukanlah ceramah atau mungkin solusi. Seseorang di masa lalunya pernah berkata, jika wanita menangis maka satu-satunya yang dia perlukan hanyalah pelukan erat, lalu membiarkannya menangis untuk membuatnya merasa lebih baik.

Refleks Narendra mendekat. Salah satu tangan Narendra dengan cepat mengambil alih gelas kosong Inara untuk diletakkan di nakas. Tanpa seizin Inara, sekali lagi Narendra melingkarkan kedua tangannya pada Inara. Ditariknya gadis itu ke dalam dekapannya. Sambil mengusap punggungnya yang tengah terguncang hebat, Narendra semakin merapatkan pelukannya.

"You can cry as loud as you can, Inara. Your teardrops will help you to let the pain go."

Kini tanpa sungkan Inara segera membalas pelukan Narendra. Isakannya pun berubah menjadi raungan kencang. Hatinya lega, ketika dia sedang menangis ada seseorang yang bisa memeluknya seerat ini.

*****

Inara mengerjap matanya sesaat. Kepalanya menoleh menuju jam digital di nakas sampingnya. Jam menunjukkan pukul dua pagi, seharusnya Inara sudah membangunkan Narendra satu jam yang lalu namun tidak dia lakukan.

Sebelum Narendra terlelap, pria itu berpesan untuk dibangunkan pukul satu malam. Saking kelelahannya, Narendra memilih untuk tidur sejenak baru pulang ke apartemennya. Jadi, bagaimana bisa Inara tega membangunkan Narendra yang begitu kelelahan. Dia seharian bekerja dan masih berlanjut untuk menemani Inara yang menangis selama berjam-jam.

Bergegas Inara bangun, lalu berjalan menuju lemari pakaiannya. Dia mengambil cadangan selimut, barulah berjalan keluar. Pelan-pelan dibukanya pintu. Suara dengkuran keras Narendra, Inara merasa semakin kasian.

Sedikit berjinjit, Inara berjalan mendekati sofa, tempat Narendra tidur. Meskipun terlihat sangat lelap, tapi Inara yakin Narendra tidak nyaman di sana. Tubuh tinggi pria itu membuat kedua kaki Narendra terpaksa menjuntai dari sofa. Salah satu tangannya terkulai ke sofa, sementara tangan lainnya menggenggam erat kacamata di atas dadanya.

Inara menaruh sejenak selimut di atas meja kopi. Diambilnya kacamata Narendra, takut ada insiden kacamata rusak keesokan paginya. Sesaat pria mengigau, dia terusik dengan tindakan Inara. Namun dengan cepat Inara mengusap lembut puncak kepala Narendra yang berhasil membuat pria itu kembali tenang. Begitu Narendra terlihat sudah nyaman, Inara segera mengambil selimut, kemudian disampirkan kepada Narendra.

Sejenak Inara menatap lekat Narendra. Senyum gadis itu terukir seraya menduduki lantai di depan sofa.

Keputusan Inara pergi ke Bali, jelas membuatnya kesepian. Satu-satunya orang yang dia miliki hanyalah Robi, hanya saja keadaan memaksa Inara untuk menjauhi pria itu. Lalu, sebuah momen tidak terduga malah mempertemukannya dengan Narendra.

Pria itu baik hati, penuh pengertian, serta hangat dengan memberi apa yang Inara butuhkan di sini. Tidak perlu waktu lama membuat Inara mempercayai Narendra. Apalagi pria itu tanpa ragu memeluknya untuk menenangkan Inara. Inara bersyukur, Tuhan mengirimkan orang sebaik Narendra untuk menemaninya.

"Terima kasih, Naren ...," bisiknya pelan tepat di depan wajah Narendra.

Kali ini pria itu tidak terusik, hanya dengkurannya perlahan mulai menghalus. Tanpa bisa Inara cegah, salah satu tangannya terangkat. Sekali lagi gadis itu mengusap puncak kepala Narendra dengan lembutnya.

"Good night. Sleep tight. Sweet dream, Narendra .... Tanpa kamu, mungkin saya nggak akan setegar sekarang."

*****

Tidur Narendra tiba-tiba terusik saat mendengar suara peralatan dapur yang beradu. Bukan hanya itu saja, aroma lezat berhasil membunyikan perut laparnya. Tapi, yang paling mengusik Narendra adalah kolase memori dari tempatnya berasal yang perlahan muncul memenuhi kepalanya. Ada rindu yang begitu kental terasa saat mendengar keributan seperti ini.

Sontak Narendra membuka mata. Langit-langit ruangan yang terlihat asing, jelas menyadarkannya bahwa ini bukan apartemennya. Ingatan semalam berputar cepat. Saking lelahnya untuk menyetir, Narendra meminta izin Inara untuk tidur satu atau dua jam di sofa. Tapi sepertinya, semalam terlalu melelahkan hingga tidak ada satu pun di antara keduanya yang terbangun.

"Morning," sapaan hangat dari suara yang begitu dikenalnya, membuat Narendra refleks menoleh.

Inara telah berdiri di dekatnya. Bajunya kemarin sudah berganti dengan pakaian rumahan; kaos polos merah muda, celana pendek abu-abu serta sandal bulu berwarna putih. Wajahnya terlihat segar, meskipun mata pandanya masih tampak terlihat. Senyum gadis itu merekah lebar, sepertinya suasana hatinya jauh lebih baik dari kemarin.

"Mor ... ning," balas Narendra yang entah mengapa jadi sedikit canggung.

Gadis itu mendekat. Salah satu tangannya tiba-tiba meraih lengan Narendra. Lalu, ditariknya tubuh Narendra hingga pria itu otomatis berdiri bersamanya.

"Sarapan," ajaknya.

Narendra mengangguk pelan. Inara bergegas menuntun Narendra menuju meja makan kecil untuk dua orang yang berada di dekat pantri. Selama di Bali beberapa minggu, Inara hampir tidak pernah memasak. Memasak pun hanya menghidangkan makanan sederhana untuk dirinya sendiri. Namun sebagai bentuk terima kasihnya pada Narendra, Inara memasak.

Hidangan di atas meja tidaklah berlebihan, hanya nasi goreng rumahan, telur gulung, serta ayam goreng. Namun, aroma yang menguar lagi-lagi membuat perut Narendra berbunyi. Entah bagaimana rasanya, tapi dari aromanya saja jelas membuat pria itu kelaparan.

Sesaat pria itu terpaku. Rasanya sudah lama sekali dia memakan sesuatu saat sarapan, bukan hanya sekadar kopi instan.

"Duduk, Naren, duduk. Silahkan dimakan," suara Inara menyadarkan pria itu. Segera saja Narendra menduduki kursi di hadapan Inara. "Maaf kalau rasanya tidak terlalu enak."

Bukannya menjawab, tangan Narendra langsung meraih piring miliknya. Menyadari bahwa Narendra akan mengambil nasi, Inara dengan cepat mengambil alih. Gadis itu mengambilkan Narendra, terlalu banyak untuk porsi biasanya tapi Narendra tidak akan protes. Narendra tidak mau merusak semangat Inara pagi ini.

Begitu Inara meletakkan piring di hadapan Inara, pria itu langsung mendongak menatap Inara. Senyumnya tersungging. "Terima kasih."

Inara mengangguk.

Tanpa ragu Narendra segera menyendokkan makanan ke mulutnya. Untuk sesaat, Narendra kembali terpaku merasakan makanan di dalam mulutnya. Rasanya tidak mengecewakan, cukup enak malah. Narendra salah besar, jika selama ini berpikir bahwa satu-satunya keahlian Inara di dapur hanyalah kopi.

"Enak?"

Diliriknya Inara. Gadis itu bukannya ikut makan malah menatap Narendra dengan penasaran. Segera saja Narenda mengangguk. "Saya kira kamu cuma jago bikin kopi, Inara."

Inara terkekeh. "Saya nggak menyangka ada orang selain keluarga saya yang akan memuji masakan saya."

"Kenapa gitu? Ini enak kok."

Kepala Inara menggeleng. "Tidak enak bagi Robi. Dulu saat awal-awal saya mulai belajar memasak, Robi bilang rasa masakan saya aneh banget. Sejak saat itu saya memilih memasak untuk diri sendiri atau kalau terpaksa saja, saya baru masak untuk keluarga."

Kali ini perhatian Narendra sepenuhnya tertuju pada Inara. Pria itu dengan segera mengambil piring di hadapan Inara, lalu diambilnya beberapa sendok nasi goreng untuk gadis itu. "Berarti ... kamu sudah cukup banyak kemajuan, Inara. Saya rasa ini jauh dari kata buruk. Makanlah."

Inara mengangguk. Senyumnya lagi-lagi terpasang di wajahnya.

Pagi itu, meja makan terasa ramai dan menyenangkan. Bagi Inara, pagi ini adalah pagi terbaiknya di Bali. Ada teman baik yang mau berbagi tawa bersamanya, membuat gadis itu melupakan sejenak patah hatinya. Serta tanpa diduga, memuji masakan Inara dengan tulusnya.

Narendra juga, baginya pagi ini juga pagi terbaiknya selama beberapa tahun belakangan. Sudah lama dia hanya ditemani kesepian setiap pagi. Bertahun-tahun Narendra memilih makan di tengah keramaian untuk merasakan sejenak bahwa dia tidak sendiri di dunia ini. Meskipun pada akhirnya harus kembali menyepi. Rasanya senang bertemu Inara serta terjebak bersama gadis itu.

"Inara ...." Tiba-tiba Narendra memanggil Inara. Perhatian gadis itu teralih. Wajahnya menoleh dengan menunjukkan ekspresi penasaran. "Saya punya penawaran lagi untuk kamu."

Alis Inara mengernyit. Dia jelas penasaran dengan penawaran pria itu.

Sementara itu, jantung Narendra tiba-tiba berdebar. Ini bukan penawaran biasa bagi Narendra untuk dikemukakan karena pria itu tidak tahu reaksi Inara setelah ini. Penawaran ini tiba-tiba muncul di kepalanya. Penawarannya sederhana saja, Narendra hanya ingin terus terjebak bersama Inara di sini dan tidak lagi merasa kesepian.

"Apa itu, Re?"

"Saya mau bantu kamu move on. Kamu boleh ajak saya ke mana saja karena ini Bali. Everytime and everyday. Tapi hanya satu yang saya inginkan dari kamu, izinkan saya tinggal bersama kamu."

Sontak sendok yang Inara pegang terjatuh begitu saja di piringnya. Inara terkejut, ucapan Narendra barusan terdengar seperti pria itu baru saja melamar Inara.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top