SCARS #1

I don't wanna be alone tonight
It's pretty clear that I'm not over you
I'm still thinking 'bout the things you do
So I don't want to be alone tonight

(Sam Smith ft Normani  - Dancing With a Stranger)

*****

Narendra tampak gusar. Badannya tidak bisa berhenti bergerak untuk memposisikan dirinya di kursi. Penyebabnya hanya satu, tidak ada asupan kopi yang masuk ke tubuhnya pagi ini. Mau mencoba membuat kopi instan seperti biasa, namun dia sudah malas. Alhasil, dia membiarkan dirinya cranky.

Tanpa sadar matanya mulai memperhatikan satu-persatu pegawainya. Desain ruangan berukuran empat kali empat dengan dinding kaca kokoh, mempermudah akses Narendra untuk mengamati semua orang, tapi pasalnya yang ingin dia amati tidak terlihat.

Inara, meja gadis itu berada di sisi terjauh ruangannya. Bagian tim desain sengaja di letakkan di sana karena lebih tenang serta membuat mereka bisa lebih berkonsentrasi untuk menemukan ide-ide briliannya. Kalau saja Inara berada di divisi pemasaran, pasti Narendra dengan mudah mengawasi gadis itu.

"Sial!" tanpa sadar Narendra memaki. Dia menghela napas, berusaha untuk membuat dirinya membaik.

Ketukan di pintu berhasil mengalihkan perhatian Narendra. Terlihat Sam, salah satu team leader berdiri di depan pintunya. Tangannya membawa berkas, pastinya laporan proyek terbaru yang pria itu tangani. Narendra berdeham pelan sambil membenarkan duduknya, barulah mengizinkan Sam untuk masuk.

Dengan langkah tegasnya, Sam memasuki ruangan. Pria itu segera meletakkan laporan di atas meja Narendra. Meskipun mood-nya sedang buruk, Narendra berusaha untuk tetap fokus dan profesional. Dibukannya laporan sambil membenarkan letak kacamatanya, lalu dibacanya dengan seksama. Hingga nama Inara yang tercantum di dalam laporan langsung menarik perhatiannya.

Buru-buru dibuka bagian desain, bagian yang Inara kerjakan. Tanpa sadar senyumnya tersungging saat menemukan kesalahan di sana. Tidak fatal, tapi untuk mendapatkan keinginannya memang perlu ada yang dikambing hitamkan.

Kepala Narendra mendongak. Kali ini senyum kemenangannya menghilang. Dia harus tetap terlihat berwibawa. "Siapa yang membuat desain mentahnya?"

Sam tampak terkejut. Sedikit gelagapan dia menjawab. "Inara, Pak."

"Panggil dia! Kamu boleh kembali ke tempat."

Bergegas Sam pergi tanpa membantah. Dilihatnya Sam berjalan menuju ke meja Inara. Sayang, Narendra tidak bisa melihat kelanjutannya karena penglihatannya tertutupi oleh para pegawai lain yang sedang berlalu-lalang.

Pada akhirnya, Narendra memilih kembali merunduk dan mulai mempelajari kembali laporan yang Sam sodorkan. Kira-kira tepat di lembar kedua, sebuah ketukan membuat hatinya bersorak kegirangan. Berpura-pura cuek, Narendra segera berteriak menyuruh orang itu masuk.

"Pagi, Pak. Tadi Sam bilang kalau bapak ... panggil saya," suara Inara refleks membuat Narendra menengadah.

Akhirnya dia bisa menyuruh gadis itu tanpa membuatnya curiga. "Buatkan saya kopi, lalu kita bahas kesalahan kamu."

Inara mengerjap sesaat. Namun, pada akhirnya mengangguk patuh saat melihat sorot serius di mata Narendra. Inara tidak salah dengar, apalagi sudah dua kali Narendra memintanya membuatkan kopi. Tanpa ingin membuat Narendra menunggu, buru-buru Inara meminta izin menuju pantri.

Sementara Inara pergi, Narendra kembali melanjutkan perhatiannya pada laporan di tangannya hingga aroma khas kopi menguar ke seantero ruangannya. Inara berjalan mendekat seraya meletakkan kopi Narendra. Gadis itu berdiri patuh di depan meja, menunggu perintah lain dari Narendra. Sebuah lambaian tangan Narendra, berhasil membuat Inara mencodongkan tubuhnya mendekat.

"Ini." Narendra membuka desain Inara. Tangannya menunjuk desain Inara sambil melirik gadis itu. "Kurang. Di sini memang minta dua pilihan, tapi harusnya kamu tambahkan satu pilihan cadangan. Jadi, kurang satu."

Inara mengangguk mengerti. Narendra segera menyodorkan kembali laporan Inara. Menyuruhnya merevisi sedikit, lalu mengusirnya dari ruangannya. Pria itu tidak sabar menikmati kopinya tanpa gangguan.

Begitu gadis itu pergi, Narendra segera meraih cangkirnya. Senyumnya tercetak lebar saat aroma kopi tercium begitu dekat. Hanya saja, Narendra tidak menyadari bahwa sejak tadi Inara belum benar-benar beranjak dari depan pintu kantor Narendra.

Gadis itu memperhatikan bagaimana cara pria itu menikmati kopi buatannya. Sama seperti Narendra, Inara juga tersenyum lebar. Dia senang, ada seseorang yang menghargai buatannya meskipun hanya sesederhana racikan kopi.

*****

Langkah Narendra terhenti saat menemukan sosok yang menarik perhatiannya. Pria itu sempat keluar sebentar bersamaan jam pulang kerja, begitu kembali ternyata dia tidak sendirian di sini.

Seperti halnya kemarin, dia menemukan gadis itu berdiri membelakanginya di depan jendela. Namun, kali ini tidak ada suara tangis ataupun pemandangan gelap langit di hadapannya. Tapi Narendra rasa, pikiran gadis itu tidak berada di sini. Apa pun yang membuatnya menangis kemarin, pasti masih dia pikirkan hingga detik ini.

Narendra kembali melanjutkan langkahnya mendekat. Saking terlalu fokus atau memang dugaan pria itu benar, Inara bahkan tidak menyadari kehadirannya. Tepat ketika Narendra berdiri di sampingnya, dimasukkannya kedua tangan ke dalam saku. Sekilas dia melirik ke arah langit pulau Bali yang mulai terlihat jingga.

"Saya heran, kenapa kamu masih di kantor padahal saya tidak pernah memberimu ataupun pegawai lainnya lembur?" suara Narendra berhasil menarik Inara kembali ke dunia nyata.

Inara menoleh. Matanya seketika melebar menemukan Narendra, bosnya sudah berdiri di sampingnya. Senyum tipisnya tersungging. Untuk sesaat Inara terpaku menemukan perbedaan yang mencolok pada diri Narendra. Sore ini, Narendra terlihat sedikit ramah dan terjangkau.

"Saya ...." Inara seolah kehilangan kata-kata.

Menemukan situasi mereka yang canggung, sebuah ide terlintas di kepala Narendra. Pria itu melirik pantri, memberi kode pada Inara. "Segelas kopi sambil melihat sunset itu perfect."

Seperti memahami maksud Narendra, Inara segera mengangguk. Bergegas dia menuju pantri dan membuatkan pesanan Narendra. Gadis itu heran, mengapa Narendra begitu menyukai kopi buatannya?

Perhatian Narendra kembali tertuju pada langit. Walaupun letak kantornya cukup jauh dari pantai, gedung tinggi kantornya sudah cukup menangkap momen indah matahari terbenam. Momen yang selalu dia tunggu setiap harinya sendirian, tapi hari ini jelas berbeda.

Aroma kopi lagi-lagi mencuri perhatian Narendra. Refleks dia menoleh dan sedikit terkejut saat mendapati Inara telah berdiri di sampingnya. Tangan gadis itu membawa dua cangkir kopi.

"Thanks," balas Narendra sembari menerima kopi miliknya. Keduanya melempar senyum tipis, lalu segera mengalihkan perhatiannya pada langit yang semakin keemasan.

"Kalau bapak mau kopi, chat saya aja. Saya dengan senang hati membuatkan," suara Inara seketika memecahkan keheningan. Kepala Narendra menoleh. Tawaran yang sangat menggiurkan dan sulit ditolak.

"Boleh?" tanyanya memastikan. Bagaimanapun, Inara bukan asistennya apalagi office girl di sini. Narendra hanya ingin Inara tidak keberatan dengan tambahan pekerjaan sekonyol membuatkan kopi ini.

Anggukan mantap Inara jelas membuat pria itu tanpa sadar tersenyum lebar. "Nggak masalah. Bapak senang, saya senang."

"Mana ponsel kamu?" Pertanyaan mendadak Narendra membuat alis Inara mengernyit. Tapi tanpa membantah, gadis itu segera mengeluarkan ponsel dari saku celananya, lalu disodorkan kepada Narendra.

"Gimana saya mau chat kamu kalau saya tidak punya nomor kamu, Inara," ucapnya sembari mengutik ponsel Inara. Dering ponsel dari tubuh Narendra langsung membuat Inara memahami apa yang bosnya itu lakukan.

"Terima kasih," bisik Narendra seraya mengembalikan ponsel.

Sesaat keduanya kembali terdiam dengan mata saling bersirobok di udara. Inara lah yang pertama kali memutus kontak mata. Ditatapnya langit keemasan sambil menghirup kopinya.

"Cantiknya ...."

Narendra terpaku menatap Inara sambil mengangguk pelan. "Iya ... cantik."

*****

"Inara," panggilan pelan tepat di belakang punggungnya, refleks membuat Inara berbalik.

Narendra berdiri tepat di hadapannya. Jasnya sudah kembali dia kenakan. Tangannya menenteng tas kerja, sementara tangannya yang lain membenarkan letak kacamatanya. Senyumnya tersungging dan hal itu selalu berhasil membuat senyum Inara ikut tersungging.

Seminggu menjadi teman Narendra menghabiskan senja hingga malam di kantor, Inara jadi cukup mengenal Narendra. Pria itu menyukai kopi buatan Inara dan masih belum berani menanyakan alasannya. Kesan Narendra juga jadi berbeda.

Semua perfeksionis, ketidakramahannya serta semua kejelekkan Narendra yang teman-temannya ceritakan seolah luruh di mata Inara. Narendra di hadapannya adalah pria hangat dengan senyum dan tawa. Sosok yang membuat Inara dengan cepat merasa nyaman dan aman saat bersamanya. Bahkan dengan mudahnya berbagi cerita dengannya, meskipun bukan kisah-kisah yang pribadi.

"Inara ...," Narendra memanggil gadis itu sekali lagi. Alisnya mengernyit menyadari Inara melamun. "Kamu nggak pulang? Sudah jam delapan sekarang."

"Eh ... iya, Pak. Ini ... mau pulang." Buru-buru Inara bergerak menuju mejanya.

Diambilnya barang-barangnya termasuk ponsel yang sengaja dia letakkan di atas meja. Gerakkan Inara seketika terhenti saat menemukan beberapa panggilan tidak terjawab dari Robi.

Alasan kebersamaannya dengan Narendra adalah Robi. Pria itu telah kembali dan mencarinya. Inara berusaha sebisa mungkin menghindar. Memberi banyak alasan untuk menolak segala ajakkan Robi. Kali ini Inara sadar, dia tidak mungkin langsung benar-benar melepaskan Robi. Makanya Inara memilih menghindar pelan-pelan hingga Robi bosan mencarinya dan membuangnya.

Inara menghela napas dalam, lalu segera memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Bergegas dia menghampiri Narendra yang dengan setia menunggunya.

"Saya antar kamu, ya." Narendra melirik jendela, membuat Inara ikut meliriknya. Hujan sedang deras-derasnya turun. "Di luar hujan deras. Anggap saja ini ucapan terima kasih untuk semua kopi bikinan kamu. Saya juga nggak mau kamu sakit terus bolos dan bikin teman satu timmu mengerjakan tugasmu."

Seketika Inara terkekeh pelan, lalu mengangguk. Kali ini, tidak alasan untuk menolak.

Tawa keduanya memecahkan keheningan kantor. Bukan Narendra yang bercerita kali ini, melainkan Inara dan sedikit pengalamannya ketika mengunjungi salah satu pantai di Bali weekend kemarin.

"Inara ...."

Langkah Inara terhenti, begitu pula tawanya. Refleks dia menoleh. Matanya melebar saat menemukan Robi berdiri di lobi kantornya. Jasnya basah. Rambutnya berantakan. Ekspresinya tidak terbaca.

"Robi ... ngapain?"

Robi menghela napas dalam sambil berjalan mendekat. Tiba-tiba tubuh Inara goyah hingga tangannya tanpa sengaja mencekal lengan Narendra dengan kuat.

Narendra langsung menyadari bahwa ada yang salah dengan keberadaan pria bernama Robi ini. Perlahan Narendra menyentuh tangan Inara yang mulai dingin. Dilepaskan cekalannya, lalu digenggamnya.

"Gue cariin lo, Inara," suara Robi memelan.

Tubuh Inara terasa semakin kaku. Narendra bahkan merasakan bahwa Inara menggenggam tangannya terlalu kuat. Hatinya menyuruh Narendra bertindak.

Pria itu berdeham pelan, lalu menarik tangan Inara. "Kita harus pergi, Inara. Masih ada rapat di tempat lain."

"Eh ...." Inara mendongak. Anggukan Narendra entah mengapa membuat Inara menghela napas lega.

"Sori, Bi."

Narendra segera menggiring Inara pergi. Mereka berlari kecil melewati Robi, lalu menerobos hujan lebat menuju mobil Narendra yang berada tepat di seberang lobi.

Begitu sampai di dalam dengan napas tersengal serta baju yang basah, Inara menoleh. Ditatapnya Narendra dengan mata berkaca-kaca. Pertemuan tidak terduga ini jelas berhasil menguras emosinya.

"Terima kasih, Pak."

*****

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top