SCARS #2

Now, I need somebody to know
Somebody to heal
Somebody to have
Just to know how it feels
It's easy to say but it's never the same
I guess I kinda liked the way you helped me escape

(Lewis Capaldi - Someone You Loved)

*****

Mata Narendra tidak bisa berhenti melirik Inara sejak tadi. Dia tahu bahwa gadis itu sedang tidak baik-baik saja; tangannya menangkup terlalu erat di atas pangkuannya, tubuh yang terlihat sekaku es, serta pandangan kosong pada jalanan padat yang sedang hujan deras.

Tanpa sadar Narendra mendesah pelan. Entah Inara sadar atau tidak, tapi sudah hampir setengah jam yang lalu gadis itu belum mengatakan letak tempat tinggalnya. Hingga Narendra terpaksa berputar-putar tidak jelas dan memilih berinisiatif sendiri.

Begitu lampu merah berganti hijau, segera saja Narendra membelokkan mobil menuju jalan yang sangat dihafalnya. Mungkin ke tempat itu dapat sedikit menghibur Inara, karena itulah yang Narendra rasakan setiap kali ke sana. Bukan tempat spesial, tetapi selalu membuat Narendra merasa tenang.

Perlahan jalanan padat perumahan, mulai berganti dengan sawah-sawah yang membentang. Meskipun sudah larut, namun mereka beruntung karena penerangan masih cukup baik. Narendra menghela napas lega mendapati parkiran mobil sepi, hanya ada tiga mobil terparkir, lalu kini bertambah satu dengan punyanya.

"Kita sampai," Narendra sengaja mengeraskan suaranya untuk menyadarkan Inara.

Gadis itu mengerjap sesaat. Kepalanya mulai celingukan untuk memperhatikan sekitar. Alisnya mengernyit dengan bingung, menyadari bahwa ini bukan rumahnya. Narendra menurunkan sedikit jendela mobil untuk memberi petunjuk mengenai keberadaan mereka.

"Kita ... di mana?" tanyanya. Harusnya Inara tidak perlu bertanya, aroma lezat yang tercium sudah cukup memberikannya informasi. Namun, gadis itu tetap memerlukan kepastian.

Narendra tersenyum tipis sambil meraih payung di belakang kursi kemudinya. "Kita di restoran seafood. Saya jamin makanannya enak dengan suasana yang akan membuat kamu merasa lebih baik. Ayo turun!"

Bergegas Narendra menuruni mobil. Kakinya berjalan dengan sendirinya untuk memutari mobil dan membuka pintu Inara. Sejenak gadis itu ragu, tapi begitu mendapati Narendra yang berdiri dengan payung terbuka serta tangan terulur membuat tangan Inara refleks meraihnya.

Mereka segera berlari kecil memasuki restoran. Pelayan dengan sigap menyambut kedatangan mereka sembari mengambil alih payung, lalu pelayan lain mengantarkan keduanya menuju meja.

Jantung Narendra tanpa sadar berdebar ketika mendapati suasana asing restoran ini. Pria itu tidak pernah datang saat malam, karena menunggu sunset di sini adalah pengalaman terbaik. Makanya dia terkejut mendapati lampu yang dinyalakan temaram serta lampu-lampu hias yang membuat tempat ini terasa intim. Bukan hanya itu saja, tapi alunan lagu lembut dari pengeras suasana serta sebuah lilin kecil di setiap meja membuat Narendra tidak enak hati. Dia tidak ingin terlihat seperti sedang merayu Inara.

Langkah mereka terhenti saat pelayan menunjuk meja mereka yang berbatasan dengan balkon. Sayang hujan membuat Narendra tidak bisa mengajak Inara makan di balkon, padahal di sanalah tempat terbaik; pemandangan laut lepas, angin kencang yang berhembus, atap langit malam berbintang, serta suara deburan ombak yang syahdu. Tapi, seperti ini saja, Narendra yakin mampu membuat Inara merasa lebih baik.

Sementara perhatian Inara tertuju lurus pada laut lepas, Narendra mengurus pesanan mereka. Barulah pria itu kembali fokus pada Inara. Senyum gadis itu tersungging. Rambutnya sedikit berkibar karena angin.

Untuk sesaat Narendra terpaku, sebelum akhirnya berdeham pelan. "Saya belum pernah ke sini saat malam hari, jadi cukup terkejut dengan suasananya. Tapi yang harus kamu tahu, Inara, saya jamin kamu akan menyukai makanan, pemandangan serta suasana tenang di sini."

Tanpa mengalihkan pandangan, Inara mengangguk pelan. "Saya suka, Pak. Terima kasih."

Gadis itu menoleh pada Narendra. Kali ini senyum lebarnya tersungging. "Kapan-kapan, ajak saya makan di balkon sana ya, Pak."

"Eh ...." Sesaat Narendra tertegun dengan ajakan Inara, Entah dia bisa menepati janji itu atau tidak pada Inara. Namun, siapa yang tahu masa depan, karena akhirnya Narendra mengangguk pelan. "Tentu saja."

Mereka tidak lagi berbicara setelahnya. Inara kembali sibuk menerawang jauh ke lautan, sedangkan Narendra lagi-lagi asyik menatap Inara.

Lama mereka berada di posisi ini, Narendra menemukan kesimpulan kecil bahwa Inara kesepian dan sendiri. Jika tidak, gadis itu tidak mungkin menangis sendirian di kantor ataupun menjadi temannya menunggu malam setiap harinya.

Narendra menghela napas, lalu bergumam pelan. "Inara ... kalau kamu tidak keberatan, saya mau jadi pendengar yang baik untuk semua keluh kesahmu, termasuk kisah di balik pria tadi."

Hanya saja Inara tidak menjawab. Gadis itu belum siap membagi kesakitannya, terlebih pada bos yang baru dikenalnya.

*****

Mobil Narendra terparkir tepat di dalam carpot rumah Inara. Gadis itu tidak langsung turun. Sejenak dia menoleh sambil menatap Narendra yang ternyata juga sedang menatapnya.

Senyum manisnya tersungging. Berkat Narendra, Inara merasa jauh lebih baik daripada berjam-jam sebelumnya. "Malam ini ... terima kasih."

Narendra mengangguk singkat. Salah satu tangannya terangkat, lalu menepuk bahu Inara. "Tidurlah. Besok Sabtu, lupakan kesedihanmu dan bersenang-senanglah."

Inara mengangguk. Narendra pasti menyadari bahwa kemunculan Robi berhasil menguras emosinya. Meskipun pria itu menawarkan diri untuk berbagi, tapi Inara belum bisa melakukannya. Hanya saja Inara bersyukur, pertemuannya dengan Narendra sedikit banyak mengurangi kesepian Inara.

Gadis itu menghela napas sesaat, barulah mengucapkan selamat malam. Inara berdiri sejenak di teras sambil menunggu mobil Narendra pergi, barulah dia memasuki rumahnya.

Tanpa sadar dia mendesah sambil memasuki rumah gelapnya. Dengan segera dia mencari saklar untuk menyalakan lampu ruang tamu. Lampu menyala, tapi keheningan tetap menyergapnya. Malam ini, bukan lagi kegelapan yang membuatnya takut melainkan menangis sendirian. Tidak ada Ais yang akan memeluknya di saat-saat menyedihkan ini.

Bel rumah diikuti ketukan kencang berhasil mengembalikan kesadaran Inara. Apakah pak Narendra kembali? Tanpa curiga, dia bergegas kembali menuju pintu.

Dibukanya pintu rumah dan seketika gerakkan Inara terhenti. Tubuhnya kaku dengan napas tersekat. Bukan Narendra seperti yang dia pikirkan, melain sosok yang ingin dia hindari. Pria itu menjulang di hadapannya, tampak percaya diri dan juga basah.

"Bi ...."

Tanpa menunggu Inara mempersilahkan masuk, Robi sudah menerobos. Pria itu menghela napas lega seraya mengacak-acak rambut lepeknya. Baju kerjanya sudah berganti dengan polo shirt putih serta celana denim.

"Gue tungguin lo dari tadi," gumamnya sambil menduduki sofa.

Sementara itu Inara masih terpaku di tempatnya. Pikirannya mendadak kosong. Kepalanya bertanya-tanya mengenai maksud kehadiran Robi serta bagaimana caranya agar pria itu pergi dari sini.

"Inara." Robi menoleh padanya. Alisnya mengernyit. "Lo baik-baik saja?"

Inara tersentak. Terpaksa dia memasang kepalsuan. Senyum tersungging sambil mengangguk. Dia berjalan mendekat, membuatnya dapat melihat Robi dengan lebih jelas. Inara tidak akan berbohong, dia merindukan Robi. Hanya berbicara melalui telepon, itu tidak akan pernah cukup melepaskan rindunya.

Digelengnya kepala kuat-kuat. Dihelanya napas dalam. Inara berusaha mengingatkan dirinya bahwa bukan Inara yang Robi inginkan. Sudah saatnya Inara untuk melepaskan Robi begitu juga perasaannya.

"Lo ... kenapa tungguin gue?" tanyanya pada akhirnya. Harusnya Inara duduk, tapi tidak. Inara tidak ingin menunjukkan betapa gemetar tubuhnya di depan Robi, terlalu menyedihkan.

Robi mendesah. "Gue merasa kalau lo menghindar lagi, Inara. Apa gue salah?"

Kepala Inara menggeleng cepat, terlalu cepat. Inara berharap Robi tidak curiga. "Gue benar-benar sibuk, Bi. Lo ... tadi ketemu bos gue, kan? Malam-malam pun kami harus meeting."

"Lo suka kerja di sana, Nara? Jam kerja yang tidak mengenal jeda seperti itu?"

"Sangat." Inara jujur untuk satu ini tanpa berusaha membenarkan pemikiran Robi. Suasana kantornya, pekerjaannya, serta teman-temannya menyenangkan. Apalagi kehadiran Narendra yang membuatnya nyaman dan aman. "Lo tahu gue suka desain, Bi."

Robi mengangguk paham. "Tapi lo yakin? Maksud gue ... Nara yang gue kenal nggak suka berada di dalam tekanan."

"Gue baik-baik saja." Inara berusaha menyakinkan Robi sambil berjalan menuju dapur. "Lo pasti kedinginan. Teh ... lo membutuhkannya."

Begitu melihat Robi sibuk dengan ponselnya, tubuh Inara perlahan merosot di balik kabinet. Diambilnya ponsel yang sejak dari di saku celananya. Proses melupakan seseorang tidak akan pernah mudah, terutama jika orang itu masih terus kita temui. Tapi keputusan Inara sudah bulat, dia harus melepaskan Robi.

Tanpa pikir panjang, tangan Inara bergerak cepat mencari nomor Narendra, satu-satunya orang yang dia yakinin mampu membantunya saat ini.

"Inara ...," suara beratnya terdengar.

"Pak ...," tanpa bisa Inara cegah, suaranya kembali bergetar.

"Kamu kenapa, Inara?"

"Tolong ...."

*****

Begitu panggilan ditutup, Narendra dengan cepat memutar kembali mobil menuju rumah gadis itu. Panggilan yang tidak jelas, suara yang gemetar dan putus asa serta permintaan tolong Inara membuat pria itu khawatir. Narendra berharap Inara tidak sedang dalam bahaya sekarang.

Sedikit tidak sabar, kakinya menekan pedal gas dengan sedikit lebih dalam. Hatinya terus berdoa semoga kepadatan jalanan bisa ditembusnya dengan mudah dan cepat.

Tidak sampai sepuluh menit kemudian, rumah Inara kembali terlihat. Teras rumahnya masih padam, sama seperti terakhir kali Narendra tinggalkan. Namun, motor yang terparkir di dalam carpot menandakan Inara tidak sendirian.

Jangan-jangan orang jahat. Dengan kasar, Narendra memarkirkan mobil. Lalu, membanting pintu mobil begitu saja sambil berlari menuju pintu. Tangannya segera menekan bel dengan tidak sabaran, berharap Inara segera muncul.

Pintu terbuka. Seorang pria yang tidak asing berdiri di hadapan Narendra. Tatapan bingungnya terlihat jelas, tapi Narendra tidak. Seketika dia memahami situasi Inara dan maksud permintaan tolongnya. Apa pun yang terjadi di antara mereka berdua, Inara jelas tidak suka bersama dengan pria ini.

"Inara!" Narendra tiba-tiba saja berteriak memanggil Inara sembari menerobos masuk. Nalurinya bergerak sendiri untuk melindungi gadis itu.

"Hey, man ... gue tahu lo bos Inara, tapi nggak perlu lah sampai datang malam-malam begini." Pria asing itu mencekal tangan Narendra. Sayangnya Narendra tidak peduli dan segera disentak pegangan Robi.

"Inara ...."

"Hey, dude!"

Gadis itu tiba-tiba muncul dari kabinet, tempat persembunyiannya. Mendapati Narendra berdiri bersamanya, berhasil membuat Inara merasa lega luar biasa.

"Pak ...."

"Inara," Diliriknya Robi sekilas. Sedangkan otaknya memutar cepat alasan yang ingin dia kemukakan. "Ada kerjaan yang perlu kita ... diskusikan."

Inara mengangguk cepat, seolah tidak mempermasalahkan ada urusan pekerjaan selarut ini. Lagipula tidak ada ide lagi yang bisa Narendra pikirkan.

"Tunggu!" suara Robi memancing perhatian keduanya. Pria itu menarik lengan Narendra, membuat keduanya saling berhadapan. "Ini sudah pukul sepuluh malam dan seharusnya Bapak biarkan Inara beristirahat. Apa Bapak tidak tahu bahwa ini sudah termasuk eksploitasi pekerja?"

Narendra menghela napas dalam. Tatapan tajam di balik kacamatanya mulai meneliti Robi. Sekali lagi Narendra dengan kasar menarik tangannya dari cekalan Robi. "Tidak ada yang namanya eksploitasi selama pekerja dengan senang hati menerimanya. Sekarang kamu tanyakan pada Inara, apa dia senang belajar banyak hal mengenai pekerjaannya?"

Refleks Robi menoleh. Kepalanya menggeleng, menyuruh Inara untuk menolak kedatangan Narendra. Sayang, Inara tidak akan menuruti Robi, karena yang Inara inginkan adalah Robi pergi dari sini. Secepatnya.

"Gue memang harus belajar banyak, Bi. Harusnya gue bersyukur ... Pak Nara mau bersusah payah ke sini dan ajarin gue banyak hal."

Kening Robi mengernyit. "Inara ...."

"Bi ... lo nggak masalah, kan, balik sekarang? Gue ... kami harus diskusi."

Robi sejenak ragu. Ditatapnya Inara dan Narendra bergantian, berharap keduanya bilang bahwa ini hanya candaan. Namun, mereka terlihat serius. Terpaksa Robi mengangguk, lalu berjalan keluar.

Sebelum pintu ditutupnya, Robi menoleh pada Inara. "Besok Sabtu ... kalau lo mau ke mana-mana, telepon gue. Gue cabut, Nara."

Begitu Robi menutup pintu dan tidak lagi terlihat, perhatian Narendra kembali tertuju pada Inara. Gadis itu berdiri kaku di tempat. Matanya menerawang menatap kepergian Robi. Kedua kakinya bergetar hebat, terpaksa salah satu tangannya memegang dinding terdekat. Hanya saja, itu sama sekali tidak membantu karena perlahan Inara jatuh berlutut di lantai.

Narendra berjalan cepat mendekat. Menemukan kesedihan di wajah Inara, membuat Narendra ikut berlutut di depan Inara. Kedua tangannya bergerak dengan sendirinya untuk menarik Inara ke dalam pelukannya. Diusapnya lembut punggung gadis itu.

"Menangislah. Saya di sini."

Inara pun terisak kencang.

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top